OPINION, Kepuasan Pekarya Yang Sulit Dicerna
[Latif Prakoso]. Oase akan kehausan menonton pentas teater secara langsung terbayar dengan tuntas. OPINION karya Andy S.W atau lebih dikenal dengan nama Eswe menjadi salah satu pentas secara offline yang terlaksana pada tanggal 10 Desember 2020. Bertempat di Ong Art Centre (OAC), Nitiprayan, Yogyakarta dihadiri sekitar 25-30 penonton yang mematuhi protokol kesehatan.
Mengingat pertunjukan ini dilaksanakan dalam kondisi pandemi Covid, sehingga banyak keterbatasan. Namun, pertunjukan berjalan dengan sangat akrab pada tempat yang tidak terlalu luas. Setiap penonton dan aktor mampu melebur dalam pertunjukan. Keberuntungan bagi saya karena bisa menjadi bagian dalam pertujukan sebagai penonton. Setidaknya pertunjukan ini mampu memberi makan imajinasi dan pikiran setelah sekian lama kelaparan.

Namun ada hal yang cukup menarik untuk dibahas karena saat menonton pertunjukan ini, muncullah satu pertanyaan, “Apa sih yang sebenarnya ingin Eswe sampaikan?”
Memang, jika membicarakan masalah estetika maka tak perlu diragukan lagi, pasalnya persoalan itu telah jadi tempat paling leluasa dalam intelektual Eswe. Imajinasi liarnya kerap muncul dalam karya-karya sebelumnya. Sama seperti pertunjukan yang dirangkum dalam tajuk OPINION kali ini, mulai dari nomor “Kesibukan di Ruang Bawah”, “Manten Anyar” dan “PLiKadaL” adalah ide gila yang ditampilkan. Sebagai aktor mime, Eswe membuat pertunjukan dengan cerdas. Menghadirkan pertunjukan pantomime dengan cerita yang begitu sederhana. Sayangnya masih saja, setiap seniman memiliki ke-egoisan masing-masing. Sehingga menuntut sang penonton untuk membuat interpretasi sendiri.
#1 Kesibukan di Ruang Bawah
Seperti halnya pada pertunjukan pertama yang dihadirkan, “Kesibukan di Ruang Bawah”. Selayaknya pentas pantomime, pertunjukan kali ini pun tak banyak dialog didalamnya. Bahkan tidak ada sama sekali. Penuh simbol dan gerak tubuh yang begitu manis. Simbol yang begitu jelas secara langsung dipaparkan diawal, sebuah jam dinding menghiasi kelahiran seorang tokoh. Jika diinterpretasi secara sederhana maka mungkin setiap kelahiran orang tak akan lepas dari waktu. Atau bisa saja, ini akan menjadi kelahiran akan tuntutan waktu. Manusia tak bisa lari dari setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun dan nama waktu lainnya. Dikuatkan dengan hadirnya simbol lain seperti magic com atau alat untuk menanak nasi dalam pertunjukan ini mampu mempertegas kesibukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

#2 Manten Anyar
Pertunjukan kedua yang mungkin mengabarkan kehidupan sepasang manten anyar (pengantin baru). Peristiwa yang dibawakan adalah keresahan sang pengantin dalam menjajaki masa pernikahan. Kesenangan-adaptasi-nafsu-rumah tangga dan keterikatan. Apa yang terjadi pada pasangan ini, sama halnya dengan kehidupan pasutri lain dalam dunia kenyataan. Seorang suami yang masih saja selalu dominan dan bebas untuk melakukan apapun. Bahkan saat menganggur sekalipun. Mungkin saja Eswe ingin mengangkat kritik patriarki yang begitu kental dalam budaya timur. Pilihan yang cerdas untuk membawakan isu ini. Bisa jadi pula ini adalah sindiran keras akan filosofi “dapur, pupur lan Kasur” yang jadi pandangan besar orang Jawa terhadap wanita.

#3 PLiKaDaL (Pidato Pembangunan)
Pertunjukan ketiga ini cukup kritis memang, namun dibawakan dengan apik dan jenaka. Melihat dari judul sepertinya pertunjukan ini akan mengarah ke Pilkada, namun diplesetkan jadi Plikadal. Entah ini akan jadi umpatan atau hanya guyonan semata seorang seniman. Gaya pertunjukan dan alur cerita yang dibawakan memang sangat mengkritik peristiwa saat Pilkada berlangsung. Begitu pula yang saya cerna saat menonton pertunjukan ini. Bahkan di akhir pertunjukan, setiap penonton diminta menarik “sandal” yang ada di mulut seorang tokoh. Bagai penghakiman yang harusnya didapatkan oleh setiap pembual, secara khusus kepada mereka yang tak menepati janji untuk rakyat.

Apakah setiap peristiwa hanya onani semata?
Secara keseluruhan, pertunjukan OPINION pantas untuk hadir sebagai karya seni. Dari masalah yang dihadirkan tak jauh dari peristiwa terdekat, untuk senimannya atau untuk penontonnya. Tata panggung yang cerdas, music yang menyatu, gesture yang luwes dan keaktoran yang bagus pun dihadirkan dalam setiap pertunjukan. Maka bisa dikatakan pertunjukan ini begitu indah ditampilkan.
Masalahnya, apakah penonton akan memahami setiap peristiwa yang disampaikan. Membiarkan imajinasi liar sang penonton terbawa sampai rumah masing-masing, lalu hilang begitu saja. Sehingga pertanyaan saya yang pertama tadi harus terjawab.
Menerka pertunjukan ini sama saja mengingat pernyataan teman saya dulu “pentas apik ki sek angel dicerna.” Haruskah seperti itu? Kemudian, bagaimana jika pertunjukan ini dihadirkan dalam masyarakat yang berpandangan seperti teman saya tadi. Apakah nilai sebuah pertunjukan akan jadi rahasia langit? Atau karya seniman hanya akan dinikmati seniman?
Ketakutan yang sangat besar ada dibenak saya, melihat setiap pertunjukan tersebut dipenuhi dengan simbol yang harus diterka. Sebuah pertunjukan nampak eksklusif untuk para seniman-yang mungkin saja bisa menerka maksudnya. Setiap ruang pertunjukan dipenuhi dengan tanda tanya sang penonton, lalu sedikit berharap pada diskusi di akhir pertunjukan.
Onani, ya kata itu yang langsung ada dalam pikiran saya. Walaupun sebenarnya peristiwa yang dihadirkan begitu dekat dengan kehidupan, namun penonton juga dituntut untuk liar dalam meng-interpretasikan. Sangat disayangkan memang jika pertunjukan ini masih menjadi objek kepuasaan pekarya. Teater tidak lagi hadir dan mampu menyentuh hati setiap lini masyarakat. Sehingga panggung teater tak lagi menjadi ruang sosial dimana nilai kehidupan mampu diperbincangkan dan diperdebatkan.
Dilain sisi, pertunjukan OPINION sudah dekat dengan konsep dari Augusto Boal. Dimana teater mampu menjadi wadah untuk pembelajaran politik dan sosial secara langsung pada masyarakat. Tapi apakah masyarakat mampu belajar melalui sebuah karya yang interpretasinya belum pasti. Ruang-ruang pembelajaran nampak ditutup tembok yang sedikit transparan. Mampu melihatnya namun tak dapat disentuh. Jika memang sebuah pertunjukan hanya hadir untuk pekarya, apakah masyarakat tak layak untuk dapatkan tontonan cerdas ini.
Jadi setiap kata mungkin dari pemaparan saya pun adalah hasil dari imajinasi liar untuk menerka sebuah pertunjukan. Sebagai penutup. Apa guna sebuah pertunjukan yang indah, namun tak mampu masuk dalam ruang sunyi kerakyatan.
Sudah baca yang ini?:
- OPINION, Kepuasan Pekarya Yang Sulit Dicerna - 23 April 2021