Rhizoma: Men-softcore-kan Apa yang Tabu
[Fadzul Haka]. Catatan atas pertunjukan tari-musik-puisi Rhizoma, digelar 8 September di Art Space Asbestos, Bandung.
Apakah yang membuat fasilitator pertunjukan tari-puisi-musik bertajuk Rhizoma memanfaatkan tali rafia sebagai mediumnya? Sampai dengan hari pertunjukan, pertanyaan ini masih saja mengganjal di pikiran. Dengan nyeleneh saya menebak-nebaknya, “Mungkin belakangan ini Rhaka kebanyakan nonton video porno bergenre BDSM (bondage, dicipline, sadomaschism).”
Untung saja tidak dominatriks yang mengajarinya teknik ikat-mengikat rafia ke tubuh dan tidak ketinggalan caci-maki yang sensual. Menurut penuturan Rhaka, inspirasinya diperoleh dari suatu treatment, di mana para partisipan dilempari gulungan tisu sambil diteriaki kata-kata kasar. Kalau partisipan baik secara tubuh dan kejiwaan, niscaya efek kata-kata itu sama halnya dengan tisu yang tak mungkin membuat lebam. Jika sebaliknya, maka prosesnya akan terasa seperti dilempari batu. Setelah dipikir-pikir, bukankah ini serupa sadomasokhisme, akan tetapi tidak dalam bentuk aslinya yang ekstrem dan vulgar?
Sadomasokhisme sendiri merupakan gabungan dari kata ‘sadis’ dan ‘masokhis’ yang mana keduanya berkaitan erat dengan nama tokoh dan karyanya. Sadis diambil dari nama keluarga seorang bangsawan Perancis abad ke-18, Marquis De Sade. Asosiasi Sade dengan istilah ‘sadis’ bukanlah tanpa alasan, selain penyimpangan dan kekerasan seksual yang dilakukannya, hasrat untuk menyakiti sembari memperoleh kepuasan seksual sangat kental dalam karya-karyanya (Welldon, 2003, hal. 17-8), seperti The 120 Days of Sodom (1785), Justine (1791), Philosophy in the Bedroom (1795), dan Julliete (1798). Mengingat Sade lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam penjara Bastille, di menara Libertin tepatnya, dia tampak seperti perwujudan sadisme yang kian lantang dan bebas di dalam kekangan, daripada di ruang pesta yang orgiastik. Dorongan sadisme yang tidak memandang jenis kelamin, usia, dan hubungan kekeluargaan.
Orang ‘gila’ lain yang namanya diabadikan sebagai perilaku ganjil ialah Leopold von Sacher-Masoch, penulis berdarah campuran kelahiran 1835 di Kerajaan Austria. Tulisan-tulisannya lahir dari gabungan minatnya yang terarah pada erotisisme, kelompok minoritas, dan gerakan revolusioner. Di antaranya seperti The Divorcee (1865), Venus in Furs (1870), dan The Heritage of Cain (tidak selesai). Dalam pembacaan Gilles Deleuze (1991), The Heritage of Cain dibandingkan dengan kesalehan Yesus Kristus yang memilih mati di tiang salib demi kemanusiaan – tanpa keinginan egotistik. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa masokhisme Masochian berkarakteristik cinta non-seksual dalam penantian yang mencemaskan dan ritualistik. Tampak lebih manusiawi jika dibandingkan dengan sadisme Sadean sebelumnya (Welldon, 2003, hal. 31-2).
Kembali ke pertunjukan Rhizoma. Saat membayangkan kembali pertunjukan tari dan konsep yang dikatakan Rhaka, pertunjukan ini jadi terlihat seperti hubungan antara orang sadis dengan orang masokhis. Secara estetik, sistem sadis ini ditampilkan melalui tirai rafia merah dan tabir putih. Dengan cara ini, sistem sadis terpisah dari figur pelaku sadisme, sehingga kehadirannya jadi tak berwajah dan non-antromorfik – hantu. Namun, sadisme itu sendiri mempertahankan kualitas Sadean yang tidak memandang jenis kelamin, usia, dan hubungan darah.
Sedangkan orang masokhis di sini adalah para penari yang terlihat menghasrati kenikmatan akan vitalitas hidup dalam kondisi survival. Mari kita hayati mode tersebut pada bait pertama puisi Rhizoma berikut ini.
ini tentang sekerat daging:
payudara, bokong, pinggang
batu asahan di dapur jagal
masuk bini, keluar binal:
sundel bolong, kuntilanak, kuyang, wewe gombel
anak cucu Hawa hari ini
hampir tak ada yang tak tomat pedas setengah es lilin
Kondisi survival yang dialami sifatnya menubuh, menjadikan perempuan terfragmen ke dalam zona-zona erotik yang diasah sekaligus mengasah mata lelaki. Dengan suatu mekanisme tersembunyi, hantu-hantu merasuk dan mengembangkan citra sistem sadis di dalam diri si masokhis. Tentang gambaran ini, penulis meminjam pendapat Deleuze (1991, hal. 67), bahwa dorongan sadisme mau pun masokhisme merupakan manifestasi tersendiri yang sudah utuh pada dirinya sendiri, alih-alih dibentuk dari kombinasi impuls tertentu. Dengan kata lain, dua wajah dalam satu koin yang sama.
Pada tahap ini, terdapat gejala yang diperhatikan Rhaka, “Jika kita melihat suatu tindak kekerasan di lingkungan sekitar, pada dasarnya kitalah yang mengizinkan supaya itu terlihat.” Maksudnya, sebagian dari kita mungkin merupakan korban kekerasan dalam bentuk apa pun, dan tubuh kita menyimpan memori tentang ini tanpa mampu mengungkapkannya. Fase ini menandakan perlunya pemulihan diri. Apabila pemulihan tidak tercapai dan menjadi apatis, maka ketika menyaksikan kekerasan di lingkungan sekitar diam-diam ada perasaan menikmati, atau barangkali kita mengizinkan kekerasan itu terlihat lagi tetapi pada orang lain.
Dari situ, para penari menempati posisi subjek masokhis. Bagi penonton yang menyaksikan langsung, gerak-gerak penari tampak sebagai siluet dari balik tabir. Ini mirip permainan dalam adegan masokhistik yang melibatkan penutup mata. Secara simbolis, subjek mengalami dominasi indera yang efeknya adalah perasaan tunduk dalam kondisi yang serba tiba-tiba. Ketidakmampuan untuk memprediksi dan mengantisipasi apa yang terjadi membuat subjek menyerahkan diri sepenuhnya pada kontrol dari luar. Di dalam keadaan ini pula subjek, mensimulasikan kembali bentuk kekerasan yang dialaminya.
Biar pun demikian, saya kira Rhizoma tidak hadir untuk menawarkan suatu reinterpretasi terhadap wacana sadomasokhisme. Lebih tepatnya, kontribusi Rhizoma adalah menjinakan dorongan-dorongan tersebut sehingga orang yang mempunyai luka psikis perlahan-lahan mampu menyelamatkan dirinya. Persis seperti yang dilakukan para penari di akhir pertunjukan dengan merobek sekat yang menyegel mereka dari realisasi akan luka-luka.
Usai dirusaknya tabir, dibacakan fragmen puisi ketiga yang berjudul Abandon All Hope Ye Who Enter Here, dan fragmen keempat Initializing_Deradicalization-Module. Ketiadaan harapan dalam bait terakhir fragmen ketiga, terasa mengekerdilkan dan membuat penderitaan semakin intens seperti halnya tekanan di kedalaman bumi.
kilau dan rasa terampelas dari harapan
tinggallah mineral dan karbon
untuk ditempa neraka 10.000 derajat
untuk menanggung sesak yang melipat-lipat diri sampai sebiji zarah
sampai karbon sisa harapan melahirkan berlian
bagi cincin kawin yang tak bersemayam di jari manismu
Kemudian, ditutup dengan upaya untuk menyetel ulang mindset setelah tercerabut dari sistem sadis. Awalnya, penyetelan ulang akan terasa seperti mengalami disorientasi, “haruskah memutus rantai kasih?”. Kemudian berlanjut dengan ‘the lost of innocent’ yang dihayati bersama penerimaan realitas yang belum tentu lebih indah atau baik, “tak ada happy ending a la Disney”. Akhirnya, memandang kehidupan dengan segala keluasan lanskap baik-buruknya.
on/off
pandangi cakrawala
sepasang cermin yang saling menatap
bercakap-cakap dalam isyarat mejikuhibiniu:
luka, demam, nanah, muntah, darah beku
kini tak membalutkan putihnya perban
kain kafan berganti jubah indigo
riak-riak mengumandangkan gema
- . . no. . . ON!
Jauh sebelum tercapainya realisasi tersebut, penjinakan dorongan dan praktik masokhisme perlu dipahami sebagai seni membina hubungan konsensual. Jadi, tidak sekedar menyediakan suatu ruang aman untuk berekspresi, mau pun dengan tidak melibatkan stimulus rasa sakit secara verbal dan fisik. Perlu diingat, bahwa dalam praktiknya terdapat tujuan dan makna, bukan karena keinginan untuk menyakiti dan disakiti semata (Welldon, 2003). Secara ideal, membangun kepercayaan, hanya saja dengan menyerahkan diri sebagai suatu instrumen pemuas yang berisiko tinggi.
Membangun kepercayaan dimulai dengan mengunjungi kembali pengalaman traumatis, tentunya tidak sebagai korban yang semula tidak ingin dilukai, melainkan dalam relasi pembinaan. Bagaimana pun saya tidak menutup kemungkinan kalau hal ini terdengar aneh bagi orang Indonesia yang katanya masih menganut nilai moral ‘Timur’. Hal yang perlu diperhatikan bukan soal benar/salahnya hasrat dan teknisnya, atau bahwa seseorang akan menyerahkan diri begitu saja pada instrumen penyiksaan. Lebih tepatnya, adalah selalu ada hak dan izin yang harus disepakati bersama.
Tentang izin tersebut, di sela-sela waktu persiapan, Rhaka sempat menyampaikannya pada pembaca puisi, Lita Arofu. Kurang lebih, hanya karena seseorang telah terikat sebagai pasangan, bukan berarti dapat menyentuh seenaknya. Terdapat intensitas bertahap mulai dari pegangan tangan hingga menjamah area privat, dan kesemua ini memerlukan persetujuan. Apalagi pada orang-orang dengan trauma yang memiliki kecenderungan sadomasokhisme, yang mengingatkan bahwa terdapat luka besar yang masih menganga biar pun tidak lagi dirasakan.
Dari sini, kita dapat menarik benang merah dalam proyek penjinakan tabu ini, yaitu deseksualisasi pengalaman traumatis. Seperti halnya Masoch dalam pembacaan para psikoanalis, masokhisme menjadi jalan ‘penyerahan diri’ untuk memperoleh pengendalian diri. Mulai dari, menanggung kemunafikan secara sadar, yaitu dengan menjadi serigala berbulu domba, menyimpan kekerasan di balik kelembutan, dan membangkang di balik wajah penjilat (Reik, 1957). Bersandiwara sebagai penderita yang bersiasat dan penuh intrik. Karenanya, tidak sungguh-sungguh menjadi korban, sebab kendali yang sebenarnya ada pada dirinya (Stroller, 1976). Bahkan, sampai bereksperimen dengan macam-macam bentuk penghinaan dalam berbagai intensitas. Hasilnya, variasi penghinaan atau rasa sakit ditanggapi dengan biasa-biasa saja (Loewenstein, 1956). Sekali lagi, izin dan kesepakatan merupakan titik-tolak yang penting dalam proses penyerahan diri yang titik akhirnya adalah membina kepercayaan.
Gambaran masokhisme yang berwajah dua sebelumnya, mengantar kita kembali pada fragmen puisi kedua berjudul Akar Trauma Elementer. Di sini, trauma yang dikondisikan dalam sistem sadisme terjadi melalui kegagalan untuk mencapai hubungan Aku-Engkau. Dalam pemikiran Martin Buber, hubungan Aku-Engkau tercapai ketika memandang sesama sebagai manusia, sementara kegagalannya terjadi sebagai hubungan Aku-Itu yang memandang orang lain sebagai sesuatu/alat untuk dimanfaatkan (Paulus, 2006).
Dari tingkat eksistensial-fenomenologis ini, kita menghunjam ke dalam luka dan menemukan bahwa masokhisme perlu diterapkan untuk mengatasi sang aku yang terjerat delusi grandiosa. Meskipun diam-diam mengakui ketidakbermaknaan dirinya, indah tapi nihil (matahari temaram) atau pun indah tapi menjijikan (cawan raflesia).
A | K | U | pusaran mania semesta | ||||
Khayalan yang terbang ke matahari temaram | |||||||
A | K | U | labirin tiada ujung | ||||
Keluar-masuk kuil-kuil gerhana | |||||||
A | K | U | cawan raflesia sajian-sajian lalat-lalat |
Langkah selanjutnya, menyadari bahwa kegalalan perjumpaan antara Aku-Engkau selalu dibatasi oleh hasrat akan ‘yang lain’ yang tak mungkin dipenuhi, karenanya menjebak subjek masokhis ke dalam penegasian diri. Penegasian diri yang berakhir dengan alienasi kepada tubuh dengan memandanganya secara anatomis, alih-alih menyeluruh sebagai bagian dari identitas yang koheren.
“Kau mau menu apa?” | |||||||||
Aku bukan kupu-kupu penghisap darah berkepompong kulitmu | |||||||||
∪ | |||||||||
Anatomi homo sapiens-sapiens | |||||||||
Kepala alien |
Terakhir, masokhisme diarahkan sebagai strategi untuk melepas citra grandiosa dan lingkaran setan penegasian diri melalui ‘relasi konjunsional’, bahwa di antara Aku dan Kau perlu disadari kembali nilai kebenaran yang berkorespondensi di antara kedua belah pihak. Di sinilah kepercayaan di antara kedua belah pihak akan diuji dalam permainan menjaga tahta ego.
Aku ∧ Kau
mari bersaudara dalam kejujuran, kecuali
jika aku bertopengkan kejaiman, maka kau mengelap air muka memelas
jika aku mengangkat trofi, maka kau menodongkan belati
jika kita bermain petak umpet
niscaya pantai dan gurun pun tak cukup bagi jam pasir
Hasilnya, terdapat potensi bagi masing-masing pihak untuk mengungkapkan keotentikan diri yang melampaui batasan norma tanpa mengalami surprise by pain yang berisiko. Terutama, melalui relasi konjunsional yang dibangun dengan perhatian pada hubungan konsensual, agar individu memperoleh penguatan (empowerment) untuk mengatasi ketegangan di antara rangkaian dirinya tanpa meniadakan bagian-bagian diri yang tidak dikehendaki (baca: terluka). Singkatnya, mampu melihat diri secara utuh. Demikian juga berlaku di tingkat interpersonal, di mana hubungan Aku-Engkau dibangun karena kemampuan untuk melihat diri dan sesama sebagai manusia yang utuh.
Sadomasokhisme yang terdeseksualisasi, pada akhirnya tidak berbicara dari hasrat, hanya penyerahan diri ketika ego membisu. Penampilannya menjadi lebih halus, softcore, dan dialami secara artistik. Dalam fase ini, ketegangan psikis yang tersedia tidak mencukupi bagi sistem sadis untuk mengambil alih. Dan karena itulah, yang terlihat kemudian adalah ‘seseorang’, bukan masokhis yang teramputasi, apalagi mati dimutilasi.
Referensi
Deleuze, Gilles. (1991). Masochism. New York: Zone Book, hal. 67.
Issacs, A (editor). (1997). The Cassell Dictionary of Sex Quotations. London: Cassell, hal. 228-229.
Loewenstein, R. M. (1956). A Contibution to The Psychoanalytic Theory of Masochism, dalam Isaacs, A., The Cassell Dictionary of Sex Quotations. London: Cassell, hal. 228-229.
Paulus, Margaretha. (2006). Perjumpaan dalam Dimensi Ketuhanan Kierkegaard & Buber. Jakarta Selatan: Wedatama Widya Sastra.
Reik, T. (1957). Masochism in Modern Man, dalam Isaacs, A., The Cassell Dictionary of Sex Quotations. London: Cassell, hal. 228-229.
Stoller, R. J. (1976). Perversion, dalam Isaacs, A., The Cassell Dictionary of Sex Quotations. London: Cassell, hal. 228-229.
Welldon, Estela V. (2003). Sadomasokhis. Yogyakarta: Pohon Sukma.
- Rhizoma: Men-softcore-kan Apa yang Tabu - 5 Oktober 2020