Kamis, Desember 12, 2024
ULASANPanggung Tari

(PERCAKAPAN) Ingatan Tubuh, Dokumentasi, dan Keberlanjutan dalam Karya Museum I: Waves

[Nia Agustina X Leu Wijee]. Karya Museum I: Waves merupakan salah satu karya terpilih dalam Helatari Salihara 2021. Karya ini tayang perdana melalui kanal youtube Salihara Arts Center dan masih dapat ditonton hingga hari ini melalui tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=ua08kM4vCfg.

Koreografer karya ini adalah Leu Wijee asal Parigi, Sulawesi Tengah namun tinggal di Jakarta. Secara personal saya, Nia dan Leu belum pernah bertemu dan berkenalan secara langsung. Tanggal 6 Juli 2021 saya mengirimkan pesan kepada Leu, apakah dia tertarik untuk melakukan percakapan soal karyanya ini dengan cara menulis bersama memanfaatkan aplikasi Google Docs. Leu bersedia dan berikut adalah perbincangan kami soal karya Museum I: Waves.

image001 | (PERCAKAPAN) Ingatan Tubuh, Dokumentasi, dan Keberlanjutan dalam Karya Museum I: Waves
Sumber: Dokumentasi WijeesWorks oleh Reynold Setiadi

Nia (08 Juli 2021)

Menonton karyamu Museum I: Waves aku secara personal menikmati endurance atau ketahanan yang ditampilkan penari sekaligus suara yang dihasilkan dari gerakan-gerakan yang disuguhkan. Karena ada penjelasan sebelumnya bahwa ini terkait dengan ingatan kolektif atas gempa Palu tahun 2018, maka selama menonton aku menduga bahwa kamu tengah membawa kita pada ingatan tentang laut yang tentu terkait erat dengan gempa dan tsunami di sana. Suara mirip laut dan ombak yang dihasilkan, juga gerakan yang menyerupai kapal laut yang terombang-ambing dengan komposisi rapih terasa paradoks dengan gempa dan tsunami yang terjadi di Palu 2018 lalu secara auditif maupun visual seharusnya kacau balau. Aku awalnya berpikir bahwa kamu sengaja melakukan metode itu untuk mengganggu pikiran penonton atau untuk memberi jembatan antara harapan dan kenyataan akan laut. Maksudku, harapan akan laut yang menenangkan, harmonis, luas dan kenyataan akan laut yang kadang kala menjadi pusat bencana alam, seperti gempa dan tsunami, tidak terkendali, dan menyesakkan. Namun tentu interpretasi itu hanya pengalaman menonton personalku yang tearnyata sangat berbeda dengan penjelasanmu sebagai pengkarya pada diskusi seusai pertunjukan. Dalam penjelasanmu, karya adalah ingatan personal paling awal pada saat gempa terjadi di kampung halaman, kamu sedang di atas kapal memikirkan apa yang terjadi pada teman dan saudaramu, kemudian ingatan dan situasi tubuh inilah yang kamu representasikan dalam karya. Dari sini aku jadi menemukan masing-masing ingatan baik darimu sebagai pengkarya maupun penonton jadi bagian penting dalam “Museum 1: Waves”, bisa jadi tidak sama, bisa jadi aku dan penonton lain juga berbeda. Bagiku yang tidak pernah tinggal di pinggir laut, suara laut adalah ketenangan, sehingga itu yang muncul ketika menonton karyamu. Mungkin penonton lain yang pernah mengalami dahsyatnya tsunami, untuknya setenang apapun suara laut akan selalu traumatik, dan bisa jadi bagi para pekerja laut suara laut adalah kebahagiaan.

Dari pengalaman menonton di atas, aku jadi sadar juga bahwa suara hasil pergerakan penari menjadi sangat provokatif selain tarinya itu sendiri. Dia terasa dominan. Kemudian karena di akhir karyamu ada artefak yang dihasilkan, aku jadi bertanya-tanya apakah suara-suara yang dihasilkan dari pertunjukan ini juga dapat dijadikan salah satu artefak dari pertunjukan? Bahkan soundscape dari sekitar lokasi pengambilan gambar yang bocor di video, seperti suara orang ngobrol, suara kendaraan, semuanya terasa menyatu dan lengkap jadi satu bentuk karya tersendiri. Buatku bentuk ini adalah artefak yang justru paling organik dan dekat dengan karyamu, dibandingkan dengan lukisan di akhir karya. Aku berpikir demikian karena lukisan yang dihasilkan membutuhkan tambahan material-material di luar yang sudah hadir sejak awal pertunjukan. Cat dan sapu lidi di sini hanya hadir di bagian hampir akhir, sedangkan suara sudah hadir sejak karya ini dimulai, itu yang ku maksud dengan artefak yang organik.

BACA JUGA:  Amanat Hari Tari Sedunia 2022

Leu Wijee (8/07/21)

Dalam prosesku sebagai seniman atau prosesku menciptakan karya ini, ada pemikiran yang tentu saja mempengaruhi proses penciptaan, yaitu akumulasi dengan berbagai pertanyaan atas rasa penasaran saya terhadap kemanakah set-set panggung berakhir? Di pembuangan sampah? Atau di gudang-gudang gedung pertunjukan? Saya pikir rasa penasaran ini tentu saja mempengaruhi proses penciptaan karya ini dan hasil perwujudannya.

Pergaulanku dengan beberapa lintas disiplin juga mempengaruhi kesadaran sebagai seniman. Soal soundscape, saya juga merekamnya, dan seperti yang Mba Nia nyatakan jika ini bisa jadi artefak yang organik.

Cita cita saya adalah mewujudkan pertunjukan “The Museum”, apa yang baru bisa kita lihat di “Museum I: Waves” ini adalah sebuah karya work in progress dan baru permulaan. Sapu lidi itu adalah bentuk representasi pembacaan saya terhadap perkembangan manusia dan itu ada tariannya yang dapat  disaksikan di “Museum II”.

Bisa dikatakan ini adalah riset yang cukup panjang, dan bisa menghasilkan rentetan karya.

Terpikir juga, di masa akan datang, ada rencana ingin melakukan exhibition karya tari ini dengan perwujudannya yang telah berubah bentuk menjadi estetika terbarunya (artefak-artefak). Tentu juga dipamerkan bersamaan dengan artefak organiknya. Tentu saja jika karya dalam pameran ini terjual, ini akan menjadi wujud recycle dari sebuah produksi karya. Dimana saya bisa mendapatkan dana produksi segar untuk membuat karya berikutnya dan bisa jadi membantu orang banyak.

Terimakasih atas pembacaannya. Menurut Mba Nia, bagaimana dengan soal cara saya menggarap ruang digital? Dengan semangat dokumentasi, mengkoreografikan luas dan sempitnya sudut pandang. Dan apa yang berbeda dengan koreografer Helatari lainya?

image002 1 | (PERCAKAPAN) Ingatan Tubuh, Dokumentasi, dan Keberlanjutan dalam Karya Museum I: Waves
Sumber: Dokumentasi WijeesWorks oleh Reynold Setiadi

Nia (10/07/2021)

Sebagai penonton aku akan menunggu-nunggu tentunya sekuel “The Museum” ini. Buatku cara memecah karya semacam ini tepat untuk kasusmu, karena strategi ini dapat membuat penonton ikut serta menikmati penelusuran dan perjalanan karya narasi demi narasi. Oleh karenanya masing-masing narasi jadi bisa dikerjakan lebih dalam, apalagi dengan tema yang punya kompleksitas seperti soal gempa dan tsunami di Palu ini. Ada layer kamu sebagai orang asli Palu, yang tidak berada di Palu pada saat bencana itu terjadi, padahal seluruh keluargamu di sana. Layer lain, ada para korban, ada trauma kolektif, trauma spesifik, ada memori visual soal gempa dan tsunami itu sendiri, sejarah dan legenda terkait bencana di Palu, hingga memori-memori pra dan pasca gempa. Jika seluruh wacana ini disatukan dalam satu karya justru kedalamannya perlu dipertanyakan. Aku menunggu sekuel selanjutnya!

Perkara recycle juga penting untuk dibicarakan di ranah kesenian kita. Selain soal perputaran ekonomi melalui pemanfaatan residu panggung, selama ini kadang kita tidak aware kemana residu-residu panggung ini dibawa? Apakah hanya berakhir di tempat sampah yang menambah daftar pencemaran lingkungan? Tukang loak? Atau dia diperlakukan sebagai produk seni juga, sehingga layak untuk disimpan atau bahkan dijual seperti yang kamu sampaikan? Menjadi kontraproduktif ketika ada seniman yang membicarakan tema-tema lingkungan di panggung tapi menyisakan sampah yang menyumbang kerusakan lingkungan dari pemanggungan tersebut. Jadi sensitivitas mu terkait daur ulang ini baik dalam rangka strategi ekonomi maupun kesadaran soal lingkungan jadi berharga.

BACA JUGA:  Membongkar Kubur Pentas Sagaloka : Keluarga Yang Dikuburkan

Terakhir dariku atas pertanyaanmu soal strategi menggarap ruang digital. Dari keempat karya di Helatari 2021 ini aku berpikiran sama dengan mbak Helly, keempatnya punya strategi yang berbeda-beda dalam menggarap ruang digital ini. Dan tentu yang terpenting adalah konteks di belakang keputusan ini dari si seniman sendiri. Jika memang seniman merasa itu yang paling efektif untuk mentransfer karya ini ke penonton dan dia punya konteks yang jelas ketika memilih, maka buatku itu sudah sangat cukup. Tawaranmu dalam presentasi kali ini yang menggunakan model dokumentasi dan pelaporan aktivitas kegiatan buatku justru menjadi oase dan pengingat di tengah wacana yang sedang sering kita dengar dan bicarakan selama masa pandemi ini soal media baru. Biasanya model dokumentasi menjadi anak tiri dalam wacana ini karena dianggap tidak lebih eksperimental dan “canggih” dari yang lainnya. Padahal jika cara mentransfer pengetahuan yang paling tepat dalam konteks kita adalah melalui dokumentasi, kenapa tidak dilakukan? Oh ya, beberapa waktu lalu aku menonton satu film yang menarik, dan mungkin bisa menjadi salah satu rujukan untuk melihat sudut pandang luas dan sempit. Film tersebut berjudul “American Beauty” (mungkin kamu pernah menonton). Dalam film tersebut, secara general, ketika menonton kita dapat melihat sekaligus dua sudut pandang, versi runtutan peristiwa dari orang luar yang melihat si tokoh dan si tokoh itu sendiri. Sebagai penonton kita dibawa untuk memiliki pandangan luas dan sempit atas keseluruhan tragedi yang terjadi dalam film. Ada satu tokoh dalam film tersebut yang punya hobi merekam video, dan dalam pengambilan video itupun diperlihatkan dua pandangan ini dengan zoom in dan zoom out, yang dari dua sudut pandang ini bisa membawa kita pada dua emosi yang berbeda. Nah dalam karyamu, aku belum cukup menemukan itu. Namun bisa jadi aku akan berpikiran lain kalau kamu punya konteks yang dapat diceritakan soal pandangan luas dan sempit ini. Bisakah kamu jelaskan? Mungkin ini juga jadi pertanyaan terakhirku.

Leu Wijee (15/07/2021)

InsyaAllah. Kita akan melihat, menunggu, dan mempertanyakanya bersama-sama. Menurut Mba Nia, kedalaman suatu karya bisa dinilai dari mananya?

Ketertarikanku dengan pandangan luas dan sempit ini adalah tentang kesederhanaan fungsi kamera, dengan masuknya teknologi kamera dalam kerja koreografiku, ini sangat menguji selektifitas seperti dalam memutuskan posisi kamera dari banyaknya sudut, dan apa yang akan diperlihatkan dan apa yang akan disembunyikan. Berempati dengan ruang, sangat penting dalam konteks ini. Tak ada plan B atau C, hanya ada plan A. Dalam karya ini, pandangan luas dan sempit ini mungkin saja adalah dramaturgi tahap teknologi.

BACA JUGA:  Jazz dan Teater Itu

Nia (16/07/2021)

Pertanyaan yang cukup menarik dan sulit (hahaha) soal kedalaman karya ini. Kalau aku secara personal lebih kepada menyandingkan intensi/niat si seniman sendiri dan capaian karya tersebut. Nah, untuk menyandingkan intensi dan capaian tersebut aku menggunakan indikator bagaimana intensi tersebut berdialog dengan ruang personal si pengkarya, lalu apakah kritikalitas juga hadir di dalamnya? Tentu tidak ada formula pasti, ini hanya pendekatan yang aku pakai saja.

Penjelasanmu tentang pandangan luas dan sempit ini menarik untuk dieksplorasi lagi. Hal sederhana semacam ini justru kadang tidak terpikirkan dalam konteks alih media hari ini, karena dianggap terlalu sederhana dalam pemanfaatan teknologi. Tapi buatku justru tidak masalah jika alasannya kuat mengapa memilih teknik semacam ini. Pendekatan penggunaan alih media tentu sebaiknya dipikirkan dalam porsi yang setara dengan yang lain, seperti teknik tari, lighting, ruang, tata artistik. Semuanya hadir untuk saling melengkapi mendukung satu konteks yang sedang dibicarakan.

Terimakasih sudah berbagi Leu, menyenangkan sekali menulis bersamamu. Apakah ada hal terakhir yang ingin kamu tuliskan dalam tulisan bersama kita ini?

Leu Wijee (17/07/2021)

“If you love to dance? So, why aren’t you dancing like how Museum I: Waves dance?”


Leu Wijee (WijeeWorks), penari dan koreografer independen yang berbasis di Jakarta. Berkarir di lingkup nasional dan Internasional (Rusia, Thailand, Taiwan, dan Prancis) serta pernah mendapatkan beberapa penghargaan seperti one of the best solo choreografer di Choreo Jam IKJ, one of the best dance film on IG di Imajitari Dance Film Festival 2019. Ia juga terpilih dalam program Open Lab Upcoming Choreographer oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2020 dan Helatari 2021 oleh Komunitas Salihara.

Nia Agustina

Nia Agustina

Producer dan pendiri Paradance Festival di Yogyakarta. Bekerja sebagai kurator Indonesian Dance Festival 2017-2020.