Tradisi “Dibuang” Kemana? Performance and Discussion : Dinamika Wacana Tari dari Kursi Penonton
Laporan oleh : Ficky Tri Sanjaya*
Sore, Selasa 18 Juli 2017 pukul 15.30, Pendhapa Art Space menggelar hajatan tari dan diskusi di panggung terbuka halaman belakang. Nampak kursi-kursi berjejer di depan panggung, para penonton yang hadir memadati ruang pertunjukan meski belum penuh. Lambat laun menjelang senja, mulai banyak orang berdatangan baik penonton umum, seniman, maupun praktisi seni. Acara ini digelar dalam dua sesi. Sesi pertama berupa pertunjukan Europalia dan diskusi bersama koregrafer, sesi kedua pada keesokan harinya, diisi pertunjukan dan juga diskusi.
Pertunjukan Sore itu adalah pertunjukan dari Europalia Dancer 2017; dari Mugiyono Kasido (Jawa Tengah), Haryanto Gulur (Jawa Timur), I gede Radiana Putra Bali, Ilham (Sherli Novalinda). Europalia adalah festival seni internasional yang diselenggarakan sejak tahun 1969 di Belgia dan negara-negara Eropa lainnya, dengan mengundang Negara Tamu dan berlangsung selama 4 bulan. Mencakup berbagai disiplin kesenian: seni rupa, seni pertunjukan (musik, tari, teater), sastra, film, juga seminar. Kesenian yang ditampilkan bisa dalam bentuk tradisi, kontemporer, kreasi baru, dan kolaborasi. Indonesia terpilih menjadi negara ke-4 di Asia, dan negara Asia Tenggara pertama yang menjadi Negara Tamu. Penyelenggaraan mulai dari 10 Oktober 2017 – 21 Januari 2018 (lebih jelasnya, cek pada laman http://www.europalia.id/).
Pertunjukan pertama dari koregrafer Sherlie Novalinda dengan penari Ilham, berjudul Meniti Jejak Tubuh (In The Footsteps of Body). Secara garis besar garapan tari ini mengetengahkan penerjemahan semangat dan ingatan gerak tubuh tradisional ke tubuh kontemporer. Bercerita tentang pengalaman transformasi tubuh si-koregrafer perempuan ke tubuh lain yang berbeda gender dan latar belakang kebudayaan. Mencoba mempertontonkan tubuh lain melalui sejarah yang berbeda (Info: Booklet acara), Ilham sebagai penari menari di tengah panggung dengan telanjang dada, di bawahnya ada lingkaran berwarna-warni memusat dari besar ke kecil. Penari menari dengan gerak bebas beraneka ragam dengan tempo rancak, skala besar dan kecil, dengan pengaturan nafas, kepercayaan diri serta keseimbangan yang baik. Levelitas dan bentuk tubuh yang terus tumbuh dan tumbuh. Ada gerak-gerak tubuh dan bentuk anonim yang sulit untuk dikenali.
Pertunjukan kedua adalah dari I Gede Radiana Putra. Ia adalah generasi keempat dari keluarga seniman pertunjukan di desanya, Singa Padu, Bali. Ia sudah mengenal instrumen gamelan sejak umur empat tahun dan dan menari di atas panggung sejak umur 5 tahun. Sore itu dia mempertontonkan tarian tradisional berjudul Baris. Adalah sebuah jenis tarian perang tradisional dari Bali yang menggambarkan perasaan seorang pahlawan muda sebelum ia pergi ke medan perang, mengelu-elukan kejantanan pahlawan Bali dan menunjukan kemantapan kepemimpinannya. I Gede Radiana menarikan tarian secara solo modern Baris. Tarian bagian ini adalah tarian untuk anak muda, ditarikan sejak pertama dia menari (Info Booklet acara). Apa yang tersaji dalam karyanya sore itu, ia menari seolah tubuh, gerak dan jiwanya hidup menyatu. Sehingga, tarian ini sungguh hidup, memiliki nyawa dan hentakan kuat yang sampai ke penonton. Gerak tubuhnya adalah perwakilan dari yang ‘lain’, meski musiknya hanya play-back, tetapi gerak tubuhnya mampu berkata melampaui semua itu. Seakan-akan tari adalah dia dan dia adalah tarian itu. Sebagai penari tradisi ia penuh dengan kerelaan dan ketulusan tinggi, sehingga yang tersaji bukanlah lagi gerak teknis tetapi jiwa penari dalam menarikan tarian tersebut dengan penuh hikmat.
Pertunjukan ketiga adalah sajian Mugiyono Kasido, yang berjudul Kabar-Kabur atau The Rumors. Tarian ini adalah ekpresi secara umum dari observasi situasi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia. Tarian ini memotret kondisi arah masyarakat yang kacau, terbolak-balik, ragu-ragu atau bimbang. Seperti tidak serasi. Semua terdengar seperti banyak rumor, berlawanan, samar-samar, dan meragukan, membuat sulit untuk dimengerti apa yang sebenarnya terjadi pada 1998 sesudah rezim Soeharto jatuh, setelah 32 tahun berkuasa (Info Booklet acara). Penampilan Mugiyono begitu sederhana. Dia hanya menggunakan kaus oblong berwarna putih dan celana pendek. Dia muncul dengan gerak-gerak simbol mematung, patah-patah dan mengalir. Dia menari seakan menggeliat penuh dengan improvisasi dan gerak slaptsick, menirukan simbol-simbol militer, bahkan menirukan gerak tari Baris yang tampil sebelumnya, sebagai kosa kata gerak olok-olok dalam rangkaian tariannya. Dengan memainkan bajunya sebagai bagaian dari kostum sekaligus properti, tangan dan kepalanya keluar masuk dengan bergantian melalui segala celah lubang yang ada di seluruh bagian bajunya.
Moh. Hariyanto, pengajar di STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya sekaligus pendiri Suwung Dance Studio, sore itu menampilkan tarian ‘G.H.U.L.U.R’. Gulur terinspirasi dari Topeng Ghulur dalam tari Larangan Bromo Vilage, Sumenep Madura. Visual tarian ini menjadi dorongan Hari untuk menggarap G.H.U.L.U.R. Tarian ini adalah tentang dialog antara tubuh dengan bumi, diantaranya menerjemahkan gerak bergulung. Di G.H.U.L.U.R, dia banyak berguling, melompat, dan merangkak–tidak berdiri–, menyampaikan ide mengenai pusat keseimbangan manusia hanya ada di kaki adalah tidak selalu benar, serta bagian tubuh yang lain dapat pula menjadi ruang (Info Booklet acara). Pertunjukan tari ini menggunakan seng yang dirangkai memanjang kurang lebih 5 meter sebagai alas untuk menari. Sebelumnya, seng ini tergulung rapi di sisi samping panggung, kemudian dengan teknik sentuhan pelan meggunakan bagian tubuh, seng tersebut lalu bergulung memanjang dan melebar berguling memenuhi panggung pertunjukan. Dengan kostum baju minimalis transparan berwarna cokelat tanpa lengan, Hariyanto berjalan lalu dengan tiba-tiba mulai menjatuhkan diri, bergulung, melompat, bergerak cepat dan pelan menghabiskan tariannya tanpa berdiri, kemudian menarik seng dan bergulung serta di dalamnya. Muncullah bantal dari balik seng yang sedari tadi menjadi salah satu latar lain lain di panggung. Dari seng dan tubuh yang beradu terdengar suara “gemeratak”. Tariannya mengingatkan pada pertumbuhan hampir seluruh seni pertunjukan kontemporer saat ini, sebagai perkembangan tari kontemporer bekerja pada ranah multi disiplin. Gagasan multidisiplin tersebut mungkin tumbuh sebagai respon atas pertumbuhan gagasan dan pertumbuhan seni lain di luar tari yang saling mempengaruhi.
Secara garis besar apa yang disajikan dalam keempat pertunjukan tersebut memiliki dinamikan dan keragaman cakupan dalam gagasannya. Eksplorasi tubuh serta pengalaman yang menjadi ekpresi gerak dalam karyanya tumbuh menjadi representasi dari latar belakang budaya dan tradisi masing-masing. Pada awalnya sulit sekali untuk memahami akan kemanakah tubuh-tubuh tari ini. Seolah tari tradisional Baris karya Gede yang disajikan lebih utuh dan lengkap secara bentuk dan makna, selain mudah dipahami sebagai pertunjukan dibanding tari lain seperi Kabar-kabur, Meniti Jejak Tubuh, dan G.H.U.L.U.R. Namun, setelah perlahan mulai memberi diri untuk lebih memahami, terasa ada suatu kesadaran akan keaadan dan lintasan pengetahuan para penari yang ikut pula terpahami secara samar-samar. Sebagai penonton dan saat menonton. Terkadang ada narasi yang sudah nyaman tinggal, sehingga sulit untuk lebih terbuka menerima dan memahami seluruh sajiannya tanpa berpihak. Ketika memberi waktu diri memahami lebih dalam dan terbuka, tersadarkan akan adanya konteks realitas, ruang dan waktu dalam memahami makna ‘tradisi’ pada sekian pertunjukan tari yang disajikan.
Memahami perkembangan tubuh tari sebagaimana realitas saat ini dalam bingkai ‘tradisi’ tidak dapat terbebas dalam ruang dan waktu. Diterima atau tidak memahami ‘tradisi’ dalam konteksnya saat ini, tidak dapat terlepas dari memahami si-seniman, pun kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya. Dalam konteks si-seniman pembuat karya; ruang dan waktu serta realitas yang melingkupinya saat ini dapat menjadi gagasan atau pijakan sumber penciptaan karya-karya ‘tradisi baru’ sebut saja ‘Kabar-kabur’, ’Meniti Jejak Tubuh’, dan ‘G.H.A.L.U.R‘. Oleh karena itu, tidak dipungkiri memahami kata dan karya ‘tradisi’ kemudian tidak semata-mata dapat dipahami dengan makna dan bentuk yang sudah ada atau lama/pakem seperti dalam karya tari Baris. Bisa jadi kata ‘tradisi’ juga dapat terpahami maknanya pada karya-karya kontemporer baru yang tumbuh dari realitas dan pengetahuan yang berkembang saat ini.
Pada akhir pementasan, ada diskusi tanya jawab antara penonton dengan para koregrafer. Obrolan pertanyaan dan peryataan lebih mengarah pada apresiasi dan konfirmasi atas gagasan dan karya penciptaan, mengenai persoalan rasa dan pengalaman, mengenai apa yang telah ditangkap penonton melalui pengalaman menontonya serta proses kreatif para koregrafer dan penari.
Diskusi ditutup oleh kurator bidang tari Europhalia, Sal Murgiyanto. Beliau merangkum dan memberi penjelasan mengenari karya-karya koregrafer yang akan dibawa pada ajang tersebut. Menurutnya gagasan karya seni sejak lahirnya dapat diekpresikan sebagai sarana dialog kepada tuhan, lingkungan (binatang, tubuhan, dan sebagainya), sesama manusia, maupun kepada dirinya sendiri. Penonton sebagai ruang representasi dialog bagi penari bisa jadi memiliki rasa dan pengalaman; baik itu yang nyaman maupun yang tidak nyaman. Menurutnya kedua hal tersebut tidaklah bermasalah, sebab ‘ruang’ pertunjukan seyogyanya menjadi ‘ruang’ dialog untuk saling mendekatkan diri antara penari dan penonton agar saling dapat dimengerti.
Penonton diberi kebebasan berpendapat dalam melihat dinamika perkembangan tari, penari sebagai pengkarya harus mencari dan memiliki titiknya berhenti; titik berhenti yang dimaksud adalah ketika para koregrafer mewadahi gagasan, perasaan dan kegelisaannya kedalam karya pertunjukan harus memiliki dan memahami apa yang disebutnya sebagai titik henti. Jika hal tersebut tidak disadari penonton akan mudah bosan, dan berujung pada kegagalan dalam memahami karya yang disajikan. Sebelum menemukan bentuk dan makna karya seni ‘tradisi’ seperti Baris bisa jadi dahulu juga seperti tari kontemporer saat ini. Hanya saja kemudian ada kepentingan dan kebutuhan, taruhlah saja kerajaan. Kemudian, makna dan bentuk pertunjukan itu kemudian mampu dibungkus dengan segala pernak-pernik kelengkapanya hingga menjadi lebih elegan saat ditonton. Menurut analisisnya karya-karya dari keempat koregrafer yang disajikan sudah cukup reprsentatif sebagai potensi dinamika makna dan bentuk tari ‘tradisi’ Indonesia dalam ruang dan waktu wacana kontemporer saat ini.
Pesan beliau pada para koregrafer terpilih ini, ke depannya setelah ajang Europalia ini para koregrafer mampu lebih memantapkan diri dan lebih terbuka untuk menciptakan ruang dialog pada masyarakat di daerah-daerahnya sebagai langkah membumikan gagasan-gagasan tari yang sinergi untuk mendekatkan diri dengan para penikmatnya.
Yogyakarta 19 Juli 2017