Rabu, Mei 21, 2025
ARTIKEL & ESAIInterkulturalSejarah Tari & TeaterTeater

Grotesk di Meksiko

Di Meksiko, kematian dan kesakitan tidaklah sunyi tetapi menjadi bunyi dan warna. Sehari-hari mendengar kisah thriller dari kartel dan akal bulusnya, melihat tengkorak setara dengan hello kitty yang gemas dan dicintai juga Frida mungil budak cinta dari kesakitan mencintai tubuh besarnya Diego Rivera yang digambarkan sebagai gajah dan merpati.

Sosio-kultur Meksiko terasa dalam gambaran yang grotesk. Popularitas kartel dengan cita-cita adiluhung untuk memerangi kemiskinan menjadi bagian dari mitologi modern. Kisah “El Chapo” misalnya, kartel Sinaloa memiliki kekuatan melampaui hukum, yang tak terpikirkan oleh pikiran-pikiran awam. Ia dipercaya bertanggung jawab atas 34.000 kematian. Sosok robinhood di dunia nyata dalam batas heroisme dan kriminalitas, sekaligus diagungkan oleh masyarakat dengan menolong kaum tertindas.

Tradisi perayaan hari orang mati “Dia de los Muertos” menjadi salah satu diantara tubuh grotesk sebagai budaya populer. Kematian ditertawakan dengan ikon tengkorak senyum yang hadir dalam berbagai bentuk seperti hiasan tanah liat, permen atau lukisan di wajah. Tradisi yang sangat ikonik ini dieksplorasi dalam film animasi Coco dengan menggambarkan arwah-arwah penuh warna yang bergentayangan.  Grotesk bukan wujud yang menakutkan tetapi menjadi batas antara kehidupan dan kematian.

Deformasi Fisik Bangsa Aztek

Mengakar jauh ke belakang pada masa pascaklasik Mesoamerika 900–1521 masehi, figur dewa-dewa Aztek sering digambarkan dalam bentuk cacat seperti tangan atau kaki yang hilang, wajah yang meringis, punggung yang bungkuk, tengkorak yang terekspos, memiliki dua kepala serta bagian wajah yang terdistorsi.  Tradisi pengorbanan manusia berperan penting dalam pembentukan religiutas tubuh grotesk. Ritual ini dilakukan sebagai persembahan untuk dewa-dewa yang menjaga matahari, dan seringkali menggunakan tubuh lawan yang kalah dalam perang. Dalam kepercayaan Aztek, tubuh menjadi media transisi dalam siklus penciptaan, pengorbanan dan kematian. Darah dan tulang manusia yang dipersembahkan menggambarkan proses regenerasi. Salah satu representasi yang mencolok adalah Xipe Totec, dewa yang memakai topeng kulit korban sebagai simbol kelahiran kembali.

image001 | Grotesk di Meksiko
Figur Xipe Totec di Museum Antropologi Nasional, Mexico City (Dok Sophi, 2024)

Bangsa Aztek muncul setelah mundurnya kejayaan peradaban Toltecs, Mayan dan Olmecs dan membentuk peradaban baru di Lembah Meksiko. Dalam penelitian William T Gassaway yang berjudul Extraordinary Bodies: Death, Divinity, and Distortion in the Art of Postclassic Mexico menyatakan bahwa sistem kehidupan yang teratur berada dalam bentuk-bentuk mereka yang tidak teratur yang mendefinisikan berbagai “wilayah perbatasan” ideologi Mesoamerika. Gagasan pascaklasik tentang deformasi fisik berada di ambang antara penciptaan dan kehancuran, pusat dan pinggiran, kehidupan dan kematian. Keindahan dalam budaya Aztek berada dalam kondisi yang tertib, sedangkan tubuh-tubuh grotesk lahir dari keadaan setelah kehancuran yang lebih dari sekedar indah tetapi transenden.

Kondisi cacat dalam pandangan tentang tubuh dalam budaya Aztek berkaitan dengan penghormatan terhadap kekuatan yang tersembunyi. Mereka adalah sosok istimewa dan sakral. Tubuh yang sakit dan penuh luka menjadi suara keagungan. Beberapa dewa yang berkaitan dengan konsep disabilitas yaitu Tezcatlipoca, Xolotl, Tlazolteotl, Quetzalcoatl, dan Atlatonan. Yang menarik adalah Tlazolteotl, disebut sebagai dewi epilepsi. Bangsa Aztek meyakini bahwa tubuh dengan penyakit epilepsi adalah penyakit suci. Tlazolteotl dikaitkan dengan sosok wanita yang didewakan setelah meninggal akibat kejang-kejang saat melahirkan. Ia dipercaya sebagai dewi yang membawa kehidupan yang subur dan sejahtera dengan memperoleh energi dari kematian dan penderitaan.

Figur-figur yang lahir dari ketidakterdugaan dan kekacauan dalam penciptaan kehidupan baru juga berada diantara komedi dan bahaya. Grotesk dalam bentuk humor berperan penting dalam dunia religiutas Aztek, terutama melalui sosok dewa penipu. Dewa Huehuecoyotl dikenal sebagai penipu (trickster god) yang memberikan kegembiraan dengan bermain musik, tarian dan lelucon untuk para dewa maupun manusia.  Huehuecoyotl melakukan trik-trik tipuan yang menjadi senjata makan tuan dan menimbulkan masalah sekaligus mengandung nilai moral untuk keberlanjutan kehidupan bangsa Aztek.

BACA JUGA:  KUALITAS ATAU SOLIDARITAS? Catatan atas Pertunjukan “Lungiding Turidasmara” ­– HMP Pandawa UNS

Sebetulnya ekspresi-ekspresi dramatis, humoris dan berlebihan juga tergambar jelas pada patung-patung dewa yang dipengaruhi peradaban Olmecs, yang kemudian diberinama oleh Aztek sebagai kebudayaan Tlatilco. Patung-patung ini digambarkan dengan bentuk yangkonyol, akrobatis, dan komikal—salah satunya dengan memiliki kaki menggembung atau kakinya yang elastis menyentuh kepala sebagai praktik ritual dalam keadaan trans.    

Metafora Badut

Grotesk dalam humor mendorong gambaran lain tentang Amerika latin khususnya Meksiko yang erat dengan estetika badut. Tidak hanya sebagai teknik pertunjukan, badut menjadi bagian keseharian. Badut ada dimana-mana—di jalanan, festival atau ritual keagamaan. Kehancuran peradaban Aztek dengan masuknya kolonialisasi Spanyol memunculkan pencampuran estetika, di mana keberadaan badut menjadi bagian dari budaya gereja. Kehadiran badut yang compang-camping berdampingan dengan kemegahan eksterior gereja. Para badut yang menari menjadi bagian dari persembahan kepada Guadalupe untuk memohon keberuntungan. Sosok badut juga tercermin dalam “Danza de la Pluma”, sebuah tarian penaklukan Meksiko dari bangsa Spanyol yang kini menjadi tari daerah dalam perayaan gereja di Lembah Oaxaca. Dalam tarian tersebut, badut memiliki peran sebagai penyihir yang dapat menyamar sebagai anjing, elang, atau ular untuk memata-matai pasukan Spanyol.     

Di Kota Monterrey, Negara bagian Nuevo León, Meksiko, terdapat Festival komedi international bernama Festival ItinerArte, yang dimulai sejak tahun 2015. Festival ini mengkurasi seni pertunjukan komedi sebagai bentuk penghormatan terhadap peradaban Mesoamerika. Di dalamnya, komedi hadir sebagai puncak dari tragedi dan disajikan sebagai gerakan sosial yang dihidupkan melalui sarkasme dan satir, terutama dalam bentuk fisikal komedi. Festival tersebut seringkali menjadikan badut sebagai sajian utama, sekaligus memposisikan badut sebagai medium pengetahuan seni dan filosofi komedi.

Dalam Festival tahun 2024, Badut Golo Salvador hadir sebagai karakter badut ala romawi kuno yang membaurkannya dengan nuansa gelap ala joker. Aksen compang-camping diperlihatkan Golo dengan mengenakan sepatu boots utuh di kaki kanannya, sementara sebelah kiri permukaan sepatunya lepas sehingga jari-jari kakinya terlihat.“Menjadi lucu bagi saya adalah alasan keberadaan saya. kita harus lucu di Kolombia, karena mereka telah membunuh tawa kita. Ketika tawa lahir, kehidupan lahir” ujar Golo. Sementara itu badut Jero dari Meksiko hadir sebagai badut lusuh; ia bertahan dengan konsep pakaian compang-camping dan menjadikan sampah rumah tangga menjadi bagian dari permainannya. Pertunjukan badut-badut ini bersifat partisipatif, mendorong penonton untuk tidak sungkan menjadi badut-badut lainnya dengan menjadi bodoh dan gila.

image002 | Grotesk di Meksiko
Pertunjukan Jero (Mexico) di Festival ItinerArte 2024 (Dok.Sophi,2024)

Victor Quiroga, master badut dari Chili mengatakan bahwa seorangbadut menghadirkan dirinya di atas pentas seperti bagian dari realitas kesehariannya. Ia tidak berusaha menjadi orang lain. Kesadaran pada tubuh yang natural adalah bagian penting dalam menjadi seorang badut. Caranya adalah dengan memahami masalah pribadi, sehinggal dua hal yang menjadikannya lucu yaitu kebebasan dan permasalahan.

Orang-orang Meksiko sangat tergila-gila dengan badut, sang penipu ulung yang dapat memposisikan humor di atas realitas yang suram. Badut dalam bahasa latin yaitu “payaso”, memiliki arti sesuatu yang berbeda.  Ia menjadi figur orang gila dalam sebuah karnaval. Badut tampaknya digambarkan sebagai orang yang tidak berguna sama sekali, tetapi dalam setiap momen perayaan dia menjadi sangat penting. Sebagai profesi seni jalanan seringkali dikaitkan dengan simbol resistensi dari ketimpangan sosial yang masih menjadi masalah besar di Amerika Latin. .

BACA JUGA:  Seberapakah Kita Memberi Ruang Pada Ekspresi Tubuh, Gerak, dan Penciptaan Tari?

Tubuh grotesk dalam keseharian badut membentuk kebahagiaan dan kebebasan  sebagai hasil dari proses melarikan diri dari ketakutan. Badut bukanlah sebuah penokohan, tetapi cerminan karakter diri dan cara menghadapi kehidupan. Ia dapat menilai pribadinya sendiri sebagai orang baik atau buruk untuk mengontrol situasi. Badut berada di ambang batas antara tragedi dan kehidupan baru serta antara yang positif dan penyangkalan.  Realitas seolah-olah dilihat dari cermin cekung dan cembung yang mendistorsi segalanya.

Semua orang memiliki badut dalam dirinya. Badut berada dalam tubuh pelacur, tunawisma, dan travesti—Mereka yang termarjinalkan.

Imigran perempuan dalam Impian Amerika.

Selain menjadi ruang bagi para badut, Monterrey menjadi titik transit dengan menampung tubuh-tubuh yang berkorban dan dikorbankan. Kota tersebut merekam jejak mereka yang menunggu, yang hilang, yang mati dan yang tak lagi kembali. Ketidakamanan di negara asal menjadi alasan para perempuan melarikan diri tanpa membawa apa-apa dan hanya mengenakan satu setelan pakaian yang dipakai. Mereka terpaksa menghilangkan identitas dan menjadi entitas tanpa kebangsaan. Mereka telah melebur dalam ketidakpastian.

Posisi Monterrey strategis dengan perbatasan Amerika Serikat dan memberikan dukungan lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. Para migran perempuan transit di penampungan khusus perempuan bernama Casa Indi, sebelum pergi ke perbatasan. Ada sekitar 2000 hingga 2500 perempuan yang singgah. Sebagian besar para imigran adalah ibu tunggal yang berasal dari Honduras, Haiti, Venezuela,Kolombia, El Salvador, Guatemala, dan orang-orang Meksiko sendiri yang memiliki lebih banyak kemungkinan untuk menyeberangi perbatasan. Biasanya singgah selama tiga bulan bahkan tinggal lebih lama, sedikitnya satu minggu hingga 15 hari sampai mendapat persetujuan oleh pihak imigrasi.  

image003 | Grotesk di Meksiko
Instalasi found object data-data imigran
yang dibuang dalam perjalanan menuju
Perbatasan USA karya Alenjandro dalam pameran “Historias En Movimiento” (Dok.Sophi, 2024)

Daniela, remaja usia 16 tahun dari Colombia berbagi cerita tentang negara asalnya yang mengalami krisis ekonomi serta keinginannya untuk segera merantau ke Amerika. Ia menceritakan bagaimana terjadinya kekerasan geng kriminal dan menargetkan pemerasan terhadap perempuan yang memiliki bisnis sendiri. Mereka mengancam akan membunuh jika korban melawan atau tidak mau menyerahkan uang.

Bagi Daniela, terbiasa berhadapan dengan kematian nyaris seperti lelucon. Ketika mereka tiba di Monterrey bersama ibunya di tahun 2023, Bus mereka disandera oleh Kartel dan terjadi perampokan.

“Ada wanita hamil dengan anak-anak dan wanita hamil itu menangis karena tentu saja dia sangat takut. Mereka mengambil semua uang tunai kami, kami bahkan belum makan dan mereka meninggalkan kami dekat dengan Casa Indi”.

Para kartel meninggalkan mereka sekitar dua blok dari Casa Indi—sebuah anekdot tragis, sosok robin hood yang salah sasaran dan mencoba memperbaiki kesalahannya.

image004 | Grotesk di Meksiko
Lizzete (kiri) yang ditemui Sophi (kanan) dan Amanda (tengah) di Casa Indi, Monterrey (Dok.Sophi 2024)

Lizette dari El Salvador berusia 31 tahun datang bersama Ibu dan kedua anaknya yang masih di bawah umur. Ia melarikan diri dari kekerasan rumah tangga berhadapan dengan mantan suaminya, seorang pencandu narkoba. Sejak 7 Februari 2024, ia berada di Monterrey, tetapi ia sudah meninggalkan El Salvador pada Maret tahun 2023. Sebelumnya ia tinggal di Tapachula, sekitar delapan  bulan menunggu dokumen dan mempertimbangkan untuk tinggal di sana. Namun situasi disana mulai sangat berbahaya. Lizzete dan keluarga juga mengalami perampokan saat menuju Monterrey. Kartel menyandera mereka dan merampas seluruh uang yang mereka miliki.  Hingga mereka tiba di Monterrey, mereka tidak punya apa-apa.

Para perempuan imigran bergerilya untuk melindungi anaknya dari serangan kartel. Mereka terkadang harus berjalan kaki hingga berkilo-kilo meter, memutar jalan untuk menghindari bahaya, serta berpindah dari bus ke bus lainnya sampai puluhan kali, transit menuju ruang transit lainnya. Bentuk pengorbanan demi mencapai Impian Amerika.

BACA JUGA:  Sejarah Indonesia Modern Sekali Klik : Catatan Mengalami Peristiwa Hal-19 Bersama Kalanari Theatre Movement)

Para perempuan imigran meyakini Impian Amerika sebagai landasan menuju hidup yang lebih baik—stabilitas dalam lingkungan tanpa kekerasan dan peluang yang besar untuk pendidikan anak-anak mereka. Negara Amerika memberikan banyak kesempatan untuk berada dalam titik sukses secara kompetitif tanpa memandang kelas sosial dan kondisi lahir.

Jika tubuh grotesk pada badut dengan penanda topeng dan hidung merahnya, atau terlihat sebagai ritual dalam peradaban Aztek, bagaimana jika tubuh-tubuh grotesk yang dipaksakan tanpa pilihan?. Bagi para imigran perempuan yang tiba di Monterrey, harapan mencapai “ambang batas” bukan lagi menjadi agenda spiritualitas atau ilusi tetapi kenyataan yang tidak dapat dihindari.

Kala deformasi fisik terjadi pada nenek moyang Aztek yang berada dalam batas secara spiritual, dan badut mengalami batas secara estetika, para imigran perempuan tidak mengalami kehancuran fisik, tetapi secara psikologis dihancurkan oleh rentetan kekerasan sosial, ekonomi bahkan politik. Mereka menghadapi batas yang nyata. Berjuang menuju tembok perbatasan AS yang berkawat dan menjulang tinggi. Namun yang paling sulit adalah berada dalam ambang batas antara mitos dan fakta Impian Amerika, antara janji kesejahteraan yang diberikan dan kenyataan yang harus dihadapi para imigran ketika berhasil tinggal disana.

“Menyikapi tubuh grotesk adalah logika yang patah bagi mereka yang hidup tertib. Namun, hal yang tidak masuk akal menjadi esensi keberadaan dan seni memiliki”

Sumber:

Disertasi Colombia University “Extraordinary Bodies: Death, Divinity, and Distortion in the Art of Postclassic Mexico” oleh William T. Gassaway (2019)

Collector edition “Stories of People & Civilization Mesoamerica Ancient Origins” oleh Dr Robert Bircher new edition (2023)

Laporan hasil residensi Festival ItinerArte di Meksiko (2024) oleh S.Sophiyah.K Jurnal science direct “Tlazolteotl, the Aztek goddess of epilepsy” Volume 57, Part A, April oleh Lady Diana Ladino, José Francisco Téllez-Zenteno (2016)

https://allthatsinteresting.com/xipe-totec

https://www.nationalgeographic.com/photography/article/dancing-clowns-mexico

https://www.mexicolore.co.uk/Azteks/health/the-Azteks-and-disability

S. Sophiyah K.
Latest posts by S. Sophiyah K. (see all)

S. Sophiyah K.

S.Sophiyah.K merupakan pegiat teater dan seni pertunjukan asal Bandung. Sejak tahun 2017 dengan aktif menjadi Sutradara, Performer/Aktor, Fasilitator, Project Manager serta Program Director. Dalam karya-karya pertunjukannya, Sophiyah tertarik pada isu perempuan & ruang domestik, microhistory serta studi multikultural. Juga tertarik pada bentuk artistik koreografi benda-benda, dramaturgi sehari-hari, serta site-spesific yang dihadirkan dalam eksperimen media audio visual. Ia juga mengembangkan platform seni miliknya yang bernama Tilik Sarira Creative Process yang berbasis di Surakarta dan Pakidoelan Eco Art & Culture Lab di Sukabumi Selatan.