Yogyakarta Sebagai Ruang, Kosmik dan Jiwa : Catatan untuk Parade Teater Linimasa #5
[Raihan Robby]. Parade Teater Taman Budaya Yogyakarta kembali digelar, sepanjang 23-25 Oktober 2022, para pegiat teater, penonton hingga tukang parkir TBY kembali ke “Yogyakarta” sebagai sendang teater yang menyimpan berbagai macam kelompok dengan bentuk estetika, ideologi, hingga spiritnya masing-masing.
Pada Linimasa #5 kali ini, kelompok teater yang turut andil membawa hal beragam: mulai dari anak-anak hingga orang tua sebagai pemerannya, mereka juga merespon teks yang beragam seperti realitas sosial, folklore, lokalitas-pasca kolonialisme, hingga menghadirkan konteks naskah asli ke dalam pertunjukan.
Dengan tema pada tahun ini adalah “Ruang. Kosmik. Jiwa”, maka kita perlu untuk menelisik kembali Yogyakarta sebagai sendang teater, di mana penyebaran dan kemurnian “air”-nya dapat kita rasakan, tetapi sebelum itu, marilah kita baca pengantar tema ini.
“RUANG. KOSMIK. JIWA”
Pasca pandemi geliat teater kembali menghampiri para penonton. Dua tahun lebih teater sudah terpaksa bermigrasi ke media yang rupanya belum tentu ramah diakses oleh masyarakatnya. Seperti terkungkung pada definisi yang lain dan terus mencari karakter karena upaya alih media. Sepanjang pandemi, teater cukup menjadi perbincangan yang tak pernah usai. Mulai dari pakar-pakar yang mencari paradigma baru soal bentuk tontonan, pelakunya sendiri lalu gamang mencari sisi estetika, dan penikmatnya juga kebingungan menempatkan apresiasinya dengan cara artikulasi yang baru.
Ruang-ruang menonton pernah sepi tanpa penonton. Panggung dan ruang rias tidak ada lagi manusia berkelindan yang sibuk mempersiapkan tontonan. Teater seperti sedang meditasi untuk menenangkan diri sejenak selama 2 tahun lalu. Perlahan namun mulai beradaptasi dengan dunia yang dianggap baru meskipun itu siapa tahu sudah biasa di belahan dunia yang lain. Seperti sedang dirampok oleh perangkat bernama digital, teater hanya diam namun terus berkutik mencari siasatnya.
Pandemi belum juga usai, namun kelonggaran penonton sudah mulai menunjukan hasratnya kembali memenuhi gedung pertunjukan. Rangkaian penonton mulai berbondong-bondong memadati ruang-ruang menonton yang hampir mati suri itu. Penonton seperti mendapat seruan kembali dengan lantang untuk “menyerbu kembali gedung pertunjukan”. Sebuah patriotisme apresiasi yang sudah lama dijinakkan karena akal sehat sedang memahami pertunjukan dengan cara yang tak lazim.
Parade Teater Yogyakarta – Linimasa memasuki tahun ke 5. Upaya kuratorial dilakukan dengan tetap mengedepankan spirit gagasan dari masing-masing kelompok. Membangun dan menyegarkan kembali ruang menonton itu seperti sediakala. Ada kerinduan pada jiwa-jiwa di mana panggung menjadi medan magnetid pertemuan antar generasi. Generasi-generasi yang turut menyuarakan pemikirannya melalui gagasan kontekstual. Turut membaca zaman dan kosmik sekaligus mengkritisi lalu berefleksi sebagai memaknai kembali teater dalam pengertian dan pengetahuan yang lebih luas membentang cakrawala.
Selanjutnya ketika membangun kembali ruang kini maka negeri ini atau melalui pemerintah kota di Indonesia memiliki konsepsi dalam menjaga ruang kemeriahan pertunjukan. Yogyakarta kiranya melalui Taman Budaya tetap melihat sebuah geliat pertunjukan dalam realitas yang tidak bisa ditinggalkan. Sementara di sisi yang lain, festival pertunjukan juga menjadi pertarungan kreatif dalam tawaran “baru” pertunjukan (teater). Baru dalam hal ini menyangkut juga pada keinginan untuk meruangkan teks-teks yang telah ada atau resepsi secara berkelanjutan.
Selanjutnya meskipun telah tidak menjadi baru, kelompok-kelompok yang hadir meruangkan beberapa teks yang tidak sekadar lakon, tetapi juga ada yang dari novel, syair, realitas sosial secara langsung, dan dongeng. Terlihat mereka telah memiliki tradisi riset dalam pencarian teks dasar dan juga interpretasi dalam meruangkan kembali ke panggung pertunjukan.
Koes Yuliadi
Elyandra Widharta
(Diketik ulang dengan perbaikan dasar pada penulisan)
Menyelisik Ulang Makna Ruang. Kosmik. Jiwa
Setelah membaca pengantar pada tema PTY kali ini, lantas mensyukuri atas kembalinya pertunjukan dan keramaian penonton setelah masa-masa kelam pengetatan pandemi. Namun, apakah teater berubah? Apakah ia tetap sama saja? Mengapa ketika membaca pengantar itu, saya justru berada di ambang buram antara adaptasi dan kekakuan eksplorasi, pertentangan “baru” dan “lama”, hingga di titik tertentu antara “modern” dan “tradisi”.
Beberapa kalimat saya tandai dengan cetak tebal, namun dapat kita tarik kata kunci yang menurut saya perlu kita pertimbangkan kembali, kata kunci itu adalah: pasca pandemi, penonton, alih media, ruang, langsung dan tak langsung, realitas, kekakuan eksplorasi, baru dan tak baru, patriotisme apresiasi, mati suri, dan keramaian.
Saya akan memulai dari paragraf pembuka, diakui dan memang sedang terjadi, pandemi telah mengubah kehidupan kita secara drastis dan tak terduga, perubahan ini secara tidak langsung menunjukan sifat alamiah dalam diri manusia: ia adaptif dengan keadaan. Sejarah telah menyimpan bahwa manusia sejatinya selalu berkembang untuk “mencari jalan keluar” akan permasalahan yang dihadapinya, tak terkecuali pandemi, lebih jauh, tak terkecuali teater.
Dengan nada pesimis pengantar tema di atas seakan tak menyetujui “migrasi media” yang seakan tak ramah diakses oleh masyarakat. Keramahan seperti apa yang sebenarnya diinginkan? Di tengah arus media yang berseliweran dengan massif, akses menonton teater tentu sangat mudah sekali, bahkan dapat ditonton berulang-ulang di mana saja, dan kapan saja. Hal ini perlu kita garis bawahi, apakah masyarakat (baca: penonton) tidak mudah mengakses pertunjukan online? Lebih jauh lagi apakah viewers di YouTube Taman Budaya Yogyakarta, bukanlah penonton?
Benturan ini menjadi paradoksal, secara pengantar seakan tidak sejalan dengan bentuk “migrasi media”, namun melalui YouTube TBY itu perunjukan Linimasa #5 tetap disiarkan dan terarsip dengan rapih. Lantas, bukankah akses ini menjadi menguntungkan ketika penonton datang secara langsung ke Concert Hall TBY, dan atau penonton yang sedang mempunyai urusan dapat menonton juga secara langsung melalui YouTube meskipun berjarak, pun dapat menontonnya nanti, atau bahkan menonton ulang pementasan seperti yang saya lakukan. Inilah bentuk keramahan akses dalam “migrasi media” itu.
Saya kira, kita terlalu sibuk memperdebatkan defisini tentang apa itu; teater filmis, teater yang direkam dan diarsip, pertunjukan online, pertunjukan yang direkam dan seolah-olah online, dan sebagainya. Definisi ini di satu sisi memang memberikan efeknya masing-masing kepada pelaku dan penonton teater, di satu sisi yang lain perdebatan ini hanya sekadar ego semata. Tak adaptif dan solutif mencari jalan lain, lalu lantas menyalahkan keadaan. Teater tidak akan pernah kehilangan penontonnya, dan ini bukanlah mati suri. Teater akan mati ketika ia tak menawarkan sesuatu, ketika ia “menyerah” dengan keadaan dan “kebaruan” media.
“Penonton” dalam pengantar di atas masihlah berupa penonton yang jasmaniah, yang terlihat dengan mata. Maka, tak benar bahwa ruang-ruang menonton pernah sepi tanpa penonton, ruang-ruang menonton dan penonton itu “beralih” ke dalam perangkat digital—mata kamera, yang menurut pengantar di atas sebagai perampokan, dalam jalinannya, teater tak benar-benar diam, ia mencari bentuk estetika (jika percaya estetika itu ada), dan penontonnya sendiri.
Banyak kelompok teater yang seakan tak mau tunduk dengan keadaan, katakanlah: Teater Garasi, Teater Ghanta, hingga Kalanari Theatre Movement, yang dalam pertunjukan mereka semasa pandemi, menawarkan konsep yang luas. Hingga penonton kembali mempertanyakan: apa itu ruang, apa itu keberlangsungan, apa itu menonton, lebih jauh, apakah pertunjukan online dapat menyentuh “jiwa” di dalam jaringan ini?
Mereka, dalam pandangan singkat saya, tak benar-benar dirampok oleh digital, melainkan “bekerja sama” dan menghasilkan pertunjukan yang mempunyai efek tersendiri, mereka tak gamang membungkus gagasan yang dibawa, mereka tak menjadikan “digital” sebagai musuh, melainkan kawan. Sehingga teater tak hanya “bermeditasi”, ia mencari cara lain berdamai dengan pandemi, seperti yang dilakukan Kalanari Theatre Movement dengan formula “Hal: 19”-nya yang berangkat dari dunia pandemi.
Saya menyetujui dan menyukai konsepsi tentang “kerinduan jiwa-jiwa di mana panggung menjadi medan magnetid pertemuan antar generasi”, dengan para peserta kelompok teater yang dipilih, namun, saya sangat menyayangkan tak adanya diskusi/sarasehan pasca pertunjukan, yang mana hal ini tak hanya menjadi pertemuan antar generasi, melainkan juga komunikasi. Sepanjang pengalaman saya di Jogjakarta, diskusi pasca pertunjukan telah menjadi tradisi yang penting, yang di sanalah ruang demokrasi hadir.
Maka, bagaimana ingin menciptakan “patriotisme apresiasi”, jika “ruang” pasca pertunjukan dibatasi? Penonton hanya menjadi penonton yang merekam dan berkelumit dalam pikirannya sendiri akan pertunjukan yang ia tonton. Sedangkan saya termasuk yang mempercayai bahwa teater bukanlah apa-apa yang ditunjukkan di atas panggung, melainkan di balik panggung yang megah dan ramai itu, di sanalah jalinan teater terbentuk, di sanalah jagat raya dan jiwa dapat dirasakan.
“Kebaruan” juga menjadi kata yang asing pada pengantar itu, di satu sisi seakan-akan menolak “migrasi media” dan mengatakan “perampokan digital”. Namun, di sisi lain, mendorong adanya kreativitas baru, yang menurut pengantar itu, berupa pada keinginan meruangkan teks-teks dan resepsi berkelanjutan. Lantas apakah kelompok teater yang gamang akan “kebaruan” di sini? Atau katakanlah TBY yang kebingungan dengan kata “baru” itu? Lebih jauh untuk menjadi pertanyaan (yang mungkin akan susah terjawab) perlukah penonton teater harus selalu ramai? Jika iya, teater tak ayal hanyalah sinetron, jika tidak, bisakah penonton yang tak selalui ramai itu mendapat ruangnya sendiri? Katakanlah ia dapat berbicara atau menyalami tangan pegiat teater seusai pertunjukan. Di sinilah, bagi saya bentuk patriotisme apresiasi sesungguhnya.
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024