Lengger Sebagai Arsip: Sebuah Usaha “Escape from Identity”
[Raihan Robby]. Kehendak atas tubuh selalu saja dipenuhi oleh kerundungan. Secara sederhana dijelaskan Schopenhauer (1966), bahwa hidup manusia selalu berada dalam lingkaran rasa sakit: ‘tubuh’ memiliki keinginan, dan untuk mencapai keinginan itu manusia menderita. Ketika apa yang diinginkan telah tercapai, manusia lantas mengalami kebosanan yang menderita pula, untuk mengatasi kebosanan itu, ia lantas kembali mencari “keinginan yang menyakitkan”, terus menerus lingkaran itu berlangsung hingga hidup manusia berakhir.
Tegangan kehendak di dalam tubuh ini dapat dilihat melalui dua cara. Satu, sebagai representasi yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa dan gestur. Dua, pengalaman praktis tubuh serta keinginannya. Dengan tumpuan pandangan inilah saya akan melihat lebih jauh ‘tubuh’ dan ‘keinginan’ Otniel Dance Community dalam karyanya “Exit 😂” yang telah dipentaskan pada Sabtu malam (5/11) dalam acara Rubik, bagian dari Festvial Gugus Bagong di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja tahun 2022.
Sebelum pertunjukan dimulai, para penonton yang hadir telah memenuhi gedung Diponegoro, mereka dengan hangat bercengkerama satu sama lain menanti pertunjukan Otniel. Penonton dibuat bertanya-tanya sebab mereka menggenggam arsip foto Lengger dari pertunjukan Otniel selama ia menempuh proses kreatifnya sebagai seniman tari Lengger yang memang telah menjadi bahasa ibu, bahkan hingga titik tertentu dihayati sebagai agama baginya.
(“Exit 😂” oleh Otniel Dance Community. Dok. Sito Adhi Anom/Media PSBK)
Otniel naik ke atas panggung dengan gaun terakotanya yang anggun. Ia menyapa penonton dan bercerita bahwa arsip foto yang tengah digenggam penonton itu adalah arsip karyanya selama dua belas tahun yang dikumpulkan oleh fotografernya. Ia belum mengetahui bagaimana jalannya pertunjukan, oleh karena itu ia meminta sepuluh orang penonton untuk naik ke atas panggung, menyusun arsip foto-foto itu di hadapannya.
Setelah selesai tersusun, Otniel lantas melihat arsip foto Lenggernya itu, foto yang ia katakan baru pertama kali ia lihat kembali, lantas tubuhnya mencoba memanggil ulang ingatan dalam objek foto itu, yang adalah dirinya sendiri. Dengan liuk gemetar tubuh, patahan-patahan gerakan ia menarasikan dirinya, menarasikan trauma masa lalu.
Narasi trauma masa kecil itu ia pertanyakan kembali dengan nada “menertawakan”. Melalui cara ini Otniel membungkus apa yang ironi menjadi komedi, ia menertawakan identitas dirinya seperti: apa pentingnya sebuah nama, penolakan keluarga (hingga ia mendapat cambukan!), stigma tradisi Lengger yang ia tubuhkan dengan penuh tekanan dan kecaman dari masyarakat, sampai hal yang paling pilu dan membuat darah mendidih, ia menjadi korban pelecehan seksual ketika duduk di bangku sekolah.
Seluruh narasi getir itu berangkat dari foto-foto yang disusun penonton. Kurang lebih sekitar lima puluh arsip foto dirinya memenuhi panggung, jalinan antara fotografer-kurator foto-penyusun foto (penonton) membentuk tiga lapis jarak yang dalam keinginan Otniel membuat dirinya “merasa jauh” dengan tradisi Lengger, sehingga ia dapat keluar dari dirinya, dan memposisikan ulang tubuhnya.
Bukan tanpa sebab mengapa Otniel ingin berjarak dengan Lengger, berjarak dengan dirinya. Ia menyimpan trauma dan ingin melarikan diri dari identitas dirinya yang penuh luka itu, namun, apakah medium arsip foto dapat menciptakan lapisan awal keberjarakan?
(“Exit 😂” oleh Otniel Dance Community. Dok. Sito Adhi Anom/Media PSBK)
Sontag (1973) menyadari bahwa dengan fotografi kita dapat memandang dunia yang lebih luas, kebaruan kode visual, foto dapat mengubah sekaligus meluaskan gagasan kita tentang cara pandang dan pengamatan. Di dalamnya ada gramatika, dan yang jauh lebih penting adalah etika melihat. Apa yang dilihat Otniel melalui arsip foto itu secara tidak langsung memberikan “perasaan” yang dapat menampung seluruh dunia di dalam kepala, sebagai antologi gambar.
Namun, ada yang misterius di dalam arsip foto, ia membeku—sebab tak bergerak dan bersifat “mengabadikan momen”—di sisi lain, ia menghangatkan kenangan, lebih jauh mengingat kembali tubuh Lengger yang lekat dengan Otniel. Di dalam arsip foto itu, Otniel bukan hanya menjadi objek foto, melainkan juga subjek yang keluar dari gambar, ia mempunyai relasi kuat terhadap pengetahuan akan Lengger, lebih dalam lagi, kuasa dirinya atas Lengger. Di titik inilah Otniel jatuh kepada alienasi, kepada ruang antara yang bagi saya terasa kebimbangannya.
Ruang antara itu adalah pemanggilan kembali Lengger dalam memori gerak tubuh dan ledakan kenangan yang menghantui dirinya. Saya lebih merasa Otniel terbantu dengan kenangan dari arsip fotonya. Ini membuat kilatan-kilatan masa lalu kembali memutar di dalam pikirannya, ia mengalami nostalgia. Hal ini pula yang disadari oleh Sontag (1973) bahwa meskipun fotografer sebisa mungkin mencerminkan realitas, foto-foto itu masihlah menghantuinya dengan imperatif rasa dan hati nurani (imperatives of taste and conscience). Maka, di sini Otniel tak memandang arsip foto itu sebagai “objek” melainkan “subjek” dirinya.
Ketika ia memandang foto-foto dirinya sebagai subjek diri, maka keinginannya untuk menciptakan jarak menjadi runtuh seketika, arsip foto itu bukanlah untuk menjauhkan—membuat asing dirinya—melainkan justru mendekatkan. Menostalgiakan apa yang pernah ia lakukan. Singkatnya tegangan antara alienasi dengan elegi jelas terasa dalam mata Otniel, dalam gerak tubuhnya yang meruntuh-susunkan Lengger, dalam narasi-narasi trauma masa lalunya.
Apa yang dilakukan Otniel selanjutnya di panggung adalah menghidupkan kembali foto-foto itu melalui portrait-potrait tubuh Lenggernya. Tidak utuh, seperti puzzle yang menempel-ditempel, dengan komposisi instrumen bunyi dari Mahamboro selaku pemusik yang menggunakan koin receh dan menciptakan bunyi berulang dan bergema. Saxophone yang sember membentuk noise yang berkelindan dengan tarian Lenggernya Otniel, terkadang tarian merespon musik, pun sebaliknya. Namun, di sisi lain Otniel sedang membangun teka-teki, ia sedang mempertanyakan banyak hal, sehingga dampak dari pertunjukannya itu menjadi pertanyaan pula di benak penonton.
Simbol-simbol yang dihadirkan melalui proyeksi video dengan tubuh maskulinnya, sedangkan ia tetap menari dengan tubuh femininnya, transisi antara feminin-maskulin ini pun berkelindan. Saya beranggapan bahwa proyeksi video gif yang berulang-ulang dan menonjolkan tubuh maskulinnya itu tak lain soal bagaimana ia ingin mengatakan bahwa dalam tradisi Lengger kemaskulinitasan telah menjadi bayang-bayang yang terus mengelilinginya.
(“Exit 😂” oleh Otniel Dance Community. Dok. Sito Adhi Anom/Media PSBK)
Lantas pertanyaan hadir, mengapa ia ingin ‘keluar’ dari tradisi Lengger yang telah digeluti selama belasan tahun dan telah menjadi identitasnya (sebagai bahasa ibu dan agama) itu? Lebih jauh lagi, mengapa baru sekarang ia ingin ‘keluar’? Saya mencoba memahami bahwa apa yang dilakukan Otniel sebagai usaha untuk escape from identity, mungkinkah ini dilakukan, dan apakah Otniel berhasil melarikan diri dari identitasnya pada pertunjukan “Exit 😂” ini?
Cara yang paling mungkin dilakukan untuk escape from identity adalah menciptakan heteronim, yaitu dengan menggunakan identitas baru, nama-nama dan pola artistik yang berbeda dengan diri induk. Contoh kecil dari heteronim di Indonesia adalah Nirwan Dewanto dan Martin Suryajaya dalam usahanya menulis puisi yang menghadirkan tokoh-tokoh fiktif dengan masing-masing identitasnya tersendiri yang memiliki cara pandang hingga perasaan dalam merespon sesuatu.
Namun, diakui oleh Martin sendiri, dan ulasan Martin atas karya Nirwan, bahwa bentuk heteronim ini pun kurang memuaskan. Separasi identitas yang ingin dituju, tampaknya hanya sedikit terjadi, masih ditemukan pola dan suara yang berbaur dengan identitas diri penulis utamanya dalam segi stilistik puisi. Contoh terbesar dari suksesnya heteronim adalah penyair Fernando Pessoa yang mempunyai identitas tokoh-tokoh fiktif dalam menulis puisi hingga puluhan. Ini terjadi sebab Pessoa menulis dengan bahasa yang berbeda, ia tak hanya menulis dengan bahasa Portugis (bahasa ibu) melainkan juga menulis dengan bahasa Inggris, Spanyol dan Prancis. Identitas tokoh-tokoh yang ia ciptakan pun beragam, dibentuk dan dibenturkan dalam kelindan sosial-politis yang membuat separasi suara dan menghilangkan identitas Fernando Pessoa itu sendiri.
Kita kembali lagi ke pertunjukan Otniel, dengan keinginan dan kehendak untuk melarikan diri itu, Otniel tak membuat usaha separasi antara tubuh berjaraknya dengan tubuh Lengger, medium yang ia pakai pun masihlah medium arsip foto dirinya.
Jika ditarik kembali ke awal, pertanyaan tentang apa pentingnya nama “Otniel Tasman” pun ia jawab pula dengan identitas dirinya sebagai Otniel Tasman. Ia tak menghadirkan sosok atau identitas baru yang membuat “suara dan tubuhnya” menjadi beragam, menjadi berjarak.
Jika boleh memberikan tawaran, Otniel mungkin bisa melakukan eksplorasi keberjarakan diri melalui mata penonton yang memandangnya saat sedang menari Lengger, seperti ‘prolog berlalu’-nya Afrizal Malna dalam buku Teater Kedua, ia mengatakan (dalam konteks aktor):
“Ketika mata seorang aktor terbuka ke arah penonton, mata itu sudah menyampaikan sebuah dunia sebelum ia memulai peranan yang akan dimainkannya. Ia tak bisa meniadakan dunia itu dari matanya. Penonton bisa melihat dunia itu dari mata aktor. Tapi aktor itu sendiri tidak bisa melihatnya, mungkin juga tidak mengerti dunia seperti apa yang disimpan oleh matanya. Dunia yang terbentuk oleh berbagai pengalaman, kesedihan, kesepian dan kerinduan kepada sesuatu yang tidak ada namanya. Dunia yang membuat seorang aktor pada batas ambang kepada siapakah dia harus bertanya: peran apa yang lebih mewakili kemampuannya sebagai aktor, kepada dirinya sendiri? Bertanya kepada sutradaranya, atau kepada ibu yang telah melahirkannya?”
Usaha-usaha ini dapat ditempuh, sebab disadari atau tidak, medium Otniel dalam pertunjukan ini seluruhnya bertumpuan pada mata. Dari mata itulah kemudian dapat terjalin ledakan kenangan hingga memori tubuh. Maka jelaslah usaha Otniel untuk “keluar” dalam “Exit 😂” menemui jalan buntu. Atau mungkin ia tetap menemukan jalan keluar yang bernama dirinya sendiri.
Sudah baca yang ini?:
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024