Rabu, Januari 22, 2025
BERITA

Koreografer dari Kolektif Arungkala terlibat dalam Residensi Sinematografi Teater “The Last Sira”

Angin berhembus kencang seperti meniupkan tendi (jiwa) ke pepohonan di dataran tinggi Sibolangit. Dedaunan meliuk dan menekuk di tangkainya masing-masing. Batang pohon merunduk dan menegak. Jauh di bawah jurang, sungai mengalir dan meriak di antara bebatuan. Alam seolah olah sedang menjahit suatu koreografi.

Desa Martelu adalah titik pertama 18 seniman dari berbagai disiplin seni berhenti di Tanah Karo. Di antara tanah yang bergelombang, kami menghampiri salah satu pucuknya. Dalam bahasa Karo, masyarakatnya mengenal kata Penatapan yang diambil dari kata menatap atau memandang. Maksudnya adalah sebuah tempat untuk memandang. Karena tempatnya yang tinggi, Sibolangit memiliki beberapa tempat seperti gardu pandang yang bisa dikunjungi untuk menikmati alam Karo.

Begitulah sepotong cerita dari Lestari, koreografer asal Jogja yang kini sedang mengikuti residensi di tanah Karo. Kawan-kawan senimannya yang lain juga dateng dari berbagai wilayah. Mereka adalah S. Metron Masdison dari Padang, Syamsul Fajri dari Lombok, Rafika Ul Hidayati dari Pekanbaru, Rasyidin Wig Maroe dari Bireun, Rahmat Setiawan dari Langkat, Sri Sultan Suharto Saragih dari Siantar, Christopher dari Deli Serdang, Rudi Pranoto dan Andi Hutagalung dari Medan, serta Priska Prisilia, Simpei Sinulingga, dan Christopher Louise dari Karo. 

Mereka mengawali residensi dengan melakukan ekspedisi bersama ke berbagai desa di Karo. Hasil akhirnya adalah pertunjukan sinematografi teater yang membawakan tradisi dan sejarah Karo. Residensi dan pertunjukan ini diinisiasi oleh Teater Rumah Mata di Medan dengan Agus Susilo sebagai pimpinan komunitas sekaligus sutradara pertunjukan.

Benang merah dari rajutan pertunjukan teater itu adalah cerita mengenai Perlanja Sira. Perlanja Sira ialah pembawa dan pedagang garam dari Karo. Hidupnya dihabiskan untuk mengarungi gunung menuju pesisir demi garam.

BACA JUGA:  Open Call: Residensi Penelitian Seni Pertunjukan Kontemporer 2022
image 157478385 | Koreografer dari Kolektif Arungkala terlibat dalam Residensi Sinematografi Teater “The Last Sira”
Lokasi: Rumah Adat Karo di Desa Dokan
Foto: Emri Sepriadi Manurung

Sosok Perlanja Sira menjadi penting untuk diangkat lagi menjadi kisah yang inovatif karena perannya yang begitu besar. Ia menjadi penyedia garam di wilayah gunung, di mana garam itu pada masa 1600-1900 menjadi barang yang langka, tetapi penting. Dalam ekspedisinya mencari garam pun, Perlanja Sira juga berperan terhadap pembukaan lahan-lahan baru yang lambat laun berkembang menjadi sebuah kota.

Pertunjukan teater akan mengambil tempat di kaki gunung Sibayak, tepatnya wilayah Desa Semangat Gunung. Desa Semangat Gunung sebagai salah satu desa yang berada tepat di kaki Gunung Sibayak pun memiliki segudang folklore. Ada cerita mengenai seorang tabib bernama Guru Penawar Reme, kedua putrinya (Kumerlang dan Kusuasa), serta Beru Kertah Ernala. Tiga tokoh ini menjadi sosok-sosok yang dahulu diberi penghormatan oleh warga di sekitar kaki gunung. Ketiga sosok ini juga akan menjadi tokoh-tokoh dalam teater.

Ekspedisi para seniman juga menggali folklore-folklore tersebut. Tidak hanya untuk memberi karakter terhadap para aktornya, tetapi hal yang paling penting adalah menyerap pengetahuan lokal dari folklore-folklore tersebut.

Selain folklore, residensi ini juga menggali seni pertunjukan tradisional seperti tari Landek, Silat Ndikkar, dan tari Gundala-Gundala. Lestari, koreografer yang kini bergiat juga di Kolektif Arungkala secara khusus ikut mendalami Landek dan Ndikkar bersama warga desa dan seniman lokal dari Karo.

Pertunjukan ini pun nantinya tidak hanya menawarkan cerita saja tapi juga sajian koreografi bersama dengan warga desa di kaki Gunung Sibayak. The Last Sira akan digelar secara langsung di Pemandian Puncak Daun Paris dan secara daring melalui Youtube live streaming pada 10 Agustus pukul 16.00.