KUALITAS ATAU SOLIDARITAS? Catatan atas Pertunjukan “Lungiding Turidasmara” – HMP Pandawa UNS
[Naufal Bahauddin Wafi]. Nafsu dan marah Amangkurat bermula dari diketahuinya Roro Hoyi telah memiliki rasa cinta kepada Adipati Anom, atau putranya sendiri sebagai penerusnya. Bertahun-tahun Roro Hoyi yang telah digulawenthah untuk dijadikan selir malah ditikung oleh anaknya sendiri. Adipati Anom berada pada titik persimpangan batin, antara memilih Hoyi atau mengambil Tahtanya. Konon, pada masa kekuasaannya kerap terjadi tragedi berdarah. Salah satunya tragedi yang disebabkan terpesonanya Amangkurat oleh Roro Hoyi. Siapa sangka dari pesona kecantikan wanita keturunan Tionghoa, berakhir menjadi hukuman mati di kalangan kerabat Mataram. Kekecewaan Amangkurat pada Wirareja yang tidak bisa menjaga Roro Hoyi mengawali rentetan hukuman mati. Bagian cerita inilah yang dipertunjukkan HMP Pandawa (Himpunan Mahasiswa Prodi Sastra Daerah Universitas Sebelas Maret Surakarta) pada pagelaran untuk menyemarakkan Malam Purnama Sastra dengan judul Lungiding Turidasmara.
Pentas yang disutradarai Dimas Feby digelar oleh HMP Sastra Daerah, Universitas Sebelas Maret Surakarta (8 Juni 2024) berusaha meneruskan ruang Kethoprak di kalangan Kampus. Melalui kebersamaan mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2022 dan 2023. Ketika penonton memasuki area pementasan, keberadaan tim produksi ada di setiap tempat. Pengkondisian beberapa sektor pementasan nampak tidak kekurangan penanggung jawabnya. Panggung yang dibiarkan kosong memberikan rasa ingin tahu penonton akan ada kejutan apa yang dimasukkan. Tegak nan megah berdirinya Gunungan Argo Budaya UNS dan pintu kayu penuh ukiran di bawahnya menyamarkan kekosongan. Kosongnya panggung ini menjadi gambaran tanah lapang, terjadinya perang antara prajurit Mataram dengan prajurit Panjang Mas. Suguhan tata artistik panggung yang minimalis memudahkan keluar masuknya tokoh dan peletakan properti di setiap ruang. Tata letak panggung yang sengaja dibuat statis, dengan dominasi latar bangunan Argo Budaya, dan lantai keramik memudahkan aksebilitas transisi setiap babak. Pentas Malam Purnama Sastra yang memainkan tata letak panggung selazimnya pertunjukan Kethoprak yang didaku sebagai pertunjukan kethoprak pada umumnya.
Pemain musik yang berada di samping arena panggung utama menunjukkan posisi pemusik ikut sebagai unsur yang disajikan. Arena panggung utama dengan pemusik hanya bersampingan tanpa ada batasan apapun. Posisi yang lebih tinggi dari panggung memudahkan pemusik dapat mengamati alur adegan. Penonton pun dapat menyaksikan wajah-wajah pemusik yang mayoritas adalah Mahasiswa, khususnya Mahasiswa Sastra Daerah UNS.
Latar musik hasil komposer Revangga Tri Rizaldhi sebagai latar adegan tergarap dengan serius. Menonjolkan iringan garapan yang menghindari penggunaan srepeg Mataram pada umumnya Kethoprak.
Kesan penonjolan anggota pementasan tak perlu diragukan bahwa Kethoprak mahasiswa ini sedang berusaha menunjukkan diri di tengah situasi yang seolah terbatas ruang ekspresi di kalangan akademisi. Mengusahakan andilnya semua anggota Sastra Daerah angkatan 2022-2023 menyibak batasan subjek dalam pementasan. Kekurangan ruang berekspresi itu dilatarbelakangi tidak adanya wadah bagi mereka yang baru mengenal Kethoprak.
Dalam urusan lakon, pengemasan peristiwa ditampilkan secara urut dan ditegaskan dengan peristiwa yang kerap penonton saksikan dalam wahana yang lain. Dimas Feby selaku Sutradara sekaligus Penulis Naskah menunjukkan pandangan tersendiri terkait peristiwanya. Bahwa biang dari terjadinya rentetan hukuman di Mataram adalah ulah dari Putra Amangkurat sendiri (Rahardian). Pemunculan tokoh Adipati Anom dengan sendirinya memunculkan konflik asmara antara ayah dan anak. Pengemasan peristiwa ini ditampilkan dengan adegan tingkah Adipati Anom yang berusaha selalu mendekati Hoyi (Jovita) melalui mereka yang ada di sekitar Amangkurat.
Adipati Anom yang ditafsir sebagai biang masalah atas matinya Hoyi karena adanya hukuman untuk membunuh Hoyi sebagai pilihan memilih tahta atau Hoyi ditepis dengan kejamnya dhawuh Amangkurat yang semena-mena. Amangkurat menjadi pusat kekejaman dalam pentas Lungiding Turidasmara agar rasa cinta yang tumbuh antara Adipati Anom dan Hoyi nampak tragis. Sehingga sifat tidak sopan merebut selir ayahnya tertabrak keserakahan nafsu dan kekejaman Amangkurat. Hal itu diawali dari adegan rasa sedih Adipati Anom mengetahui wanita berparas cantik yang dibawa Wirareja. Ia mengira itu putrinya, namun Wirareja menjelaskan bahwa wanita itu adalah selir yang dipersiapkan untuk ayahnya. Adegan itu menjadi awal mula perkara bertemunya Adipati Anom dan Hoyi. Karena adanya saran dari Purbaya (Imam Sutarjo) bahwa yang dapat mengobati sedihnya Adipati Anom hanya Hoyi.
Pertemuan Purbaya yang memohon kepada Wirareja untuk membawa Hoyi ke kapangeran agar mengobati rasa sedih Adipati Anom menjadi titik persimpangan. Wirareja menyadari bahwa hal yang diminta Purbaya bertentangan dengan Dhawuh Amangkurat dahulu. Wirareja sempat menolak dengan mengingatkan bahwa perintah dari Amangkurat “jangan sampai ada seseorang yang mencintai Hoyi selain aku (Amangkurat)”. Namun Wireraja akhirnya terbuai janji Purbaya “Jika di suatu hari ada sesuatu, akan aku tanggung akibatnya”.
Pemilihan warna kostum yang sama anatara Adipati Anom dan Hoyi menabung maksud untuk menonjolkan keserasian pada babak Gandrungan. Adipati Anom menyatakan rasa cintanya kepada Hoyi dengan rasa sadar keduanya bahwa apa yang mereka lakukan sebenarnya salah. Hoyi takut jika Adipati Anom ketahuan menyimpan rasa kepada selir ayahnya sendiri.
Adegan panggung yang semula kosong properti, kembali lagi diisi dengan kursi ala Pasewakan. Amangkurat ingin mengetahui kabar Hoyi, apakah sudah ada perkembangan dan siap untuk dijadikan selirnya. Wirareja menjadi kaku dan terpatah-patah dalam berbicara. Memang Hoyi sudah mampu bertata Bahasa, unggah-ungguh, bahkan piawai dalam menari. Semangat untuk segera melangsungkan tujuannya, terbentur dengan saran Wirareja agar Amangkurat tidak tergesa-gesa. Wirareja dipaksa mengaku dan akhirnya melaporkan bahwa Hoyi sudah dijejamah orang lain. Amangkurat tidak menyangka bahwa orang yang berani bertindak seperti itu adalah putranya sendiri.
Dipanggilnya Adipati Anom menonjolkan kembali watak kejam Amangkurat. Pertanyaan untuk mengakui bahwa Adipati Anom memiliki rasa cinta kepada Hoyi berkembang menjadi penawaran. Adipati Anom didesak dengan dua pilihan, lebih memilih mengorbankan tahtanya untuk Mataram atau Hoyi. Adipati Anom dengan terpaksa dan rasa tidak ikhlas memilih tahtanya. Pemilihan keputusan Adipati Anom berujung pada Dhawuh untuk membunuh Hoyi. Sedangkan, rasa kecewa Amangkurat kepada Wirareja yang tidak bisa menjaga Hoyi berujung pada hukuman gantung.
Adegan berganti menceritakan rasa kesepian Hoyi. Ia menanti Adipati Anom datang, namun penantiannya itu berujung pada kabar yang menyambar hati. Adipati Anom menceritakan bahwa Ia mendapat perintah untuk membunuhnya. Hoyi dengan lapang dada bersedia mati jika itu memang perintah dari Raja kepada Adipati Anom. Ketika Adipati Anom meratapi nasib yang menimpanya, Hoyi mengunus keris Adipati Anom dari belakang, lalu menusukkan ke badannya sendiri. Adipati Anom berteriak kencang terperangah, dan segera meletakkan tubuh Hoyi yang tumbang di pangkuannya.
Pengemasan cerita peristiwa Tragis dan ketamakan di Mataram sesuai dengan kondisi zaman. Mengembangkan asumsi dari beberapa sumber sejarah. Tentu saja permasalahannya bukan keorisinilan sejarah. Namun, pengemasan cerita Tragis dalam panggung pertunjukkan. Sebuah kebebasan penulis naskah (Dimas Feby) untuk menonjolkan atau menepis bagian sejarah yang ada. Lebih pada kemudahan kemasan cerita yang untuk diterima kalangan umum.
Pertunjukan kethoprak HMP Pandawa ingin menampilkan kesan ringan tak begitu menyertakan konsep pertunjukan masa silam. Ada masanya Kethoprak ditandai dengan Kenthongan lan Keprak. Pada Malam Purnama Sastra ini tidak ada suara Kenthongan dan Keprak. Ada pula suguhan pertunjukkan tari pada adegan belajar menari bersama Hoyi. Namun, tak seperti tari tradisional atau tarian berpakem. Pergeseran dan pengembangan ini ditujukan untuk memudahkan pemain dengan berbagai tantangan dalam menemukan fundamental pertunjukan khususnya Kethoprak yang pada dasarnya semua pemain berasal dari satu Program Studi.
Penyederhanaan juga terjadi dalam penampilan adegan dagelan dengan menggunakan wacana lelucon generasi Z (Gen Z) berbasis konten dunia maya. Penggunaan elemen sound-sound Tik-tok yang dilantunkan menggunakan mulut, berharap dapat merangkul penonton yang berasal dari berbagai kalangan. Namun pemahaman tentang persebaran apa yang mereka saksikan dengan penonton belum tentu sama. Penggunaan lelucon berdasar algoritma dirasa perlu diperhatikan lagi, semonumental apa algoritma itu. Menik (Tyas Fatmadewi), menuk (Salsa Jane), Srinthil (Fergita Novelia), Trinil (Ika Qoilis), selaku wanita penari yang menemani Hoyi, juga memunculkan dialog celelekan. Genjik (Reidha Prasetya) dan Bejo (Wakid Andri) yang memang ditampilkan saat adegan dagelan dengan harapan memecah suasana hening penonton yang berusaha mencerna alur cerita. Dengan keberaniannya, Mahasiswa Sastra Daerah ini meretas pagar keadiluhungan yang membatasi tata krama berbicara. Kearifan lokal berupa pisuhan dan istilah-istilah jorok kerap keluar dalam adegan dagelan. Sekat yang kentara dalam berdialog anatara adegan pasewakan dan dagelan oleh rakyat menjadi simbol penggunaan strata Bahasa. Terdengar bocah kecil bertanya “Begenggek itu apa?” dari barisan penonton. Wujud dari penggunaan istilah-istilah yang umum digunakan di masyarakat terkadang memang menimbulkan tanya.
Dilibatkannya Dosen dan elemen Program Studi dalam pentas ini, menjadi kebanggaan kreator. Selama mereka mengikuti Malam Purnama Sastra, belum pernah nampak fenomena hadirnya dosen-dosen yang menyaksikan. Suatu hal baik bagi mereka, dapat mengajak dosen ikut tampil, dan memancing dosen lainnya hadir menyaksikan mereka berkarya.
Sayangnya motif di balik pertunjukan masih samar. Juga terdapat keterbatasan kualitas kekuatan vokal yang meski sudah coba diatasi namun masih luput akibat malfungsi peralatan teknis di tengah pementasan. Padahal penonton di masa kini, kadang masih sedikit terbata mencerna makna dialog berbahasa Jawa baku a la kethoprak, ini masih harus juga terbata mendengar dialog-dialog karena persoalan clip on yang “ngadat”. Di tengah adegan yang sedang “menegangkan” muncul tokoh pepatih ke dalam panggung, tapi bukan untuk turut berdialog di dalam cerita, tetapi sekedar mengangsurkan microphone handheld kepada Amangkurat. Adegan tegang ini justru memicu tawa kecil penonton. Di luar itu, ada pula hal yang dirasa mengganggu, yaitu bahan guyonan di sesi dagelan yang sangat kental berbau guyonan seksis, ini tentu kurang pas dilakukan dalam pertunjukan ketoprak di lingkungan akademik.
Ada satu titik yang haru dirasakan. Ketika kita mengetahui Kethoprak Mahasiswa, HMP Pandawa berani memberikan kesempatan kepada mereka yang tersingkir dari skena kethoprak, dan mengajak khalayak ikut memikirkan membentuk ruang kreatif untuk penyaluran ekspresi. Sekaligus melestarikan nasib Kethoprak di tengah pesatnya perkembangan zaman. Perlu juga diperhatikan kembali oleh pelaku kethoprak mahasiswa dalam membentuk pementasan yang ideal dan layak walaupun elemen dari pementasan berasal dari kalangannya yang tersingkir. Semoga mereka yang belum tahu, belajar, dan penasaran dengan kethoprak dapat tertarik bahkan mencintai kesenian rakyat ini. Semoga pentas Kethoprak tak hanya dipentaskan secara remeh saja karena embel-embel pentas kesenian Rakyat!