fbpx
Kamis, April 25, 2024
ULASANPanggung Teater

Masihkah Negara Berkuasa di Hadapan Ibu? : Ulasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” – Teater Amarta di Linimasa#5

[Raihan Robby]. Konon, meski desas-desus ini tak dapat dibenarkan juga (tetapi banyak yang percaya), bahwa jika ada kabar yang beredar di desa, maka kabar itu akan terdengar dan tersebar dengan cepat, biasanya gosip ini berisi tentang tetangga atau penghuni baru yang tidak pernah srawung hingga muatan kecemburuan sosial. Omong-omongan yang berpantulan dan semakin memburamkan kebenaran itu biasanya ditemukan dalam berbagai macam platform seperti gerobak sayur, pos ronda, jalanan kampung hingga persyarikatan ibu-ibu PKK.

image001 1 | Masihkah Negara Berkuasa di Hadapan Ibu? : Ulasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” – Teater Amarta di Linimasa#5

Namun, bagaimana jika yang menjadi gosip dan omongan panas itu adalah negara dengan seabrek masalahnya? Realitas sosial inilah yang coba diangkat oleh Teater Amarta dan Paguyuban PKK Siliran dengan naskah “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” yang ditulis oleh Latief S. Nugraha dan disutradarai oleh  Nunung Deni Puspitasari dalam Parade Teater Yogyakarta Linimasa Teater #5 dengan tema “Ruang. Kosmik. Jiwa”.

Jejeran kursi dengan nama-nama telah memenuhi apron Concert Hall TBY itu, sementara di langit-langit sebuah wajan besar terikat menggantung dengan tali merah, penonton menangkap gambaran awal itu sebagai sesuatu yang simbolik, yang mungkin akan menyampaikan sesuatu dalam pertunjukan. Layar terbuka, seketika para ibu-ibu PKK dengan seragam merah mudah beryel-yel, bernyanyi dengan riang menyapa penonton, setelah selesai bernyanyi para ibu-ibu PKK duduk di kursinya masing-masing, seorang sekretaris PKK tersisa di panggung, memanggil Pak Dukuh untuk datang menghadiri rapat yang menampung aspirasi rakyatnya.

IMG 9627 copy | Masihkah Negara Berkuasa di Hadapan Ibu? : Ulasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” – Teater Amarta di Linimasa#5
Seragam Pink dan Luka yang Bergerincing

Pak Dukuh berdiam diri dengan senyum sunyinya di kursi dengan levelitas yang tinggi, tampaklah jelas struktur sosial bahwa seorang “kepala” haruslah ditempatkan setinggi-tingginya, alih-alih menyatu dengan bagian “tubuh”-nya yang lain.

Ibu sekretaris PKK mengizinkan Bu Dukuh Official untuk memberikan pidato, ketika hendak berpidato, kata-katanya nya direbut oleh Bu Dukuh Mantan, peristiwa itu terjadi secara komikal dan propagandis. Perebutan itu bukanlah tanpa sebab, ini terjadi dalam sejarah Indonesia, meski PKK dibentuk pada masa Orde Lama, namun penancapan cita-cita dan propaganda lebih santer pada masa Orde Baru, hal ini, menunjukan bagaimana cemerlangnya Orde Baru membangun “pemaksaan” nilai-nilai itu dengan cara yang halus dan jitu dalam struktur masyarakat terkecil, namun vital: sebuah keluarga!

Itulah mengapa Bu Dukuh Mantan seakan masih mempunyai warisan kuasa dan membekas, ia bahkan mempunyai massa yang terus mendukung dan mengelu-elukannya, Bu Dukuh Mantan ini layaknya Ibu Tien Soeharto dengan gaya bicara akhiran “keun” ala Orba dan deheman serta gestur tubuh rendah dan melambat namun menyimpan ego pembangunan yang tinggi. Warisan kuasa itu tetap terbenam dalam diri ibu-ibu PKK; melalui mars PKK, bahkan sepuluh pokok program PKK yang dicetuskan pada bulan Juli 1978 itu bagi saya tak hanya berat, tetapi seakan mustahil untuk dilaksanakan, kesepuluh program itu adalah:

  1. Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
  2. Gotong Royong
  3. Pangan
  4. Sandang
  5. Perumahan dan Tata Laksana Rumah Tangga
  6. Pendidikan dan Ketrampilan
  7. Kesehatan
  8. Pengembangan Kehidupan Berkoperasi
  9. Kelestarian Lingkungan Hidup
  10. Perencanaan Sehat
BACA JUGA:  Untuk Aku, Pertunjukan bukan sekedar "curhat"

Ibu Tien Soeharto jelaslah seorang perempuan yang memikirkan nasib dan masa depan perempuan Bangsanya sendiri, ia pun mengakui bahwa cita-citanya adalah meneruskan perjuangan Kartini, maka pada tahun 1982 melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 49, Ibu Tien Soeharto diangkat menjadi Pelindung Utama PKK, fokus utama dari PKK adalah bagaimana melibatkan perempuan dalam pembangunan seperti yang dipaparkan Ibu Tien Soeharto dalam Rakernas IV PKK, 11 Februari 1993.

Kecerdikan (yang menyeramkan) ini dilakukan oleh Orba dengan pola yang sama: semata-mata untuk pembangunan, dan negara yang kuat berasal dari seorang ibu yang sehat lahir dan batinnya. Jika ibu sehat maka keluarga pun sentosa, dan negara berdiri tegak di atas pondasi ini. Dapat terbayangkan betapa politisnya Orba merasuki ruang, jagat raya hingga jiwa ibu-ibu PKK.

Seperti itulah penggambaran Bu Dukuh Mantan yang seakan masih memiliki kuasa, tetapi tak ada kekuasaan yang dapat bertahan selama-lamanya, Bu Dukuh Official sebagai representasi ibu-ibu Reformasi menentang dengan keras kebijakan dan pemikiran “kuno” Bu Dukuh Mantan. Terpecahlah mereka menjadi beberapa kelompok. Kelompok lama melawan kelompok baru, Orba versus Reformasi, di tengah-tengah mereka golongan putih hadir tak memihak, namun, tak memihak juga berarti memihak, mereka mencoba menengahi konflik tak berkesudahan itu.

IMG 20221026 WA0026 1 | Masihkah Negara Berkuasa di Hadapan Ibu? : Ulasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” – Teater Amarta di Linimasa#5

Meski menggunakan seragam pink mentereng, mereka semua tak mempunyai pemahaman yang sama tentang arti “apa itu PKK?” yang ditanyakan oleh Ibu Sekretaris PKK, pengelaborasian antara Orba yang seragam dan kebebasan reformasi terlihat melalui jawaban-jawaban yang diberikan, mulai dari hal besar hingga hal kecil seperti: memamerkan prestasi anak atau meminjam uang di koperasi.

Seluruh pementasan ini hampir tanpa musik, tentu hal ini menjadi eksplorasi yang menarik dan menantang! Bebunyian hadir melalui suara dari ibu-ibu PKK yang khas dengan karakter, celetukan-celetukan dan tek-tokan yang berpantulan; menjadi luka yang bergerincing. Sebab ibu-ibu PKK ini, disadari atau tidak, adalah bentuk paradoksal yang nyata, mereka menyimpan tubuh politis dan kegamangan sejarah dari satu orde ke orde lainnya. Namun, di sisi lain mereka juga membutuhkan ruang untuk bersosial dan memanfaatkan ruang sosial itu, di sana, setidaknya dalam pertunjukan ini, ibu-ibu PKK tampak sangat bahagia sekali meski mereka menanggung beban 10 program pokok hingga kepanjangan tangan negara yang buntung.

BACA JUGA:  HERMENEUTIKA GERAK : Ekstasis Waktu dalam “Sandekala” — Melika Rahmawati
Aduh, Pak Dukuh!

Sebelumnya telah disinggung bahwa levelitas tempat duduk Pak Dukuh berada dalam tatanan yang lebih tinggi, dan selama pertunjukan berlangsung Pak Dukuh hanya menunjukan gestur tubuhnya yang merespon tiap tingkah-laku dari ibu-ibu PKK, di beberapa titik pertunjukan Pak Dukuh menjadi pelayan dengan membawakan nasi tumpeng sebagai tanda dibukanya rapat dan syukuran.

Namun, ia masih tetap tak bicara dan kembali ke tempat duduknya yang lebih tinggi, para ibu-ibu PKK tetap bergeming dengan situasi yang hadir. Sekilas peran Pak Dukuh mengalami distorsi; ia memang seorang kepala pemerintahan dan laki-laki, namun ia tak begitu dapat berbuat banyak dalam persyarikatan itu, hal ini menjadi bukti kemandirian ibu-ibu PKK dalam mengatur dan merumuskan segala persoalan yang ada. Tetapi, hal ini pula dapat menandakan bahwa “kuasa” dari Pak Dukuh yang hanya memperhatikan rapat disertai dengan senyuman sebagai bentuk kelanggengan dari “pembangunan”, di mana seakan-akan dialah yang mengontrol ibu-ibu PKK itu. 

IMG 9734copy | Masihkah Negara Berkuasa di Hadapan Ibu? : Ulasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” – Teater Amarta di Linimasa#5

Simbolisasi yang kuat justru lebih jauh terasa ketika Pak Dukuh mengerek kain merah dengan sebuah daster mengkilap yang menempel di ujung atas kain merah itu para ibu-ibu PKK menyanyikan lagu “Bagimu Negeri”, ketika kain merah sepenuhnya terbentang maka terlihat dengan jelas siluet bendera merah putih. Bentuk domestik dalam daster ibu rumah tangga itu, menyimbolkan bahwa ibu rumah tangga memiliki peranan penting dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. Setidaknya lebih dapat ditangkap maknanya daripada wajan yang tergantung di langit-langit sebagai setting, bukan sebagai teks yang dapat direspon.

Menjelang akhir pementasan, para ibu-ibu PKK masihlah berdebat tentang apa itu PKK, dan fungsi serta masalah di dalamnya, sebelum Pak Dukuh akhirnya berbicara menengahi keributan itu dengan mengatakan sekalimat dialog yang membuat pertunjukan menjadi agak canggung “Baik ibu-ibu sekarang saatnya ngocok (dengan penekanan dan jeda yang membuat ekspresi ini menjadi ambigu) arisan”. Sontak seluruh ibu-ibu PKK berteriak riang dan bernyanyi kembali seperti saat pertunjukan dimulai.

BACA JUGA:  In Transit: Meminjam Rangkaian Peristiwa

Bagi saya, akhir pementasan ini memberikan efek terasing bagi diri saya sendiri, sebab, apakah segala masalah pun penawar luka dari ibu-ibu PKK itu adalah arisan? Serta pelesiran, pembuatan seragam hingga jalan sehat dalam dialog-dialog sebelumnya yang membuat mereka bersatu, meski memang pada kenyataannya ibu-ibu sangat menyukai arisan dan segala hal menyenangkan lainnya (seperti narasi saya di awal tentang gosip, hal ini tak dapat dibenarkan namun banyak yang mempercayainya juga). Di satu sisi, hal ini juga menujukan bagaimana kerentanan ibu-ibu PKK sebagai kepanjangtanganan negara yang mengurus hal-hal domestik dan mengakar seperti keluarga yang masih membutuhkan perhatian dan pertolongan berlebih, bahwa warisan Orde Baru masih terasa dan mencengkram hingga kini.

IMG 9790copy | Masihkah Negara Berkuasa di Hadapan Ibu? : Ulasan “Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga” – Teater Amarta di Linimasa#5

Kelegaan dan kebanggaan juga merasuk hati saya sebab Teater Amarta menjalin hubungan dengan Paguyuban PKK Siliran, sehingga secara keseluruhan pementasan, tubuh ibu-ibu PKK begitu organik dan domestik, ibu-ibu mendapatkan ruang dan menyuarakan dirinya sendiri di sana, lebih jauh lagi, penonton tak hanya berposisi sebagai penonton, tetapi anggota persyarikatan PKK. Hal ini membuat saya memikir ulang kembali: apa itu keluarga, hingga masihkah negara berkuasa di hadapan ibu-ibu PKK yang dapat “mengakali” segala propaganda dari negara, dan tetap menjalankan fungsinya sebagai memberdayakan dan menyejahterakan keluarga.

Dokumentasi Pertunjukan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga bisa dilihat di video di atas mulai awal hingga menit ke 01.40.00
Raihan Robby

Raihan Robby

Raihan Robby, lahir dan besar di Jakarta, kini ia sedang menyelesaikan studinya di Sastra Indonesia UNY, ia menjadi alumni kelas penulisan Naskah Lakon Komunitas Salihara 2022, dan tengah mengikuti Lokakarya Penulisan Naskah Teater Remaja DKJ 2022. Dapat ditemui di IG @raihanrby.