Menaiki Odong-odong dan Sebuah Upaya Mencatat Pertunjukan Jedag Jedug Method dari Karangdunyo
[Polanco S. Akri].
I: Jedag Jedug sebagai Metode Mengingat
Setelah makan malam dengan nasi-sayur dan telur dadar, lantas menyeduh kopi sasetan murah dalam sebuah gelas pemberian, kau pun menuju ruang kerja, menuju perpustakaan kecil yang kau cipta dengan terlampau perlahan dengan mengumpulkan arsip-arsip dan buku-buku bacaan. Kemarin lusa, kau menyaksikan sebuah pertunjukan berjudul Jedag Jedug Method dari Karangdunyo yang ditampilkan di panggung Performa ARTJOG 2024, JNM. Ini malam, kau hendak membuat catatan kecil-kecilan atas pertunjukan yang kau saksikan kemarin lusa itu. Dan kau hendak memakai cara yang sama dalam menulis sejenis catatan atas pertunjukan itu: hendak memakai Jedag-jedug Method sebagai cara penulisan. Cara paling sederhana yang kau pakai adalah dengan mendengarkan musik jedag-jedug pula, dengan mendengarkan Musik Jeje dari Youtube. Hal yang terdengar sederhana itu, bagimu, adalah suatu yang baru dan lain; sebab kau biasa menulis sambil mendengarkan musik dangdut-koplo, pop-punk indie, folk, dan juga J-Pop. Akan tetapi, kau ingat, dalam salah satu adegan pertunjukan, Darryl, sang narator yang merangkap banyak posisi itu, berkata bahwa Jeje punya kedekatan dengan koplo; dan sebab kau besar sebagai putra dari sebuah keluarga yang membesarkan OM (Orkes Melayu), sebelum gulung tikar sebab serangkaian hal, sepasang telingamu pun cukup bisa menemukan suatu cara menikmati musik Jeje tadi. Dan kepada algoritma Youtube, kau pun menyerahkan playlist musik itu: playlist yang berkisar dalam spektrum Jeje dengan awalan “DJ Papa Pilih Mantanku”. Kau pun mengingat serangkaian adegan kemarin lusa itu dan lekas menuliskannya—
Malam itu, sebab mengapresiasi kawan-kawan dari Karangdunyo, kau datang lebih awal. Saat itu, setelah makan malam, agar lambung tak memberi limbung, kau memutuskan duduk di tempat yang sudah disediakan. Ada barisan kursi lipat yang tertata rapi dan balok tangga yang menjelma kursi penonton; dan kau memilih yang kedua. Kau duduk di tengah-tengah pada baris paling atas. Kau memahami, posisi dan jarak menonton akanlah memberi suatu variasi dan konsekuensi dalam menonton nanti. Dan kau telah memutuskannya: dengan segala konsekuensi yang menyertai. Saat itu, kau menilik jam di gawai dan belum genap jam delapan; meski pengeras suara telah mengimbau penonton untuk berkumpul. Sepasang matamu terpukau pada kursi-kursi dan tempat duduk yang lekas terisi, lekas terpenuhi. Di tepi panggung, tiga orang DJ telah memainkan “musik-musik Tiktok”, memainkan Jeje. Beberapa lagu dan musik kau tahu judulnya; dan beberapa yang lain tidak; tetapi jelas, sebab begitu massal, sepasang telingamu tak asing: bahkan musik itu telah menjadi semacam penanda waktu tersendiri bagimu, penanda bagi kurun waktu 2019/2020—2024. Ah, suatu periode politik… Musik gagak hingga kepelikan kisah Aisah. Malam itu, kau ingat, penonton di depanmu lekas mengeluarkan telepon genggam dan merekam apa yang ada di depan: entah untuk dokumentasi atau instastory. Sekian pasang mata yang memandang dan menimbang dari kamera telepon genggam. Dan kau mesti jujur, bahwa itu malam, pada menjelang pembukaan, kau begitu menikmati.
Setelah keterhanyutan dan ketertenggelaman, kesadaranmu pun bekerja, dan kau menyadari bahwa ini suatu strategi tersendiri: guna menarik massa pada pertunjukan. Malam itu, kau menoleh ke kanan-kiri, menimbang kembali di mana kau tengah berdiam-berposisi. Kau menyadari, meski hadir lumrah sebagai panggung, tapi jelas harus dikata panggung Performa ARTJOG 2024 adalah panggung terbuka. Dan sebagai suatu konsekuensi tertentu atas panggung yang semacam itu, pertunjukan yang hadir mestilah bersiasat untuk menarik penonton untuk menilik dan menonton—meski publikasi telah tersiar di sana-sini. Kepalamu lekas memberi sejenis korpus: Seperti pasar malam, wahana yang penuh spektakellah yang akan mencuri pengunjung yang datang dan tiba! Dan itu malam, kau kembali tenggelam pada apa yang kau pandang, pada apa yang ada di depan, sambil menyadari, menghadirkan DJ di muka, sebelum pertunjukan, baik sebagai cek sound atau bukan, adalah suatu strategi yang terlampau menarik. Sekalian penonton, termasuk juga dirimu, malam itu, hanyut dan tenggelam dalam serentetan alunan: dengan bass dan beat yang menggema, menggema—
Pertunjukan pun dibuka! Ada dua aktor yang masuk, Fransiska dan Kipong, dengan memakai topeng kertas, topeng wajah. Mereka masuk sambil membawa lempeng seng dan sebuah cat semprot. Salah satu lekas membuka cat semprot; sedang yang lain memegang lempeng seng itu dan menjelmakannya sebagai sejenis kanvas. Cat semprot pun dipencet, dan keluar cat merah; dan dengan cat itu, aktor pun menuliskan kata “SEJARAH”—dengan seluruhnya kapital! Keduanya pun memegang lempeng seng itu bersama; dan membiarkan penonton menikmati. Kemudian, mereka meletakkan lempeng seng itu di bawah; dan mulai meloncat-loncat di atas lempeng seng itu dan membuat serangkaian gaduh. Malam itu, ataupun malam ini, ketika menuliskan catatan kecil-kecilan, kepalamu terlampau tergoda untuk memberi tafsiran pada lempeng seng, cat semprot berwarna merah, tulisan sejarah yang seluruh hurufnya kapital, dan adegan menginjak-injak yang memberi riuh itu. Kepalamu yang terlampau dibetahkan oleh nasib dengan simbol dan metafora begitu riang menafsirkan semua itu. Malam itu, setelah adegan yang memukau sepasang mata dan sebutir kepalamu, masuklah Darryl: masuk dengan membawa map coklat seperti pencari kerja, membawa tas, dan memakai kemeja dengan warna yang terlampau cocok dengan paslon yang memenangi suara. Darryl berdiri di atas lempeng seng itu dan memandang para penonton, setelah terpukau pada layar di belakangnya . . .
Ia membuka secara lebih resmi, menyapa penonton dan mulai memberi pengantar. Ia duduk, meletakkan tas, mengeluarkan laptop dan membukanya, juga mengeluarkan serangkaian kertas dari map coklat. Musik lirih seperti lumrahnya teater mengisi—setelah sunyi, yang sebelumnya riuh dengan Jeje. Layar di belakang menampilkan titik berangkat Karangdunyo untuk mencipta pertunjukan yang dilabeli mereka dengan Documentery: pertunjukan bertajuk Jedag Jedug Method. Sebuah video wawancara dengan seorang penjaga warmindo depan gedung fakultas bahasa dan sastra dari sebuah kampus yang dulunya adalah IKIP, tetapi memaksa diri menjadi Universitas, menjadi pembuka: dan lekas pula memecah tawa di antara penonton yang masih saja bertambah jumlahnya. Setelah rampung video itu, Darryl lekas melanjutkan narasi tentang kegelisahannya, kegelisahan kawan-kawannya yang tampil, serta kegelisahan Karangdunyo itu sendiri. Dalam kesempatan itu, Darryl berkata tentang serentetan temuan yang memicu pertanyaan sejak April-Mei sampai pertunjukan itu hadir pada Agustus 2024. “Kami berangkat dari temuan bahwa lagu ‘DJ Papa Pilih Mantanku’ dari DJ Amos,” ucap Darryl itu malam, “telah membawa pada serangkaian temuan: bagaimana musik itu menjadi Sound Arsip Negara—” Kemudian, Darryl pun menyampaikan sejarah Tiktok di Indonesia; dan memulai Genesis-nya dari Bowo Alpenliebe serta bagaimana masyarakat Indonesia menilik Tiktok sebagai suatu fenomena yang bergerak dan dinamis. Kepalamu pun, malam itu, turut mengingat bagaimana tahun 2018-2019, 2020 yang pandemi, lantas tahun 2021-2024 yang telah mencipta ekosistem yang ganjil tapi karib bagi Tiktok dan Jeje. Layar dan Darryl di atas panggung, di sepasang matamu, seperti menampilkan data yang kasar dan brutal, dari dapur pertunjukan, di mana ada naskah pertunjukan, chat antaraktor, dan foto-foto praproduksi; tetapi hal itu, entah kenapa, sialnya, terlampau memukaumu. Apa manusia di era kini memang terlampau suka pada segala keintiman dan keprivatan yang ditampilkan di layar? Kau menghentikan ketikanmu, menyeruput kopi, dan menggeser kembali Youtube-mu agar memutar “DJ Papah Pilih Mantanku” dari DJ Amos—dan mengingat serentetan adegan . . .
Kemudian, Darryl pun berdiri di atas kursi dan memandang layar. Musik “DJ Papa Pilih Mantanku” pun diputar. Layar mulai menampilkan foto dan video arsip negara. Kelima aktor masuk sambil membawa benda-benda; lantas semacam menari. Di sepasang matamu, kau mendapati chaos tetapi juga cosmos. Matamu, malam itu, melihat serangkain ruang! Ada layar, ada panggung di mana Darryl dan kelima aktor serta tiga DJ, serta ada ruang para penonton yang menyebar. Di sepasang matamu, benda-benda yang dibawa para aktor itu menjelma aktor pula: tokoh yang berbicara dengan sejenis bahasa benda-benda. Ada kursi, ada papan tulis yang sepersekian waktu tulisannya berganti-terganti: emas, kangen, dan “beberapa lain” yang kau lupa. Lempeng seng yang bertulis sejarah dengan cat semprot merah itu menjadi alas menari—dari aktor-aktor itu: entah sendiri atau berdua-bertiga. Ada adegan baris-berbaris, bermain tembak-tembakan, kawan yang jadi lawan, dan foto-foto riang bersalaman. Adegan baris-berbaris itu cukup mengingatkanmu pada obrolan berulangmu dengan beberapa kawan ketika terlontar tanya tentang tari khas Indonesia: Apakah baris-berbaris dan seragam militer adalah tari dan pakaian adat kita, Bung? Saat itu, kau harus jujur, bahwa kau merasa ngeri, merinding, dan terhinggapi suatu horor. Akan tetapi, saat itu, kau juga menikmati Jeje: kepalamu bergerak mengangguk-angguk, tubuhmu bergoyang lembut dalam suatu irama riang. Kau bingung, bahkan hingga ini malam; tetapi kepalamu cukup berani memberi pernyataan, bahwa kau memahami sesuatu!
Selepas itu, kembali terdengar musik lirih seperti umumnya teater di dalam gedung mengiringi, Darryl kembali duduk dan menunjukkan arsip pribadi dan intim kembali—yang dibantu ketiga DJ di sisi lainnya. Saat itu, sebab kenal, kau tergoda untuk mengirim pesan kepada akun WA itu; tetapi kau urungkan keisengan itu. Kelima aktor yang telah keluar tadi (Fransiska, Kipong, Anjar, Salsa, dan Rara) masuk kembali sambil membawa kursi sendiri-sendiri; dan menatanya begitu rapi setelah serangkaian adegan yang berlimpah benda-benda tadi disingkirkan. Chat pribadi kembali ditampilkan, dan terputar VN dari masing-masing aktor. Kepalamu malam itu lekas membuat pernyataan: Monolog yang ganjil—tetapi seperti salah satu naskah drama pendek dari Beckett, “Rekaman Terakhir Krapp”! Kelima aktor itu hadir dengan serangkaian variasi; ada yang aktif dengan Jeje, ada yang tidak, ada yang menikmati tetapi dari lain platform, seperti Reel Instagram dan Youtube Short. Perlahan, panggung kembali chaos tetapi juga kembali hadir dalam suatu ganjil cosmos. Kursi yang tadi hanya properti lekas beralih fungsi, lekas menjadi tokoh tersendiri. Lempeng seng yang ada sejak mula kembali menjadi sasaran respon. Darryl menyampaikan bahwa Jeje telah dipakai penguasa untuk propaganda: sesuatu yang aslinya punya rakyat kecil tetapi diambil alih oleh penguasa untuk upaya melanggengkan diri. Kelima aktor berbaris rapi, layar menampilkan lagu pada masa Romusa Jepang: Bekerja… bekerja… bekerja… Dua penonton di sebelah kirimu, kau ingat, lekas berkata hampir serempak: Seperti jargon seorang penguasa, ya, kan?
Kau kembali menyeruput kopi, menghentikan sejenak sepasang tangan mengetik catatan kecil-kecilan, dan mulai ragu dengan kepalamu sendiri. Kau menoleh ke gawaimu yang kau pakai memutar Jeje dari Youtube. Di sana terputar: “DJ Old Pambasile x Safonamix x Full Bass Viral Tiktok”. Kau mulai bertanya-tanya apakah ingatanmu sudah tepat dan urut secara kronologis—dalam menulis catatan kecil-kecilan atas sebuah pertunjukan. Ada empat babak, tetapi kau lupa judulnya; dan hanya ingat bahwa layar besar itu menampilkan tulisan judul babak itu dengan warna terang; dan lupa, itu magenta, pink, atau ungu. Pada titik ini, kau tergoda untuk bertanya-tanya lagi: Apakah Metode Jedag Jedug ini memang menawarkan sejenis fragmentaris ingatan dan kesamaran atas apa yang historis dan biografis? Kau menyeruput kopimu lagi yang hampir habis. Kau kembali mengingat sambil tetap menyimak Jeje di Youtube gawaimu. Dan kau menyerah, kau memutuskan untuk meloncat pada adegan akhir, adegan setelah Darryl meloncat-loncat di atas lempeng seng merah itu lagi . . . Kepalamu mengingat adegan di mana Salsa, yang memakai pakaian merah jambu itu, berdiri di atas lempeng seng dan menghadap layar besar. Ia mulai melukis—meski kau ragu kalau kata melukis itu tepat—dengan sebuah aplikasi yang mengingatkanmu kala masih mengajar multimedia di SMK tepian kotamadya. Ia membuat gambar pemandangan dengan iringan lagu kanak yang terlampau karib bagimu, tapi malam itu sialnya tak berhasil kau ingat judulnya. Dan setelah rampung itu lukisan, sebelum lampu genap dipadam dan pertunjukan selesai dinyatakan, kau ingat sekali, kau bergumam: Ah, Mooi Indie . . .
II: Menaiki Odong-odong dan Candu Jeje
Setelah rehat ke belakang untuk kencing dan membuat segelas kopi lagi, kau duduk kembali dan melanjutkan membuat catatan kecil-kecilan atas pertunjukan Jedag Jedug Method dari Karangdunyo. Youtubemu masih memutar Jeje—dan untuk judul-judul musik telah kau pasrahkan kepada Algoritma Nasib. Kau merasa, pada malam itu maupun malam ini, menyaksikan pertunjukan dari Karangdunyo itu seperti menaiki sebuah odong-odong, seperti menaiki sejenis komedi putar yang ganjil. Kau tak genap bisa menimbang bahwa kau sudah maju ke depan atau hanya bergerak di tempat. Musik Jeje itu, kemarin malam ataupun ini malam, berhasil membuatmu bergoyang lirih tapi juga dihinggapi sejenis ngeri. Kepalamu sebenarnya tergoda untuk bertanya: Apakah yang kusaksikan adalah sebuah pertunjukan—atau lainnya? Akan tetapi, kau jelas yakin, pengalamanmu pada malam kemarin lusa itu adalah pengalaman yang masih bisa didudukkan pada pengalaman estetis yang bergerak dari liris ke dramatis, dari yang biografis ke yang historis. Sambil tetap menulis, kau menyadari, kau bukan termasuk dari pemakai Tiktok, baik untuk hiburan atau menghasilkan uang dan sejenis kedudukan; dan menyadari, terbentang jarak pula dalam penikmatan dan penimbangan. Betapa, kau termasuk dalam salah satu variasi: digiring Algoritma Nasib untuk melihat konten-konten yang demikian dari media dan platform lain, seperti Reel Instagram dan Short Youtube. Ah, sepasang matamu lebih dibesarkan dramaturgi tivi tahun 2000-an, dan tubuhmu yang lahir dari sepasang penyanyi dangdut lebih sering dibesarkan panggung yang berlimpah spektakel dan pengeras suara suling dan kendang—
Sepasang matamu, sepasang telingamu, serta seperangkat tubuhmu menemukan suatu yang unik dalam pertunjukan Karangdunyo itu; menemukan hal yang juga problematik. Dengan pengetahuanmu yang terbatas, kau mendapati, Tiktok adalah media digital yang menghadirkan konten dengan format vertikal bermekanisme scrolling, berformat pendek tak genap satu menit, dan berelasional individual-virtual. Seorang yang mau membagikan konten yang ditontonnya kepada kawan lain mestilah membagikan dengan tombol share atau menyebut kawannya di kolom komentar—atau mesti pasrah dan berharap bahwa algoritma mereka akan sama. Di sisi lain, kau mendapati, panggung pertunjukan, setidaknya yang ditawarkan panggung fisik Performa ARTJOG 2024 dan penampilan Karangdunyo, adalah panggung yang menghadirkan konten dengan format horizontal bermekanisme ajek dan tetap, berformat panjang (yang kala itu adalah 30 menit), dan berelasional massal-komunal, serta fisik yang kental. Soalan yang demikian, bagimu, terlampau unik; tetapi juga menyimpan soalan yang pelik dan problematik. Akan tetapi, kau jugalah jujur bisa mengatakan: kau terlampau menikmati. Dan sambil menuliskan lanjutan lagi, kau menyadari, bahwa itu malam, meski ada godaan untuk meninggalkan tempat duduk, tapi ada sesuatu yang menahan. Sesuatu itu lekas bisa kau jawab, yaitu musik Jeje itu sendiri. Jeje sebagai metode, yang disuguhkan Karangdunyo, membuatmu tertawa geli, ini malam, ketika menuliskannya. Hal tersebut sebab ada dua kemungkinan yang menawarkan keberhasilan ganjil di tiap-tiap kemungkinan. Kau menyadari bahwa jika itu malam kau meninggalkan tempat dudukmu, maka metode itu berhasil dalam satu hipotesis; dan jika itu malam kau tetap duduk dan menyaksikan hingga akhir, maka metode itu berhasil dalam satu hipotesis yang lain. Damn! Kau melihat pojok kiri laptopmu dan mendapati 2000-an kata; dan kau makin tertawa geli: sebab menuliskan catatan kecil-kecilan yang sebegitu panjangnya—dan menyalahi istilah “kecil-kecilan” yang hendak kau tawarkan di muka. Dan sebagai anak dari seorang penyanyi, pemusik, dan penampil, kau mesti berkata: musik adalah mistik, suara mengandung daya, dan bunyi memiliki serangkaian magi. Kau menyeruput kopimu lagi, dan menikmati habisnya musik “DJ Ya Odna x Broken Angel Breakbeat Viral Tiktok Terbaru 2023 yang Kalian Cari!”, dan genap menyelesaikan catatan kecil-kecilanmu—yang tak lagi kecil sebab memakai metode Jedag Jedug. []