(PERCAKAPAN) Kompleksitas Tatapan dan Kesadaran atas Kuasa pada PESONA
[Nia Agustina x Eka Wahyuni]. Karya Pesona terpilih dalam Helatari Salihara 2021 dan masih dapat ditonton melalui link youtube: https://www.youtube.com/watch?v=Wgdt05DgzHs. Koreografer Pesona, Eka Wahyuni, yang akrab disapa Echa, telah menelusuri dan mengeksplorasi Tari Gong yang berasal dari suku Dayak Kenyah ini sejak 2017. Penelusuran ini membuahkan kurang lebih enam kali presentasi dengan berbagai pendekatan, dari panggung, dance film, performance lecture, hingga terakhir pertunjukan dengan pendekatan daring. Mungkin bagi saya sendiri cukup mudah memahami modus Echa dalam karya ini, karena sebelumnya, di Enchantment of Tari Gong #2 saya sempat terlibat sebagai dramaturgnya. Dengan bekal yang saya miliki ini, saya mengajak Echa untuk melakukan percakapan melalui Google Docs tentang karya Pesona.
Nia (08/07/2021):
Mungkin hal-hal yang aku sampaikan di sini akan sangat subyektif dan bias karena kedekatanku dan kamu, aku juga kenal videografernya yaitu Azwar, penarimu Putri, dan beberapa orang yang di sana yang bermain sebagai penonton.
Pertama-tama, bagiku gagasan untuk menampilkan sekaligus si penari, cara penonton (aktor) menatap dan menampilkan “tangkapan” tatapan mereka memperlihatkan bagaimana kamu dan Azwar memang memikirkan betul privilege menggunakan media video ini. Maksudku, mungkin kalau ini pertunjukan luring, untuk memperlihatkan hasil tangkapan para aktor secara langsung pada saat pertunjukan, sepertinya akan butuh usaha dan teknis yang lebih rumit. Sedang dengan tawaran bentuk video, ada peluang editing yang dapat langsung menempelkan hasil-hasil tangkapan itu. Sensitivitas memaksimalkan penggunaan media (tentu yang tetap sesuai konteks) macam ini buatku penting dicatat dan diingat. Terkait itu, aku hanya penasaran dengan satu hal sederhana soal latar dalam bagian-bagian kolase yang menggunakan beberapa warna, seperti pink, biru, dll, apakah itu soal kepentingan harmoni dan komposisi keseluruhan warna dengan video atau memang ada niat lain? Karena buatku secara personal warna-warna latar itu terasa punya energi feminin karena kebanyakan warna yang dipilih sifatnya hangat dan lembut, namun dengan video-video bertone gelap diletakkan di atasnya justru si warna latar ini jadi mencolok dan provokatif. Jikapun memang warna-warna itu dipilih sebagai bagian keindahan komposisi video buatku tidak masalah, tapi pengalaman menontonku demikian.
Dalam diskusi kamu menyebutkan bahwa karya ini juga merujuk pada narasi soal male gaze dalam esai Laura Mulvey berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinema”, namun kemudian pemilihan aktor-aktor yang menatap si penari kamu pilih dengan keberagaman preferensi seksual, untuk melihat keberagaman tatapan itu. Nah di sini aku tertarik untuk melihat hasil observasimu dan mungkin juga dari hasil diskusi dengan para pemain? Juga, apakah ada temuan menarik soal male gaze ini di luar yang terjabarkan dalam tulisan Laura Mulvey?
Mungkin dua hal ini dulu, ada hal lain namun aku merasa dia lebih tepat ditanyakan setelah kamu menanggapi dua hal di atas.
Echa (12/07/2021):
Halo Nia. Terima kasih telah membagikan pengalaman menontonmu ya. Senang sekali membacanya.
Mengenai privilege media video ini, tentu saja aku sangat menyadarinya, jauh sebelum melakukan eksperimentasi dan perkembangan karya. Karena ketika mendaftar pun, Salihara sudah menekankan bahwa Helatari 2021 akan dilaksanakan secara daring. Dalam formulir pendaftaran, mereka menanyakan kemungkinan bentuk yang sesuai dengan ruang daring. Hal ini berarti kamera dan layar penonton akan digunakan sebagai medianya. Sehingga setali tiga uang-karena juga menyambung dari karyaku sebelumnya di Kampana Trajectory IDF 2020- maka aku pun mengaitkan Tari Gong ini dengan tatapan dalam media digital-kamera. Di tahap ini selain tubuh, aku pun pelan-pelan mempelajari logika kamera. Kesadaran media ini sangat penting buatku karena niatku bukanlah untuk berbicara teknis kamera dan mencari definisi seperti apa harusnya pesona tari Gong. Tapi justru dibalik si kamera dan kamerawan ini, yakni hal-hal di luar kesadaran yang mengkoreografi banyak hal dalam satu peristiwa sehingga mengarahkan tatapan kita ke tari gong dan pesona yang dibangun atasnya. Karena itu, dalam penggodokan proposal dan pengembangan gagasan, aku juga mengacu ke beberapa tulisan yang terkait dengan media digital dan tatapan, selain juga membongkar bagasi arsipku tentang tari Gong ini.
Terkait warna yang muncul dalam video tersebut, itu adalah salah satu temuan ketika aku, Azwar, dan Putri berdiskusi tentang k-pop dan budaya pop. Ketika melihat Blackpink atau BTS misalnya. Warna-warna yang muncul adalah warna soft pink atau warna warna lembut lainnya. Cerah tapi lembut dan hangat, tepat seperti yang kamu rasakan ketika menonton karya ini. Lihat saja tulisan di logo Blackpink, warna pink-nya terlihat soft bukan? dan dipadukan dengan warna black yang pekat. Begitu juga dengan warna-warna yang muncul di MV BTS. Pesona warna yang sedang tren sekarang sepertinya mengarah ke situ. Sehingga aku dan Azwar membuat keputusan untuk membuat frame dengan warna demikian.
Untuk male gaze (tatapan laki-laki)-nya sendiri… Ini kompleks sih, hehe. Aku pun masih kesulitan untuk menjabarkannya secara verbal supaya runut dan mudah dipahami. Tapi bismillah ya, semoga bisa dipahami dengan baik.
Awalnya aku menjadikan tulisan Laura Mulvey sebagai landasan untuk mengembangkan gagasan. Ini juga karena partner diskusiku adalah Azwar yang juga film-enthusiast, sehingga kami rasa menyandingkan pandangan Laura Mulvey dengan karya ini sepertinya akan sesuai, seperti alasan yang aku jelaskan sebelumnya. Laura Mulvey dalam esainya banyak menjelaskan male gaze dari sisi film, entah hasil akhir filmnya sendiri atau perilaku penonton ketika di bioskop dengan melihat perempuan sebagai objek pasif. Dan karena pisau bedah kami adalah tatapan dan kamera, maka sepertinya memang esai inilah yang bisa dijadikan pijakan awal untuk membongkarnya. Apalagi, pertama, tari Gong ini penarinya adalah perempuan yang menari di satu titik saja dan tubuhnya berputar 360 derajat sehingga seluruh bentuk tubuhnya akan terlihat sehingga kesan erotisnya pun terbentuk. Erotika yang aku maksud di sini bukan karena gerakan tubuhnya, tapi pandangan yang terbentuk ketika menonton video tari Gong ini. Kedua, karena ini berdasarkan pengalamanku sendiri yang banyak mengkonsumsi tarian ini lewat media digital. Aku menggali arsip-arsip koleksi KITLV, YouTube dan juga arsip pribadiku ketika mengunjungi kampung Merasa di Berau, Kalimantan Timur beberapa waktu silam untuk mengakses perkembangan tari Gong ini.
Tapi yang perlu diingat, esai ini ditulis Mulvey pada tahun 1975. Sehingga aku juga sebenarnya menambah referensiku dari tulisannya Michael S. Kimmel (2004) yang berjudul Masculinity as Homophobia: Fear, Shame and Silence in the Construction of Gender Identity dan mengaitkannya dengan fakta yang hidup di Indonesia sekarang, terutama dalam hal wilayah “senyap” seperti yang juga dijelaskan oleh mbak Linda sebagai dramaturgku di karya ini. Wilayah “senyap” ini munculnya dari homophobia, dimana laki-laki takut laki-laki lain akan membuka kedok kelaki-lakiannya, mengebiri mereka, dan mengungkapkan kepada kita dan dunia bahwa mereka bukanlah laki-laki sejati. Jadi bisa saja, peristiwa male gaze pun didasari oleh sesuatu yang berada di wilayah “senyap” tersebut seperti hal-hal di luar kesadaran yang aku sebutkan di atas. Contohnya seorang pria mungkin akan merasa inferior ketika berada dalam perkumpulan para pria sehingga yang diperlihatkan adalah “kejantanannya”, karena mereka dituntut dan ditanamkan sedari kecil kalau pria tidak boleh menangis, harus kuat, harus macho agar tidak terlihat lemah sehingga beban itu yang secara “senyap” ditanggung oleh pria. Akibatnya ketika pria merasa terpuruk atau sedih, maka ia tidak bisa secara leluasa mengekspresikannya. Beda dengan kita para wanita yang punya privilese untuk terlihat vulnerable, bisa menangis dan mengutarakan apa yang kita rasakan secara lebih leluasa. Ya gak sih?
Akhirnya aku mengujicobanya lewat tatapan dari keberagaman gender untuk menyandingkan dengan dua tulisan yang sudah dibaca sebelumnya. Untuk “keberagaman tatapan” itu sendiri, selain hal yang aku jelaskan sebelumnya, aku juga meminjam metode Marlene Dumas dalam menciptakan karya. Dimana lukisan portrait yang ia buat jauh dari kesan cantik dan indah yang dipahami secara konvensional (tatapan dominan). Banyak juga yang mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Dumas sebenarnya adalah female gaze (tatapan perempuan)-nya ketika menatap sesuatu. Hal ini yang menarikku untuk menggunakan metodenya dalam membongkar tatapan “yang mempesona” itu. Jika biasanya merekam dari arah depan, akhirnya sudut pandangnya aku ubah -meminjam metode Dumas- dengan merekam dari berbagai arah. Jadi pertimbanganku akan dari dua sisi, apa yang ada di balik tatapan dan mencari tahu bagaimana pesona tari Gong itu dibentuk.
Temuannya sudah tentu menarik. Di awal, apapun gender mereka, banyak yang senang merekam jari yang lentik, rambut yang panjang dan tubuh yang terlihat kurus tinggi semampai. Ini bisa saja male gaze (konstruksi) dalam media digital, karena visual itu yang sering kita lihat di sosial media, film, video klip musik, dan majalah. Namun makin lama, karena eksperimentasi ini dilakukan terus-menerus maka ketika hasil foto-videonya dijembrengin akan terlihat sebenarnya ada yang hanya fokus di bagian kaki, di hasil foto yang blur, di posisi frame yang miring, dan merekam tubuh secara keseluruhan dari jarak yang jauh. Dan ketika dibalik ke proses perekamannya, seperti yang terlihat di karya, tubuh-tubuh para kamerawan merespon apa yang sedang mereka tatap juga mempengaruhi atau dipengaruhi hal-hal sekitarnya. Dan bagiku sendiri, bagaimana akhirnya Tari Gong dihadirkan melalui tatapan, baik tatapan si penari, kamerawan, dan editor video ini juga banyak termediasi dan dimediasi oleh banyak hal sehingga mempengaruhi tatapan, termasuk juga yang sedang menonton karya ini secara virtual.
Niatan eksperimentasi dan temuan yang kudapat dalam karya ini sebenarnya bukan untuk mencari definisi apa itu male gaze atau seperti apa pesona tari gongnya, tapi apa yang ‘ada’ di balik itu semua.
Aku juga tidak ingin memproklamirkan sesuatu, tapi lebih kepada bagaimana aku menyisir wacana itu dan melihat retakan-retakannya.
Menurutmu sendiri bagaimana? Karena aku tahu kamu lebih banyak berinteraksi dengan permasalahan ini karena praktik kerjamu juga banyak membahas tentang gender kan ya?
Nia (14/10/2021)
Ternyata sampai sini jadi terasa penelusuranmu jadi sangat komprehensif, karena itu juga yang sebenarnya seringkali dikritisi sendiri oleh para aktivis gender soal pergerakannya. Memang dalam aktivisme, di awal pergerakan, kelompok yang paling rentan yang harus “diselamatkan” duluan, makanya kenapa dalam persoalan kesetaraan gender kebanyakan perempuan duluan yang dibicarakan. Ini bukan karena sentimen tertentu, tapi memang karena secara statistik perempuanlah yang banyak menjadi korban dari ketimpangan gender untuk sementara ini. Nah tapi, seperti yang kamu tuliskan ada ruang “senyap” yang kemudian memang seringkali tidak terbicarakan. Sebenarnya kan korban dari patriarki ini bukan hanya perempuan. Meskipun laki-laki sepertinya mendapat banyak privilese, namun sebenarnya kondisi mereka juga sulit di tengah tatanan ini. Persis seperti yang kamu katakan, ada tuntutan soal standar kejantanan yang tentu sebagai manusia, tidak semua laki-laki dapat memenuhinya, kalau direfleksikan dari pengalaman perempuan kita juga sama bukan? Ada standar perempuan yang dianggap baku oleh konstruksi sosial yang tidak semua perempuan dapat memenuhinya. Bahkan angka statistik kekerasan laki-laki terhadap perempuan yang tinggi itu bisa jadi diantaranya dipicu oleh bagaimana laki-laki tidak punya ruang untuk menjadi vulnerable Meskipun di sini aku tetap tidak akan pernah membenarkan perbuatan kekerasan macam apapun. Tapi hanya coba mengurai pemicu dan akar ketimpangan gender yang selama ini terjadi di masyarakat.
Nia (15/10/2021)
Selanjutnya ke soal gaze ini aku setuju soal menghadirkan tatapan yang beragam untuk satu produk budaya tertentu. Nah… tapi memang sangat kompleks dan subtil ketika membicarakan soal gaze yang didasarkan pada latar belakang gender karena kaitannya soal kesadaran. Secara personal aku mengejar logika ini mulai dari relasi dengan apa yang sudah terpaparkan di atas, gaze tentu akan terkait dengan pengalaman khas masing-masing gender. Pengalaman-pengalaman inilah yang biasa disebut sebagai maskulinitas dan feminitas. Manifestasi dari pengalaman-pengalaman ini tentu sangat mungkin muncul dalam tatapan masing-masing. Nah pada dasarnya kan maskulinitas dan feminitas serta manifestasinya bisa jadi tidak bermasalah ketika tidak dibarengi dengan relasi kuasa yang biasanya berbuntut pada subordinasi. Menurutku, inilah yang bisa jadi memicu si tatapan ini mengobjektifikasi yang sedang ditatap. Jadi akhirnya ini nyambung ke “The Image of Burden” nya Marlene Dumas. Di dalam wawancara, dokumentasi, dan kuliah Marlene Dumas yang aku tonton melalui youtube (setelah membaca tanggapanmu di atas) dia sendiri menyatakan bahwa dalam karya ini niatnya memang melukis image. Kata image ini konteksnya memang jelas dalam Bahasa Inggris, mungkin ketika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia jadi harus ada penjelasan. Pada dasarnya di sana dia memberi penjelasan bahwa niatnya memang bukan melukis bentuk yang ketika orang melihat langsung bisa mengidentifikasi siapa atau apa yang terlukis secara solid, tapi justru ada layer kompleksitas dan ruang imajinasi yang dimungkinkan hadir di sana. Dia sebagai pelukis tentu punya kuasa untuk melukis apa saja, tapi secara sadar dia tidak menggunakan kuasa itu untuk membungkam kompleksitas suara asalnya, ada sense of caring yang aku tangkap. Apakah ini female gaze? Caring ini kan memang salah satu pengalaman perempuan yang sangat khas. Aku pernah menuliskannya di satu tulisan lain (yang masih menunggu terbit…hahaha) bahwa dengan memiliki rahim di dalam tubuh kita pada akhirnya perempuan memang sangat terkoneksi dengannya melalui fungsi-fungsi perawatan. Caring ini dimungkinkan jadi salah satu gesture yang punya kekuatan besar. Contoh sederhananya, dengan perawatan kita dapat membuat tanaman di rumah tumbuh sehat, dari sana mampu mempengaruhi situasi rumah, menjadi lebih lancar pasokan oksigennya, secara visual juga menenangkan mata, dengan itu bisa sangat berpengaruh pada kondisi kesehatan hingga produktivitas orang-orang di dalam rumah tersebut. Sebegitu besar fungsi perawatan ini, hingga kadang kala dalam dinamika politik dan kekuasaan fungsi perawatan ini seakan dilemahkan dengan dianggap sebagai nomor dua dibandingkan dengan fungsi kepemimpinan misalnya, bisa jadi ini juga alam bawah sadar kolektif soal ketakutan perpindahan kuasa(?).
Kembali lagi ke Marlene Dumas, mungkin memang dia berkarya dengan tatapan perempuannya. Namun, catatan soal tatapan perempuan buatku juga sama dengan tatapan laki-laki, jika di dalamnya pihak-pihak yang ditatap dilemahkan, maka mungkin itu belum benar-benar female gaze yang berdasarkan pengalaman khas perempuan tadi. Masih ada bias karena relasi kuasanya masih timpang di sana, ada yang subordinat.
Eh kok jadi panjang, tapi buatku lagi-lagi menghadirkan aktor-aktor yang beragam untuk menemukan sudut pandang yang beragam pula sudah bagian dari gesture of caring, yang kemudian membuat karya ini setidaknya mempertimbangkan kompleksitas di balik tubuh seseorang atau lebih spesifik lagi tubuh tari yang sedang dibaca. Itu buatku jadi catatan penting soal proses karya “Pesona” ini. Termasuk bagaimana kamu menyandingkan dengan narasi-narasi yang dekat dengan generasi penarimu, Putri, soal K-Pop dan TikTok.
Bagiku jadi cukup jelas pembacaan konteks karya ini. Nah, mungkin pertanyaanku selanjutnya adalah, bagaimana proses menghadirkan penari yang menarikan tari Gong di sini, yang keduanya baik kamu maupun Putri tidak berlatar belakang Dayak Kenyah? Karena ini berkaitan dengan tatapan juga bukan? Maka di sini ada tubuh tari Gong yang memiliki kompleksitas budayanya termediasi melalui tubuh kalian berdua.
Kemudian secara personal aku juga melihat karya ini lebih sebagai metodologi ketimbang bentuk. Aku terpantik dari tulisan mas M. Dinu Imansyah di gelaran.id berjudul “Ini Pesona Bapak Budi” soal bagaimana jika tarinya bukan tari Gong? Metode kerjanya sama, diganti tari yang lain? Jika hal ini dimungkinkan berarti bisa jadi closure dari karya “Pesona” ini memang metode(?) Akhirnya terkait dengan apa yang kamu tuliskan juga, bahwa karya ini bukan mencoba untuk menarik kesimpulan atas pesona tari Gong tapi lebih kepada menyisir wacananya. Maka tari Gong ini adalah pendekatan yang mungkin memang didasarkan pengalaman tubuhmu sebagai penari selama ini ya?
Echa (16/7/2021):
Hahaha iya ya, ga kerasa sudah lumayan panjang tulisannya. Untuk mempersingkat, mungkin jawabannya akan aku singkat aja kali ya?
Menghadirkan aku dan Putri di karya ini juga butuh pertimbangan yang matang. Karena karya ini juga berbasis arsip, maka kedua tubuh kami (Putri dan aku sendiri) juga punya arsip (ingatan dan pengalamannya) masing-masing. Aku dengan (1) komunitas seni mahasiswa Kalimantan Timur, dengan (2) aku yang mengalami beberapa peristiwa seni di Berau dan luar Berau terkait tari Gong, dengan (3) aku yang mengakses kanal YouTube untuk melihat tari Gong dan banyak peristiwa lainnya. Sedangkan Putri dengan (1) pengalaman dan ingatannya ketika sedang latihan tari Dayak dengan teman-teman ISI, serta (2) pengalamannya ketika ikut sebagai kolaborator dalam seri The Enchantment of Tari Gong. Jika dikerucutkan, pertimbangan ini mengarah ke bagaimana kami melihat, mempelajari, mengalami dan menatap tari Gong, yang tentu saja juga banyak dipengaruhi oleh pengalaman kami masing masing, baik secara langsung maupun yang termediasi oleh media digital. Alhasil ketika mbak Linda, Ika, Jessica, Syahidin dan Naomi (dramaturg dan aktor/penonton) melihat kami berdua menari, mereka sangat bisa melihat perbedaan gerak tubuhku dan tubuh Putri. Namun, aku memang tidak memperlihatkan dan menyandingkan kedua tubuh kami dalam karya Pesona ini karena fokusnya tidak ke arah itu (dulu). Aku sedang menabungnya dan mungkin tabungan ini akan keluar di waktu yang tepat, hehe.
Terkait tulisan mas Dinu yang dicatut dalam pertanyaanmu, jika berandai untuk menggunakan metode ini dengan tari yang lain, tentu saja sangat mungkin diterapkan. Dalam karya ini, niatan koreografiku adalah menggali pesona tari Gong dan menyisir tatapannya dengan melakukan eksperimentasi tatapan keempat kawan melalui kamera telepon genggam. Eksperimen ini yang kemudian menjadi pendekatanku dalam membaca wacana pesona tari Gong yang aku dan kita(?) konsumsi selama ini dan menyisir retakannya, yang tentu saja dibantu dengan alat baca yang aku sebutkan sebelumnya. Pendekatan ini yang kemudian bersifat cair, bisa diterapkan, bisa dikembangkan dan tentu saja dikritisi dengan konteks masing-masing.
Begitulah kira kira. Terima kasih ya, Nia. Senang bisa menulis dan berbagi denganmu.
Eka Wahyuni, memulai karir di tari kontemporer sejak tahun 2016 dengan berfokus pada fenomenologi, budaya, sejarah, arsip, media digital dan masyarakat. Tiga tahun terakhir ia telah menciptakan beberapa karya yang dipentaskan di Imajitari 2019, Distance Parade 2020, Indonesian Dance Festival 2021, Helatari Salihara 2021, ArtJog 2021, dan Flores Writers Festival 2021. Selain menjadi koreografer independen ia juga menjadi volunteer di Paradance dan Lingkaran | KOREOGRAFI, serta bekerja paruh waktu di Cemeti Institut untuk Seni dan Masyarakat, Jejak Tabi Exchange dan DokumenTari. Ia juga menginisiasi Portaleka dengan kegiatan diskusi dan lab karya.