Semoga Tak hanya Satu Kali : Catatan untuk pentas “Hanya Satu Kali” – Sasmita Teater UNY
1.
Ada sebuah undangan yang memintamu datang menyaksikan pertunjukan pada 14 Februari, pertunjukan dari kawan-kawan Sasmita Teater, KMSI UNY, sebelum dipertunjukkan kepada publik pada tanggal 21 Februari. Dan setelah mendapati ada luang di tanggalan, kau lekas saja mengiyakan. Toh, sudah lama tak ke kampus dan menyaksikan pertunjukan, ucapmu sambillah menuliskan iya sebagai balasan. Malamnya, kau datang; dan seperti yang kau duga, kau dapati serangkaian perubahan pada gedung—dan juga orang-orang. Seperti seorang kanak, sepasang mata dan kepala, kau arahkan ke mana-mana: mencoba menerka dan mengingat silam ketika. Dan kedatanganmu itu kali kau siapkan tanpa genap menelusuri: tentang naskah dan apa-apa yang menyertainya. Itu kali, kau sedang iseng saja ingin hadir sebagai penonton; meskipun kau mendapati satu informasi: mereka mementaskan naskah berjudul “Hanya Satu Kali” sebuah saduran yang dilaku oleh Sitor Situmorang pada karya “The Valints” karya John Galsworthy dan Robert Midlemans.
Itu malam, sebab masihlah sejenis uji coba, maka bangku penonton bisa dikata cukup lengang; dan kau bisa mencari posisi yang nyaman—bahkan sejenis seenak jidat. Namun, tentulah saja, kau menonton masih dengan selumrahnya. Sebab belum banyak orang, selain kru dan beberapa orang yang diundang untuk menyaksikan, kau bisa dengan lebih leluasa menyaksikan pemusik yang ada di belakang: yang juga menyaksikan panggung pertunjukan. Ah, paduan suara yang amat mempesona kala pembuka…! Dan kau pun menyaksikan adegan demi adegan, menyimak dialog-dialog yang karena satu-dua hal terasa samar terdengar dan belum kuat tersampaikan. Namun, tentu, pada batas tertentu, kau cukup yakin bisa berkata: masih bisa dinikmati adanya. Ada beberapa hal yang mengganjal pada tatapanggung, tapi lekaslah kau tepis: toh esok masih akan dimaksimalkan: pasti masihlah ada yang belum terselesaikan dalam kerja pertukangan. Begitu pula dengan riasan. Namun, dalam soalan riasan, kau dapati hal yang menarik: riasan serupa pantomim. Ah, nanti, selepas pertunjukan, akan kutanyakan, pikirmu sambil berganti posisi duduk menyaksikan.

Adegan akhir, dan paduan suara itu kembali tampil. Gema lekas terasa. Dan pertunjukan pun bisa dikata rampung. Kemudian, sekalian orang merapat, duduk melingkar, membincangkan apa-apa yang menjadi catatan bagi pentas yang telah ditentukan tanggal. Siapa-siapa saja yang datang dan diundang itu malam menyampaikan masukan, kritikan, dan serangkaian catatan. Pertanyaan, pernyataan, konfirmasi, afirmasi, dan sejenisnya silih berganti; demikian juga apa yang hendak kau tanyakan. Dan seperti yang telah kau duga, properti dan set panggung juga tatarias memang belumlah maksimal: memang diambil yang minimal—sebab alokasi untuk tanggal pentas resmi yang telah ditentukan. Soalan riasan dan ruang pun disampaikan: hendak membuat suatu visual hitam-putih. Dan kau kagum mendengar itu: serta membayangkan pabila bisa genap terealisasi. Namun, tentu, seperti salah seorang kawanmu menyampaikan: pijakan konsep dan artistik mestilah saling berkaitan dan menunjang. Dan kau kena todong pula untuk berbicara; dan kau hanya mengafirmasi apa-apa yang telah disampaikan oleh senior maupun kawan-kawanmu yang lebih paham, juga mengingatkan bahwa waktu tinggal sepekan—lantas serangkaian masukan, kritik, dan saran mestilah genap ditimbang.

Setelah acara, kau berbincang dulu dengan beberapa kawan di angkringan dekat kampus. Dan, setelah genap tengah malam, setelah genap berkisah tentang berbagai soalan dari masa kini ke masa silam, kau pun memutuskan pulang. Di rumah, barulah kau sadari, beberapa lintasan unik. Sepekan sebelumnya, kau kembali membaca buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo karya Triyanto Triwikromo, dan merampungkan naskah drama Anarkis Itu Mati Kebetulan karya dari Dario Fo. Ah, dua karya yang dekat dengan hukuman mati; juga penjara, intimidasi, hukuman, dosa, keluarga, dan serangkaian moral-moral instansi. Itu malam, selepas merapikan beberapa hal, kau membayangkan pertunjukan pekan depan bisa lebih terasa soalan-soalan demikian.
2.
Sebuah undangan lagi, dan kau mengupayakan untuk datang dan menyaksikan pertunjukan. Itu malam, kau mengambil posisi yang lain lagi untuk menyaksikan; dan tentu kau dapati sejenis gembira tersendiri sebab bangku penonton penuh sesak. Dalam batas tertentu, memang sudah kau dapati alur cerita, tetapi, bagimu, pertunjukan selalu baru: dan kau pun membuktikan itu. Set panggung telah genap: beberapa masukan ditimbang, di samping apa-apa yang kemarin belum lengkap telah genap dan siap. Amatlah terpukau kau pada set itu; meski ada satu-dua hal yang masih mengganjal bagi matamu: seperti level pada set sel penjara, sebab membuatmu tak genap bisa menyaksikan aktor-aktor yang berperan di sana. Adegan demi adegan pun telah berjalan, telah berputar; dan kau dapati ada serangkaian perbaikan—dan ada pula yang betah dalam sejenis catatan. Namun, ketika menimbang dari pekan yang silam, tentulah kau berani berkata: Ada pesat perkembangan. Meski demikian, seperti selumrahnya pertunjukan, bagimu, yang ditimbang adalah apa yang sekarang, apa yang tengah kini berhadapan.

Dalam tatapanggung, sepasang matamu jelaslah terpukau kepada ruang peristiwa yang hendak dicipta, dan tercipta. Akan tetapi, seperti sebelumnya, ruang itu belum dimaksimalkan. Relasi antara tubuh-aktor dan set-properti belumlah genap dimaksimalkan: hanya saling mengadakan, dan belum menjadi suatu kesatuan. Citra hitam-putih atau monokromatik, yang hendak dihasil-munculkan, belumlah optimal: saat pencahayaan tertentu berhasil, tapi pada pencahayaan lain menjadi janggal. Bahkan, kau dapati celetukan kawan di sebelahmu: Bung, ketika lampu itu nyala, para aktor seperti manusia-silver, ya, kan? Kau pun mengumpat pelan; dan sialnya sepasang matamu memang mengiyakan. Ah, manusia-silver dalam dramaturgi yang mencoba realis . . . Dan mesti kau akui, bahwa sepasang matamu juga sedikit terganggu dengan ornamen-ornamen bawaan dari gedung yang dipakai pertunjukan: ornamen-ornamen yang mana mestinya diakali dengan sedemikian rupa guna menunjang dramaturgi pementasan. Dan sepasang matamu, yang belakangan diasuh seni rupa, menggoda kepalamu untuk berkata: Set itu amat menarik sebagai instalasi. Dan tentu, kau amat menyayangkan relasi tubuh-aktor dan ruang itu kembali—

Tentu, kau tidak memungkiri, bahwa aktor adalah core dari teater. Ya, meski kau paham, model pernyataan yang kau amini tadi bisa pula untuk lekas dikontra dan ditentang. Adapun, ketika menimbang aktor, tentu ada sejenis pemakluman dalam dirimu: mereka mahasiswa yang masih belajar dan berpijak pada mula. Namun, kau jelas paham, soalan demikian tidaklah boleh genap mendominasi. Sepasang matamu, juga telingamu, setidaknya mendapati aktor-aktor itu belum menjadi, belumlah menikmati, peran yang coba dihadirkan. Suara dan tubuh aktor, di sepasang mata dan telingamu, menunjukkan demikian. Beberapa bloking ganjil muncul: beberapa bisa dikata berhasil—tapi lebih sering sebaliknya, lebih sering membuat beberapa malah jadi lemah. Intensitas yang dibangun dari dialog dan suara terkadang patah; dan ini sangat disayangkan. Ambiens hujan pun belum bisa genap mencipta atmosfer yang mencekam dalam. Meski begitu, ada beberapa potongan dialog, juga monolog, terasa menggema. Dan kau amat curiga, sebab itu hadir seperti puisi, seperti deklamasi puisi—sehingga seolah bisa berdiri sendiri.

Dan seperti sebelumnya, dengan intensitas yang membaik tentunya, kau bisalah berkata, bahwa kau menikmati pertunjukan “Hanya Satu Kali” itu: menikmatinya sebagai suatu penghiburan—yang getir…
3.
Setelah pertunjukan, riuh tepuk tangan; dan setelah agak lengang, ada lingkaran: ada kembali diskusi kecil-kecilan. Riuh kembali terasa, meski dari lirih kata-kata: pertanyaan dan upaya tuk mempertanggungjawabkan. Tentu, muncul pula pertanyaan itu: Kenapa riasannya demikian ketika mengejar pertunjukan yang mengupayakan memijak realis, kenapa naskah saduran Sitor dari sebuah naskah luar yang dipilih dan ditampilkan dengan artistik yang demikian pula, dan kenapa puisi yang dimunculkan di pertunjukan adalah puisi Huesca yang adalah saduran pula yang dilakukan Chairil dari puisi luar yang juga lain budaya lain sejarah sosialnya dari naskah yang disadur Sitor… Dan begitu riuh. Dan kau menikmati soalan yang demikian. Dan lebihlah kau pilih guna menyimak pertanyaan dan jawaban-jawaban—sambil membayangkan andaikan adegan tokoh Yahya dengan senter di ruang gelap itu bisa dimaksimalkan dan menjadi semakin dramatik, juga bunyi kunci-kunci yang membawa ngeri.
Sepasang matamu tentulah terpukau pada sutradara, aktor, dan kru lainnya: sebab mereka amat rajin mencatat apa-apa yang datang kepada mereka. Ah, ternyata memang membaik dalam satu dan dua hal, pikirmu sambil menikmati teh hangat di depanmu. Dan setelah serangkaian kritik dan catatan, ada pula pernyataan dari kawanmu yang malang-melintang dalam perteateran itu: bahwa ia amat gembira dan mengapresiasi, dan menegaskan bahwa catatan dan kritik tadi tidak genap berarti bila tak berproses lagi, bila tak pentas lagi. Ah, ucapmu lirih setelah menyeruput teh hangat lagi, setelah sekian kebekuan, sebab pandemi, sebab serangkaian regulasi-birokrasi, juga suksesi, akhirnya, ini malam ada pentas lagi. Saat hendak turun, di parkiran, salah seorang kawan bertanya padamu bagaimana; dan kau menyampaikan saja: Setelah sekian kebekuan, pentas ini malam terasa menyegarkan pula—tapi segar saja tak pernah cukup, ya, kan. Dan kau pun menyalakan Astrea hitam, lantas pulang ke rumah kontrakan. Dalam perjalanan pulang, dengan sedikit gerimis melanda, kau mengingat saat kau masih pada kisaran aktor, sutradara, atau tim produksi itu berusia. Dan meski tak genap jadi aktor, sutradara, penulis naskah, atau tim artistik-musik yang baik, kau cukup bisa berkata, teater (kampus) sudahlah mengajarkanmu membaca; mengajarkanmu bertanya kenapa, juga apa dan bagaimana. Tentu, kau berharap jika teater sebagai cara baca dan pembacaan itu dapat dirasa generasi selanjutnya pula. Ah, semoga, kampus tetap betah memberi ruang bagi teater, dan seni lainnya; dan semoga mahasiswa lebih betah guna mencipta dan mencipta . . . []