Sabtu, Desember 14, 2024
ULASANPanggung Tari

(Percakapan) Sikut Awak, Menubuhkan Anatomi Ruang di Helatari 2021

[Nia Agustina]. Krisna Satya adalah salah satu koreografer terpilih untuk Helatari 2021. Dengan karya berjudul Sikut Awak, Krisna mencoba mengeksplorasi kosa gerak dari pengetahuan arsitektur tradisional Bali. Karya tersebut masih dapat ditonton melalui tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=vvPeQRtoFds

Program Koreografer Muda Potensial Indonesian Dance Festival (IDF) 2018 adalah ingatan awal saya, Nia, bertemu dengan Krisna. Sebelum karya ini, saya sempat melihat karya Krisna yang lain soal penelusuran aksara Bali. Beberapa hari setelah penayangan perdana karya Sikut Awak saya menghubungi Krisna untuk menawarkan percakapan intim soal karyanya dengan cara menulis bersama melalui aplikasi Google Docs.

image001 | (Percakapan) Sikut Awak, Menubuhkan Anatomi Ruang di Helatari 2021
Sumber: Dokumentasi oleh Yan Ari Pramana, Gung Ayu Fajar

Nia (07/07/2021)

Selama menonton karya Sikut Awak, secara personal aku menikmati menit demi menit karya ini. Warna-warna yang muncul dalam video nyaman di mata, bagiku pilihan warnamu membumi sekali. Musik yang digunakan juga soundscape alam di mana kamu menari. Tidak ada konfrontasi, kerapihan secara geometris juga menjadikan karya ini membuat tubuh dan pikiranku tidak menolak apa-apa yang hadir. Bagiku kejernihan dalam pilihan-pilihan artistik ini sejalan dengan filosofi arsitektur tradisional Bali dan beberapa wilayah lain di Indonesia, termasuk Jawa yang tidak melawan alam namun menyatu dengan alam, dengan elemen material maupun warna yang kalem dan menyejukkan karena diselaraskan dengan apa yang sudah terlebih dahulu ada di alam sebelum si bangunan itu berdiri, seperti tanaman, udara, pohon, dll. Aku tidak tahu apakah kamu memang membawa tafsir macam ini dalam proses karyamu tersebut atau tidak, yang jelas sebagai penonton aku menangkap demikian. Dalam satu foto essay yang disusun oleh Monica Arellano, dia menjelaskan bahwa gelombang gerakan modern yang lebih terstruktur dan rumit mendorong para arsitek untuk melihat semua elemen ruang melalui bagaimana ia mempengaruhi dan memodifikasi cara tubuh manusia merasakan ruang tersebut. Artinya, bagiku sikut satak yang kamu bicarakan dalam karya ini justru sudah melampaui teknologi itu. Aku menduga, karena diukur dengan satuan tubuh melalui tubuh pemiliknya, maka ada harapan bahwa rumah tersebut memang menjadi nyaman bagi si pemilik karena ukurannya telah sesuai dengan anatomi tubuhnya. Jika rumah ini ergonomis dengan anatomi tubuh yang menempati rumah tersebut, maka ketenangan akan hadir dan tentu akan berimbas pada energi orang-orang di dalam rumah. Namun ini hanya dugaanku, apakah ada literatur atau cerita turun temurun yang kamu ketahui memberi keterangan baik logis atau mistis soal hal ini? Ini tidak harus dijawab jika memang tidak ada. Aku hanya penasaran aja. hihihi…

Di luar soal budaya sikut satak ini, aku melihat bagaimana penari ditempatkan dalam satu situs dan kemudian bergerak dengan kosa gerak pengukuran melalui sikut gegulak. Di sini aku penasaran bagaimana kamu dan penari-penarimu menentukan situs, penari yang bergerak di dalamnya, dan komposisi gerak yang dipilih? Misalnya di salah satu situs yang berbentuk pendapa ada bagian yang kamu dan seorang perempuan hanya duduk berhadapan, kemudian di situs arena berbentuk hexagonal ada tiga perempuan yang komposisinya berbentuk segitiga dengan tubuh yang saling terhubung ketiganya, namun di situs lain misalnya dalam pemandangan alam, tiga perempuan ini bergerak masing-masing tidak saling terhubung. Menarik sekali jika kamu bisa mengurai pilihan atas situs-penari-dan kosa gerak dalam satu frame ini.

Krisna (08/07/2021)

Berawal dari diskusi dengan temanku Dek Win* yang juga seorang arsitek, dalam diskusi itu ada beberapa yang menarik perhatianku pada proses pembangunan dalam metode sikut satak, dimulai menentukan hari baik, kepala keluarga sebagai patokan yang menentukan bangunan (ukuran ruang), dan  juga penggunaan material. Dikatakan dalam proses penggunaan materialnya itu benar-benar diseleksi, karena material dipercaya mempunyai pengaruh terhadap si tuan rumah, penggunaan materialnya pun beragam. Misalnya untuk menggunakan kayu, itu benar-benar dipilih dari mana kayu itu berasal, dimanakah didapatkan (sungai, atau dilahan yang lain) bagaimanakah kayu itu tumbuh apakah posisinya lurus atau ngandang (sesuatu yang diam di tengah jalan yang membuat akses jalan itu terganggu). Pemilihan material yang beragam dimulai dari bawah hingga atas bangunan, dalam diskusi ini yang aku dapat bagaimana keberlanjutan lingkungan itu dipikirkan agar sumber daya alam tidak punah karena pembangunan. Di sisi lain aku juga mendapatkan refleksi tentang keberagaman. Ini sebuah filosofi jika bangunan itu beragam justru akan menambah “kekuatannya”. Tapi sempat berdiskusi juga dengan orang lain (Martino**) secara tidak sengaja, dalam pemilihan material itu menyangkut dengan di mana material itu digunakan, masyarakat percaya kayu memiliki energi yang tidak hanya dipergunakan di sembarangan bangunan ataupun ornamen. Misalnya bangunan suci, atau bangunan bagian atas dipilih kayu yang dianggap suci (karena suci maka memang tempatnya di bagian atas) karena kepercayaan orang Bali kepala (atas) adalah area yang suci.

BACA JUGA:  Kenyataan Samar di Balik Bisul Semar: Catatan atas “Bisul Semar” – Teater Koma di FKY 2023

Dalam diskusi juga aku mendapat unsur taman itu selalu ada dalam arsitektur tradisional Bali, unsur air adalah simbol keindahan (merujuk pada kepercayaan lingga-yoni) purusa-pradana (laki-laki dan perempuan). Nah dari situ aku bertanya kepada diriku bagaimana karya ini bisa menghadirkan unsur “taman dan air” akhirnya aku menempatkannya pada musik, dan berdiskusi dengan komposerku bahwa penting mengambil bunyi dari lokasi pengambilan video yang bakal melengkapi secara bunyi, apapun yang tertangkap itulah musiknya. Dalam gambar aku tidak memilih taman ataupun air mancur karena berfokus pada sikut gegulak (tubuh yang merancang ruang dalam konteksnya rumah). Musik juga aku banyak berdiskusi dengan mas Tony*** pada awalnya musiknya itu soundscape dan ada beberapa instrumen musik. Dalam diskusi itu mas Tony memancing kalo mau gila sekalian aja soundscape itu memberikan ruang berimajinasi tentang tempat tinggalku dengan adatnya yang hampir semua melibatkan hasil alam sebagai bagian dari ritual, aku juga sempat berpikir secara ekonomis semua alam Bali memiliki daya jual misalnya daun yang kering pun bisa menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual (dan sepertinya sebagian besar ritual  membutuhkan material alami).

Ya benar, dalam diskusiku yang aku tangkap penggunaan tubuh sebagai patokan ruang menentukan kenyamanan, rumah tidak hanya sebagai tempat untuk tinggal tetapi bagaimana membangun harmonisasi secara fisik dan non fisik. Kenyamanan juga diharapkan dapat menjaga keamanan kepala keluarga yang bertanggung jawab kepada keluarganya. Karena jika di rumah sendiri kepala keluarga tidak nyaman, dengan kata lain sakit atau mendapatkan hal lain yang menghambat aktivitasnya, maka tidak ada yang dapat bertanggung jawab kepada keluarganya. Ada juga beberapa kepercayaan jika bangunan itu dibangun tidak berdasarkan sikut satak  dapat menimbulkan malapetaka bagi si pemilik rumah. Dalam pemilihan situs aku melihatnya berdasarkan fungsional dan bentuk dari ruang yang ada, dan kemudian aku memilih kosa gerak dan posisi yang mendekati secara bentuk, atau filosofi. Misalnya di bagian jineng (seperti pendapa) aku melihat arsitekturnya menggunakan teknik yang beradaptasi pada gempa, arsitekturnya menggunakan konsep purusa pradhana (lingga-yoni atau laki-laki perempuan) yang pembangunannya dengan melubangi salah satu dan kemudian dimasukan oleh bagian material yang lancip, sehingga membuat bangunan menjadi fleksibel. Selain itu juga melihat ruang tersebut biasa dipakai sebagai tempat santai berkomunikasi dengan keluarga atau tamu, yang aku interpretasikan sebagai interakasi sosial yang tidak terbatasi gender. Nah untuk situs hexagonal itu hasil dari diskusi dengan videograferku, dia melihat tempat itu cocok dengan koreografi posisi segitiga dengan vokabuler sikut gegulak (karena dia sudah sempat melihat latihanku, jadi ketika melihat ruang itu dia langsung teringat bagian koreografi segitiga). Kalau secara imajinasi koreografi, aku membayangkan bagaimana rumah juga sebagai tempat bermain (kesenangan) jadi aku mengambil dari pola permainan anak-anak yang menggunakan suit (mengadu jari) sebagai permainannya. Dalam koreografi pemandangan itu sebenarnya interpretasiku tentang bangunan Bali yang secara umun bangunannya terpisah, nah bagaimana penghuni rumah itu berjalan menuju bangunan lain yang memiliki fungsi lain juga, misalnya dapur, tempat tidur, sanggah (tempat suci), kamar mandi, bale (yang bentuknya kaya pendapa) itu sih kenapa koreografinya tidak saling terhubung.

Oya pertanyaanku mungkin bagaimana cara mbak menonton karya ini, apakah sebelum menonton sudah mencari beberapa referensi tentang sikut satak/ sikut gegulak, atau itu mengalir saja berdasarkan pengalaman mbak bersama lingkungan dan pengalaman lainnya? Karena apa yang mba bilang itu hampir semuanya sesuai dengan interpretasiku. Karena  dalam proses kreatif, aku selalu menanyakan apa yang bisa sebagai “pengantar” kepada penonton untuk berimajinasi. Apalagi sekarang pertunjukan Bali itu sangat realistis, aku mencoba untuk kembali lagi dalam “format tua” bahwa karya pertunjukan Bali itu bersifat abstrak (tattwa yang diceritakan dengan bentuk sangat imajinatif).

image002 | (Percakapan) Sikut Awak, Menubuhkan Anatomi Ruang di Helatari 2021
Sumber: Dokumentasi oleh Yan Ari Pramana, Gung Ayu Fajar

Nia (09/07/2021)

Penjelasannya sangat gamblang. Aku menikmati membaca uraianmu di atas. Kebetulan sebelum menonton karyamu aku sempat ngobrol dengan mbak Renee Sariwulan, dia sempat memberikan beberapa responnya soal karya ini. Hari berikutnya aku baru menonton, tapi sama sekali belum membaca soal sikut satak/ sikut gegulak atau pengetahuan soal arsitektur tradisional Bali lainnya. Pengantar dari om Tony Prabowo dan deskripsi karya yang dituliskan kurasa sangat membantu untuk mengetahui konteks karya. Tapi sebenarnya, seandainya tidak ada pengantar dari om Tony atau obrolan dengan mbak Renee, ketika melihat bentuk kosa gerakny kupikir sudah terbayang bahwa secara sederhana karya ini menavigasi satuan pengukuran tradisional. Setidaknya untukku langsung bisa terbayang demikian, karena di Jawa juga kita menggunakan satuan yang beberapa  di antaranya sama, seperti hasta, depa, jengkal. Nah mungkin latar belakangku sebagai orang Jawa dengan keluarga kakekku yang dulu ketika kecil sering menceritakan filosofi-filosofi hidup ala Jawa sangat membantu interpretasiku terhadap karya ini. Kami juga percaya soal bagaimana bentuk dan material dalam pembangunan rumah bisa berpengaruh terhadap kondisi fisik dan spiritual dari si empunya rumah. Sebelum kemudian rumah kakek direnovasi, dahulu rumah tersebut menggunakan kaidah rumah Jawa ideal menurut Ward Keeler yang dikutip oleh Jan Newberry dalam bukunya Back Door Java. Ruang-ruangnya dari depan terdiri dari omah ngarep dengan halaman yang luas penuh pepohonan untuk menerima tamu, berlatih gamelan, dll; omah mburi sebagai ruang yang lebih privat, untuk anggota keluarga, saudara, dan teman dekat yang datang, di dalamnya ada ruang makan tempat berkumpul keluarga; lalu ada jromah di bagian paling belakang yang terdiri dari kamar-kamar tempat tidur dan tempat ibadah; di bagian samping ada gandhok semacam gudang menyimpan perkakas juga stok makanan; serta  bagian terakhir pawon atau area dapur dan kamar mandi. Ruang-ruang tersebut punya bukaan yang sangat baik, ventilasi, lorong, dan pintu sangat diperhitungkan arah hadapnya. Hal yang sulit hari ini adalah persoalan tanah, karena rumah ideal Jawa ini butuh tanah yang luas, sama seperti yang kamu juga jelaskan pada diskusi paska presentasi soal pergeseran arsitektur rumah di Bali karena ketersediaan lahan. Namun memang rumah Jawa ideal ini punya implikasi positif bagi si penghuni, karena rumah sangat layak untuk kehidupan sosial, leluasa ruang geraknya bagi penghuni rumah, serta tersedia ruang yang dapat digunakan untuk praktik-praktik spiritual, tidak hanya ruang ibadah saja, tapi sudut rumah yang lain seperti halaman dan bukaan-bukaan rumah juga dapat menjadi bagian penting untuk selalu punya kesadaran dekat dengan alam. Jadi dari sinilah bisa jadi aku sudah punya tabungan konteks ketika menonton karya Sikut Awak. Nah, seperti yang mbak Helly**** katakan di diskusi bisa jadi konteks-konteks terkait kerja arsitektur berbasis tradisi turun temurun ada di mana-mana di Indonesia. Tidak ada salahnya juga melihat-lihat dan mengecek pengetahuan ini untuk memperkaya dan mungkin saja nantinya bisa menemukan keterhubungannya secara historis misalnya.

BACA JUGA:  Tumbuh dan Mekar dari Ceruk tak Berdasar : Catatan atas “Ra Hina” — Kinanti Sekar di ISI Yogyakarta

Oh ya, aku senang ketika mendengarkan proses kerjamu dalam diskusi, buatku prosesmu tidak melompat dan kamu cukup sabar langkah demi langkah. Misalnya bahwa proses ini sebenarnya sudah dimulai dari ketika kamu membuat karya tahun 2018 yang terinspirasi dari aksara Bali. Kemudian kamu menemukan koeksistensi antara aksara Bali di dalam konsep Sikut Satak, dan akhirnya kamu membuat karya tentang ini tapi tidak buru-buru menautkan pada hal-hal yang non fisik. Yang menarik dalam hal ini juga kamu memanfaatkan media video dengan efektif, jika membayangkan pertunjukan luring, sulit sekali untuk menampilkan ruang-ruang yang berbeda dan penari yang berpindah-pindah. Namun di media video ini pilihan artistik yang demikian dapat dilakukan dan kamu melakukannya, bagiku ini dapat dikategorikan sebagai cara pandang yang efektif melihat media presentasi.

Mungkin pertanyaan terakhir dariku, apa yang sebenarnya kamu bisa kritisi sendiri dari karya Sikut Awak ini? Apakah ada hal yang kamu merasa masih harus dipertimbangkan, dinavigasi ulang, atau dipikirkan ulang?

Krisna (19/07/2021)

Wah asik mendengar cerita dari Mbak Nia, aku sempat bertanya pada diriku dari mana sumber awal arsitektur tradisional itu terlahir atau tercetuskan, dan itu mempunyai kemiripan bahkan sangat mirip bagiku dengan pengalaman mbak. Mungkin saja sastra itu satu, kemudian berkembang dan beradaptasi dengan lingkungannya, mungkin ini bisa jadi PR buatku untuk menelusuri arsitektur daerah lain, ya paling tidak untuk pengetahuanku aja.

Untuk pertanyaan mbak, sebenarnya aku belum yakin dengan apa yang sudah aku bentuk di karya Sikut Awak, aku masih bertanya:

  1. Apakah ini bisa terbaca paling tidak bisa sebagai pengantar imajinasi tentang arsitektur, dari beberapa yang sudah menonton aku senang ada mendapatkan sesuatu untuk diimajinasikan, nah untuk lingkungan (tempat tinggalku) sekitarku baik teman penari ataupun penonton non seni itu masih susah mereka mendapatkan imajinasi tentang arsitektur entah karena pengalamannya atau selera entahlah. Jika itu susah lalu apa yang bisa mengantarkan imajinasi itu?
  2. Pertanyaan tentang bagaimana karya ini berpindah dalam bentuk luring. Dalam video, framing dan lokasi itu sangat melengkapi. Aku sangat penasaran jika ini bisa bersinggungan dengan lingkungan sekitarku, untuk melihat respon karya ini dan melihat nasib arsitekturnya.
  3. Sementara aku masih belum bisa mengkritisi begitu banyak, tetapi ada sedikit perihal koreografi, ada beberapa part yang terlalu singkat perlu adanya penebalan, karena pengetahuanku yang masih minim jadi aku mungkin saat ini menyimpannya.
  4. Setelah penayangan, besoknya aku langsung ada kesempatan diskusi dengan mbak Renee*****, nah dari situ aku banyak mendapatkan pertanyaan lagi, masukan, pancingan. Itu memperkuat keinginanku untuk membaca ulang lagi dengan apa yang telah aku kerjakan.
BACA JUGA:  Pendaftaran Festival Tari Kontemporer di Singapura 2018.

Mungkin itu aja sih yang sekarang bisa aku jawab hehehe, terima kasih banyak atas pertanyaan ini, membuat aku harus berani mengkritisi diri sendiri dan melihat lagi dari sudut lain.

============================================

Referensi

Newberry, Jan. 2013. Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga  Jawa. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta & KITLV: Jakarta

Keterangan Nama

*Dek Win, narasumber Krisna yang pertama, pelaku seni, dan arsitek.

**Martino, teman diskusi Krisna, videografer, tertarik pada arsitektur yang terhubung dengan kehidupan

***Mas Tony, (Tony Prabowo) tim kurator Helatari Salihara 2021

****Mbak Helly, (Helly Minarti) tim kurator Helatari Salihara 2021

*****Mbak Renee, (Renee Sariwulan) dramaturg, penulis seni pertunjukan

Krisna Satya, penari dan koreografer. Menekuni tari Bali sejak remaja dan melanjutkannya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam program studi Tari Penciptaan. Mengikuti berbagai lokakarya tari, seperti Mugiyono Kasido (Solo) dan Sasikirana Dance Camp 2017 (Bandung). Ia pernah mengikuti program Koreografer Muda Potensial di Indonesian Dance Festival 2018 dan mengikuti tur bersama Cie Express Company di Perancis pada 2019.

Nia Agustina

Nia Agustina

Producer dan pendiri Paradance Festival di Yogyakarta. Bekerja sebagai kurator Indonesian Dance Festival 2017-2020.