Selasa, Oktober 15, 2024
ULASANPanggung Teater

Dangdut Gerobak Dorong: Ketika Penguasa Bergoyang Sewenang-wenang

[Lugas Ikhtiar]. Pemuda B, seorang rekan dalam proses teater kampus, pernah berkata bahwa pementasan yang bagus selalu diawali dengan dangdut. Lalu bagaimana jika seluruh kehidupan di atas panggung adalah dangdut itu sendiri?

Tidak seperti biasa, tirai panggung tidak tertutup kali ini. Bukan cahaya, musiklah yang paling pertama masuk, disusul para aktor dan cahaya kemudian. Seperti pantulan sinar matahari pada cermin yang jatuh persis di mata kita, adegan pembuka yang menyilaukan. Kostum dengan tone terang semakin menyala setelah permainan cahaya dimulai sementara para aktor menyanyi dan menari secara bersamaan.

Pentas produksi teater Unit Studi Sastra dan Teater (UNSTRAT) UNY yang ke-42 dihelat pada Kamis, 9 Februari 2023 di Taman Budaya Yogyakarta. Pada pementasan kali ini, sutradara Cinta Ing Larasati menggarap naskah “Dangdut Gerobak Dorong” karya penyair cum kritikus seni pertunjukan muda Raihan Robby. Ternyata, ini sudah kali kedua naskah Robby dipentaskan setelah naskah sebelumnya, “Payung Hitam”, dipentaskan oleh Sasmita Teater, KMSI UNY.

image 6487327 2 | Dangdut Gerobak Dorong: Ketika Penguasa Bergoyang Sewenang-wenang

Sebagai penonton, saya ingin berfokus pada hal yang menarik dan hal yang kurang menarik pada pementasan kali ini. Tentu, hal ini dapat menimbulkan bias dan memperpanjang sesi sarasehan pasca-pentas semalam. Barangkali ini tidak terlalu perlu. Namun, bagaimanapun juga, saya toh akan tetap membicarakannya.

Meminjam sifat lampu, bagian pertama yang saya “sorot” adalah konsep pertunjukan. Secara konsep, pementasan ini digarap dengan serius. Sebuah kesimpulan yang mudah kita identifikasi sebab panggung telah dimodifikasi sedemikian rupa melalui kerja leveling dan pemisahan panggung. Panggung pertama adalah kampung Dangdut yang berada di depan, sedangkan pangung kedua merupakan panggung belakang yang kemudian dibentuk dua meter lebih tinggi dari panggung depan. Panggung kedua inilah yang kemudian digunakan sebagai singgasana sekaligus tempat munculnya para pejabat. Kontras tersebut sebenarnya lazim ditemukan pada pentas teater lainnya. Ini menjadi menarik lantaran digarap oleh kelompok teater mahasiswa.

Jika boleh meminjam kata kerja dalam divisi perlengkapan, konsep kedua yang ingin saya “angkat” adalah persoalan tata cahaya. Beberapa adegan memanfaatkan tata cahaya dengan baik. Pada bagian pembuka dan transisi antar-babak, tata cahaya tereksekusi dengan cermat. Ini bisa diidentifikasi melalui keterhubungan emosi antara warna cahaya, tingkat keredupan/keterangan dan emosi adegan. Permainan emosi melalui representasi warna dilakukan berulang kali dan berhasil. Bagian yang mengejutkan kemudian adalah ketika lampu senter pada bagian gerobak dorong dinyalakan ketika adegan transisi juga sedang dijalankan. Suasana seperti menyusuri gang gelap, menyusuri jalan kesenian yang sunyi dan mencekam menjadikan permainan semakin menarik. Meskipun begitu, ada beberapa sedikit

BACA JUGA:  Semesta Sumilah: Teater, Arsip dan Harapan

ganjalan di bagian ending ketika cahaya tidak “dijatuhkan” tepat di atas para aktor dan membuat suasana menjadi “lepas”.

Jika dan hanya jika istilah sutradara bisa dipinjam, maka saya akan “mengarahkan” paragraf ini untuk tata musik. Pada bagian tata musik memiliki persoalan yang mirip dengan tata cahaya. Di bagian ketika musik dimainkan secara live, emosi pemusik dengan aktor berkelindan dan meciptakan adegan yang dramatis. Namun, ketika speaker memainkan lagu rekaman, emosi sempat tercerabut dari bangku penonton, setidaknya itu yang saya rasakan dari bangku deret kedua. Sebagai seseorang yang lebih dekat dengan skena dangdut dari Jawa Timur-an, saya juga merasa sedikit berjarak dari pilihan lagunya. Beberapa sesuai, beberapa ada yang mengacaukan tangga dramatik adegan.

Dari segi cerita, pementasan “Dangdut Gerobak Dorong” setidaknya mengetengahkan dua persoalan. Dua isu ini lekat dengan Jakarta sebagai setting tempat yaitu persoalan keberadaan “kampung kota” dan “kehadiran negara” melalui oknum yang selalu ikut campur. Pertanyaannya kemudian, di mana letak dangdutnya?

Kampung Dangdut: Tergoyangnya Eksistensi Kampung Kota

Di Jakarta, kampung kota merupakan persoalan yang serius sejak lama. Seiring bergantinya pemimpin, penataan bagian kota yang satu ini selalu menemui persoalan yang sama: antara kemanusiaan dan pembangunan. Pada pementasan ini, isu ini diangkat melalui kehadiran para pekerja informal yang mencari nafkah lewat gerobak dangdut. Sebut saja Tia sebagai salah satu biduan, dan Jamal sebagai biduan yang agak centil, dan Mboh sebagai tukang service sound system juga pendorong gerobak. Mereka hidup di salah satu kampung kota yang kemudian disebut Kampung Dangdut. Begitulah, dangdut sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

image 6487327 | Dangdut Gerobak Dorong: Ketika Penguasa Bergoyang Sewenang-wenang

Selain itu, persoalan lain yang cukup penting dan relevan dengan kampung kota adalah sertifikat tanah. Kepemilikan tanah selalu menjadi sengketa antara orang yang lebih dulu tinggal dan orang yang akan memanfaatkannya kemudian. Pemanfaatan lahan secara eksploitatif inilah yang membuat orientasi pembangunan selalu diarahkan pada pemenuhan ambisi pribadi dan bermuara pada keuntungan pihak-pihak tertentu saja.

BACA JUGA:  Apa Kau Percaya Kesakitan Ini Bisa Dibagi dan Disembuhkan Bersama Jalan Memutari Diri? | Catatan dari Kelas Kala Teater

Pada   pementasan ini, sikap   pemerintah   terhadap   kampung   kota   yang   dianggap kontra-produktif dengan wacana pemerintah adalah dengan melakukan penggusuran. Pandangan yang sarat akan stigma negatif terhadap para pekerja dangdut ini juga disematkan oleh pemerintah. Strategi lain seperti memainkan ambisi terkenal dan menjanjikan kekayaan juga dilakukan oleh pemerintah. Dengan berbagai macam dalih dan janji itulah, para penduduk dibuat sepakat dengan rencana pemerintah.

Meskipun begitu, cerita menjadi menarik lagi ketika beberapa penghuni menghadirkan kasus-kasus relokasi alih-alih penggusuran yang awalnya manis berujung tragis. Sikap skeptis ini yang kemudian muncul dalam sosok Tia dan beberapa tokoh lainnya sebagai pahlawan dalam pementasan kali ini. Sikap melawan ini didasarkan pada terintervensinya ruang hidup mereka. Ketika suatu tempat berubah, maka tidak hanya tempat yang lenyap, tetapi juga kisah. Tidak sekadar persoalan kehilangan tempat tinggal, mereka juga tidak rela kalau Kampung Dangdut kehilangan identitasnya.

Negara sebagai Dalang dalam Pertarungan Aparat vs Sipil

Sebagai buntutan dari persoalan penggusuran, ada masalah lain yang kemudian timbul di atas panggung. Mula-mula, tokoh bernama Eko dikenalkan sebagai seorang staf Satpol PP yang tak berdaya. Hubungannya dengan Kampung Dangdut, terkhusus dengan Tia, awalnya baik-baik saja. Ia merupakan pacar Tia yang rutin mendatanginya di Kampung Dangdut untuk bertemu dengannya sekaligus meminta setoran. Sampai pada suatu titik ketika atasannya mendapat order dari pemerintah daerah untuk menggusur Kampung Dangdut tempat Tia dan kawan-kawannya tinggal.

Masalah ini menjadi kian menarik lantaran kisah romantisme yang melibatkan dua orang dari dua kubu berseberangan: Tia yang berpihak kepada penduduk Kampung Dangdut dan Eko yang terlalu nyeyak di ketiak penguasa. Sebagai aparat negara, Eko tidak memiliki kuasa lebih untuk bisa membatalkan rencana penggusuran ini. Sebagai warga, Tia berdiri tegar di barisan terdepan untuk menantang penggusuran. Namun, di balik pertentangan itu, ada hantu besar yang disebut “negara”.

Sederhananya, dalam pentas “Dangdut Gerobak Dorong”, negara dikonstruksikan sebagai pengusaha, pejabat, dan aparat yang terlibat pelimpahan kekuasaan yang juga sarat akan kepentingan. Hierarki ini ada di balik hampir semua pembangunan. Dengan pelimpahan kuasa ke mata rantai yang lebih bawah, negara seakan-akan melempar bola api kepada aparat untuk dimainkan bersama masyarakat. Dalam konteks pementasan di atas, ini terjadi ketika negara lepas tangan atas kericuhan yang terjadi antara Satpol PP dan penduduk Kampung Dangdut.

BACA JUGA:  Dari Sampakan ke Mantradisi di Parade Teater Yogyakarta

Dengan bercuci tangan ini, disadari atau tidak, negara bahkan telah merusak tatanan paling dasar dalam kehidupan bernegara. Terlebih lagi, kasus seperti Tia dan Eko mungkin sangat lazim untuk terjadi di dalam satu rumah, satu kerabat, maupun saudara. Mereka yang semula hidup baik-baik saja malah jadi mengorbankan kemanusiaan satu sama lain. Bagi saya, ini     adalah keberhasilan negara yang “menggoyang” rakyatnya dengan sewenang-wenang.

Dari dangdut, kehidupan di atas panggung dimulai. Ambisi-ambisi diciptakan tidak jauh darinya. Mimpi menjadi penyanyi, sound man, bahkan memiliki studio rekaman dijejalkan oleh pemerintah kepada penduduk Kampung Dangdut. Alih-alih menyejahterakan, mereka malah melenyapkan. Akhirnya, kecintaan kepada dangdut juga–pembelaan atas identitas dan sarana penghidupan–yang menyebabkan Tia dan Eko melupakan cintanya, melupakan rasa kemanusiaannya.

Lugas Ikhtiar Briliandi

Lugas Ikhtiar Briliandi

Lugas Ikhtiar Briliandi lumayan sering melakoni pementasan semasa kuliahnya baik sebagai aktor, tim rewang produksi, maupun sutradara. Bersama Teater Kami Bercerita ia pernah mementaskan Dalam Bayangan Tuhan (2018), Sidang Susila (2019), dan Mega-Mega (2021). Bersama Etnika Fest, ia menyutradarai Dhemit (2022). Dapat ditemukan di instagram sebagai @lugasikh