Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta
Melawat Tari: Tubuh Bahasa, Bahasa Tubuh
[Raihan Robby]. Tubuh dalam tari, bagai sebuah ‘suku kata’. Suku kata yang memiliki ragam bentuk. Dalam anatomi tubuh kita itu, ia berupa tangan, jari-jemari, pinggul, lekukan, kaki, punggung, rambut, leher hingga mata. Ia adalah apa-apa yang bisa digerakkan. Himpunan suku kata yang bertautan membentuk sebuah ‘kata’. Kata yang berarti suatu gerak (move). Kata yang berproses menjadi ‘bahasa’.
Kini, bubuhkanlah goyangan pada pinggul, lambaian pada tangan, tegangan pada punggung, hentakan pada kaki, kibasan pada rambut, tatapan pada mata. Dari ‘kata’ itulah, kita dapat merasakan ‘perpindahan’ gerak, menjadi gerakan (moving). Kita dapat membaca perpindahan kata itu sebagai sebentuk koreografi tari. Koreografi tari yang menjalin komposisi suku kata menjadi kata, kata menjadi frasa, klausa, kalimat, hingga di titik tertentu; paragraf.
Melalui perpindahan itu, kita menyadari bahwa akar kata, bagian-bagian dari tubuh kita yang dikoreografikan itu, mempunyai memorinya sendiri. Akar kata yang mengungkapkan tubuh sebagai arsip, tubuh yang direkonstruksi dan merespons peristiwa sehari-hari, tubuh yang demam akibat panas dingin tradisi-kontemporer. Tubuh yang menjalankan ritus dan siklus. Tubuh yang dapat memanipulasi gravitasi, dan menciptakan monumen melalui kursi-kursi. Tubuh yang tercipta melalui lingkaran, dan ruang urban perkotaan. Tubuh yang di titik paling teratur dan rapih, dibentuk oleh negara.
Kita dapat merasakan tubuh itu sebagai sebentuk pergerakan (movement) yang berarti suatu jalan aktivisme, suatu cara agensi untuk mengintervensi kesadaran lebih jauh ke dalam benak penonton. Melalui tubuh itu, para penari dan/atau koreografer dalam Indonesian Dance Festival – Lawatari: Yogyakarta menyampaikan pernyataannya. Di titik pergerakan ini, tubuh telah menjadi bahasa. Selain untuk menyampaikan pernyataan, ia juga mengandung makna.
Lawatari berasal dari gabungan dua kata ‘lawat’ dan ‘tari’, gagasan IDF ini, mengajak kita untuk bersama-sama melawat ke berbagai daerah di luar Jakarta untuk menemukan titik temu dalam ramuan seni pertunjukan, dalam hal ini adalah tari. Itulah mengapa sebelum Lawatari tiba di Yogyakarta, Lawatari telah lebih dulu berkelana ke Makassar dalam kolaborasinya dengan Makassar Biennale yang menampilkan karya Gymnastik Emporium pada 15-16 September 2023.
Selanjutnya, di Padang Panjang, Lawatari berkolaborasi dengan Ruang Tumbuh Institute dan ISI Padangpanjang. Terakhir, di Yogyakarta, Lawatari bekerja sama dengan Paradance (Nia Agustina) dan MAD Laboratory (Mila Rosinta) pada 19-21 Januari 2023. Pertunjukan selama dua hari yang diselenggarakan di Studio Banjar Mili itu menampilkan karya dari lima koreografer: Sri Cicik Handayani, Valentina Ambarwati, Megatruh Banyu Mili, Putu Arista Dewi, dan Siti Alisa.
Maka, dalam tulisan ini, kita akan ‘membaca’ kembali pertunjukan-pertunjukan itu. Kita dapat memegang kata-kata Subagio Sastrowardoyo, bahwa asal mula adalah kata, jagat tersusun dari kata. Dengan pegangan ini, kita dapat menelusuri ‘kata’, hingga mencapai ‘bahasa’ pada semesta koreografi tari. Kita juga mesti percaya dengan apa yang dikatakan Toto Sudarto Bachtiar, bahwa kata tak cukup buat berkata. Dari kedua tegangan inilah, kita bersama-sama akan melawat kembali…
Tandha’ Menatap Tayub
Tubuh kita telah separuh basah, sebab pada malam itu di Studio Banjar Mili hujan tiba. Namun, dari dingin itu, kita juga merasakan kehangatan karena penonton yang memenuhi seluruh ruangan. Lawatan pertama kita pada malam hari itu adalah pertunjukan tari dari Sri Cicik Handayani, ia menampilkan Atandhang’.
Mata kita, meski dalam gelap, perlahan dapat menangkap sosok penari perempuan (penandha’) yang tengah duduk bersimpuh. Perempuan penandha’ itu tak lain adalah Cicik. Kita dapat pula melihat para penari laki-laki: penayub (Yogi Afria, Maulana Udi Utomo Aji, dan Khoirul Amin). Dan tim visual proyektor (Chlosverde, Aldy Muhammad Yusuf, Muhammad Bintang Indrajaya, dan Jansen Goldy) mengenakan kemeja berwarna gelap, lengkap dengan sarung, dan songkok Madura yang tinggi dan khas. Komposisi cahaya yang menciptakan ruang-ruang imajiner itu dikonsep oleh Gambit Setyawan, dengan tim artistik yang berisikan Kuncoro Puguh Wibowo, Togarma Aja, dan Renal Haqqin.
Proyektor menampilkan video arsip penayub Madura dengan extreme close-up, musik telah mengalun. Telinga kita menangkap alunan komposisi itu: bonang, kendang, keluncing, hingga slompret. Alunan musik yang ditata oleh Saminatta, dan Lambang Restu Kokoh Pambudi. Lantas, para penayub duduk menghadap Cicik, seolah membentuk lingkaran. Mereka juga menciptakan pintasan-pintasan melalui tumpuan gerakan kaki, memainkan posisi bawah dan rendah, dengan Cicik sebagai perempuan Tandha’ yang tetap berada di tengah, menjadi pusat dari lingkaran dan gerakan itu.
Cicik dengan keanggunannya, sesekali menatap para penayub itu. Ia mengayunkan tangannya bagai mencipta alur air, tenang dan tak gegabah. Jika posisi duduknya berpindah, tak lain juga dengan kehati-hatian, dengan tatapan mata yang membaca alur gerak para penayub. Sementara, layar proyektor OHP (Overhead Proyektor) dengan transparansi pancarannya, memantulkan impresi-impresi warna. Kita dapat merasakan suasana yang semakin menaik, semakin cepat. Salah seorang penayub dengan gerakan bahu dan kaki yang lincah dan berulang mulai menari. Penandha’ merespons dengan gerakan yang sama, mereka saling tatap, saling hadap. Para penayub yang lain pun bangkit dari posisi duduknya, melakukan gerakan yang sama. Mereka tengah mengibing.
Cicik sebagai perempuan Tandha’ membaca ulang kembali gestur dan korporealitas tubuh laki-laki para penayub. Korporealitas di sini, memosisikan tubuh dan keberadaan perempuan Tandha’ dan penayub berada dalam posisi yang setara: duduk sama rendahnya, berdiri sama tingginya, dan menari sesuai porsinya. Korporealitas yang amat fisik itu, yang amat mungkin dilakukan dengan kontak fisik, dengan sentuhan, tak terjadi pada karya Cicik ini. Interaksi penandha’ dan penayub hadir melalui tatapan mata. Mata yang penuh perasaan. Mata yang saling memikat dan mengikat!
Bukan hal baru bagi Cicik dalam membicarakan Tayub Madura pada karya-karyanya. Cicik seperti tengah menjelaskan kepada kita kosmos Tayub Madura. Kosmos yang berarti— meminjam istilah Carl Sagan—segala yang ada atau pernah ada atau akan ada. Cicik tengah membangun semesta Tayub Madura melalui cara pandangnya, melalui tubuhnya, dan tubuh para penayub. Cicik mengolah keterhubungan kosmik antara yang tradisi-kontemporer dalam Tayub Madura.
Jalinan kosmik itu bermula pada pertunjukannya tentang fenomena sawer dalam tayub, yaitu Tande’. Lalu, interaksi antara tuan rumah yang mempunyai hajat, penayub, dan penonton dengan penandha’ dalam Nandhang. Dan pada Atandhang, Cicik ingin melihat ulang kontruksi tari Tayub Madura yang tidak berfokus pada satu penari, melainkan jalinan antara penandha’ dan penayub.
Maka, sebagai penonton yang menyaksikan Atandhang, kita sesungguhnya tengah melihat kompleksitas jagat raya Tayub Madura yang dibawakan oleh Cicik, kita tengah berada di pinggir kosmik. Untuk memahami semesta itu, tidak ada salahnya jika kita kembali menengok karya-karya Cicik sebelum Atandhang.
Selain sebagai seorang penari yang mumpuni, Cicik juga lihai menerjemahkan bahasa tari ke dalam literatur. Proses risetnya tentang Tande’, dapat kita baca dalam Jurnal Greget Vol. 22 No. 1 Juli 2023, dengan judul “KARYA TARI TANDE’ SEBAGAI REPRESENTASI FENOMENA SAWER PADA KESENIAN TAYUB MADURA DI SUMENEP” (dapat diakses melalui KARYA TARI TANDE’ SEBAGAI REPRESENTASI FENOMENA SAWER PADA KESENIAN TAYUB MADURA DI SUMENEP | Greget (isi-ska.ac.id))
Melalui proses risetnnya itu, kita mengetahui bahwa stigmatif masih terjadi pada perempuan Tandha’ yang dianggap mempunyai strata sosial yang lebih rendah. Selain cara pandang masyarakat itu, perempuan Tandha’ juga rentan terhadap kekerasan dan/atau pelecehan seksual, sebab proses sawer tidak lagi terjadi antara seorang penayub dan seorang Tandha’, melainkan antara kelompok penayub yang bisa mencapai lebih dari dua puluh orang dengan hanya seorang perempuan Tandha’ yang menari di tengah-tengahnya.
Interaksi sawer dalam Tande’, seperti yang disampaikan Cicik sewaktu diskusi pascapertunjukan di IDF. Bagi orang Madura, sawer disimbolkan ke dalam dua konteks, sebagai penghargaan kepada pelaku seni, dan sebagai cara untuk memamerkan status sosial beserta relasi kuasa yang berkelindan.
Fenomena sawer memang telah terjadi bahkan sejak tahun 80-an akhir, seperti yang dicatat oleh Felicia Hughes-Freeland dalam jurnalnya yang berjudul Tayuban: Culture on The Edge (Indonesia Circle. School of Otiental & African Studies. No. 52, June 1990. 36-44). Felicia menceritakan bagaimana Tayuban di Yogyakarta, khususnya di Gunungkidul terselenggara pada 11 September 1989 dalam acara bersih desa, atau merti desa.
Harga yang harus dikeluarkan untuk memanggil kelompok Tayub pada saat itu adalah lima puluh ribu rupiah untuk melihat pertunjukan tari dari dua wanitaLedhek (nama lain dari Tandha’) bersama delapan pemusik untuk menjalankan ritual desa yang bersifat religius. Tayuban menjadi tarian kesuburan dan menjadi bagian dalam ritus warga desa yang berhubungan erat dengan alam (tanah, air, tumbuhan) seperti yang diungkapkan oleh Ben Suharto.
Prosesi Tayuban sebagai tarian kesuburan itu erat kaitannya dengan penelitian Felicia di dusun Melikan. Namun, ia menuturkan lebih jauh, bahwa Ledhek pun bisa lebih dari itu, di beberapa desa, ledhek juga melakukan ritual penyembuhan, dengan memberikan bedak kepada orang yang sakit, atau hewan yang sakit. Khusus di Gunungkidul sendiri, prosesi tayuban dan ledhek di desa-desa untuk ‘membersihkan’ sumber air dan memastikan keberlanjutan dari pasokan air itu. Mengingat Gunungkidul adalah wilayah yang kekurangan air, dan ‘tayuban kesuburan’ seperti itu tidak ditemukan di wilayah Jawa Tengah, menurut catatan Felicia pada saat itu.
Yang menarik juga dari catatan Felicia adalah bagi seorang laki-laki yang mahir menari dengan ledhek menjadi suatu kehormatan yang juga akan disandangkan kepada sang istri. Pada saat itu—tari pergaulan yang distigmasikan menjadi vulgar itu—tidak menunjukan dan melakukan ‘kevulgaran’-nya kepada wanita ledhek. Melainkan, menurut catatan Felicia, setelah selesai menari dengan ledhek, para pria akan ‘bersemangat’ dengan istrinya, bahwa some men spoke of how the wives would get their turn for fun when their impassioned husbands eventually got home.
Maka, muncul pertanyaan, mengapa tayuban seringkali dikaitkan pada hal-hal negatif, seperti kemabukan dan seks? Mengapa tayuban seolah berada di pinggir dan terpinggirkan, padahal ia pada mulanya pun lahir dalam lingkungan keraton?
Kita dapat melihat interaksi itu, antara keraton Surakarta dan Yogyakarta, dengan daerah di Jawa Timur, khususnya keraton Sumenep. Lebih jauh, interaksi itu, dalam catatan Felicia, memang telah menjadi pola bahwa beberapa perempuan ledhek yang berasal dari Jawa Tengah, belajar tayuban ke daerah Jawa Timur.
Tayuban seperti kata Praptowiratno, adalah tari pergaulan (sosial dance). Etimologi kata ‘tayuban’, menurut catatan Felicia, berasal dari kata mataya dalam bahasa Kawi, yang berarti menari, dan guyub dalam bahasa Jawa yang berarti “komunalitas, keharmonisan”.
Sama seperti Cicik yang mencari asal muasal Tayub Madura, Felicia menjelaskan bahwa seringkali orang-orang suka mengutip babad untuk ‘membuktikan’ bahwa tayuban sudah ada pada abad kelima belas dan keenam belas, tayuban diadakan untuk menghibur pasukan setelah memenangkan peperangan.
Namun, yang menarik dari catatan Felicia (1990) adalah bahwa terjadi dua garis besar perdebatan, di wilayah Surakarta, tayuban menjadi upaya masyarakat untuk meniru kebiasaan para pangeran dan bangsawan, sehingga ledhek adalah versi murah dari tari keraton seperti gambyong, srimpi, dan seterusnya. Di titik ini, tayuban telah menjadi budaya tandingan, antara budaya rakyat kecil (wong cilik)dengan budaya keraton (mentaraman). Sebaliknya di Yogyakarta, ada anggapan bahwa tari keraton untuk wanita muncul dari tradisi tari yang sudah ada, dan dorongannya adalah untuk membersihkan tarian dari elemen erotis dan genit yang ditemukan di luar istana. Hal ini, tak lain karena ada anggapan bahwa tayuban adalah tarian tradisi sejak masa lampau (Hughes-Freeland, 1990).
Kedua argumen yang seolah berseberangan itu, menurut Felicia, memiliki satu kesamaan: Bahwa ‘tradisi minum-minuman keras’ yang mencemari ‘tari tradisi’ tayuban itu terjadi karena pengaruh Belanda untuk menumbangkan moral dan semangat masyarakat Jawa.
Dalam catatan Felicia, menari untuk tayuban telah dikhususkan untuk ‘mencari uang’, sebagai komoditas. Namun, entah apakah mencari uang yang dimaksud adalah berupa saweran, atau bayaran hasil dari menayub dengan cara profesional. Dan ini, yang menurut catatan Felicia agak berbeda dengan tarian keraton yang biasa dilakukan untuk kehormatan. Yang pasti, Felicia melihat perubahan ini, bahwa dahulu awal tahun 1920-an di rumah-rumah pangeran, tayuban menjadi “pameran tari”, dan hal ini dimanfaatkan oleh para pejabat istana untuk mengambil kesenangan dan keuntungan dengan kenikmatan ledhek, alih-alih untuk pamer kepiawaian menari.
Dari sejarah itu, kita dapat mencoba membaca lebih utuh cara Cicik dalam mengurai kembali makna tayub. Dari sejarah itu pula kita dapat melihat pergeseran tayub, yang semula bersifat sebagai tari kesuburan, tari pergaulan, dan kini menjadi tari hiburan. Maka, fenomena sawer dalam tayub seperti yang Cicik dalami, dan ia karyakan, bukanlah suatu hal yang bersifat negatif. Bahwa di satu sisi ia menunjukan ‘relasi kuasa’ para laki-laki, dan kerentanan dari perempuan Tandha’dari kekerasan/pelecehan seksual yang dilakukan oknum-oknum, di sisi lain ia juga menjadi tambahan dalam profesionalitas tayub sebagai tari. Kekompleksan semesta tayub inilah yang coba Cicik sampaikan kepada kita. Barangkali, Cicik juga mengkritisi ini, bagaimana membuat pertunjukan tari yang aman dan nyaman untuk perempuan Tandha’.
Lebih jauh, ‘interaksi’ barangkali menjadi kata kunci penting dalam melihat Tayub Madura dalam karya Cicik. Jika pada Atandhang, dan Tande’, interaksi itu berupa tubuh penandha’ dengan tatapan matanya yang membaca kembali korporealitas tubuhnya dan tubuh penayub, juga fenomena sawer antara penandha’ dan penayub. Interaksi yang lain hadir pada Nadhang, yang dipentaskan Cicik di Para Dance #31, interaksi itu berupa pembacaan kembali tubuh perempuan tandha’ dalam suatu hajatan.
Kita telah mendengar alunan musik pengiring Tayub yang amat khas itu, alunan yang berangkat dari bonang, kendang, keluncing, hingga slompret diaransemen oleh Lambang Kukuh Restu Pambudi (selanjutnya dipanggil Cak Mbang). Ia juga seolah menjadi pembawa acara pada pertunjukan Cicik dengan melakukan kecungan (seperti menembang dengan cengkok dan bahasa Madura yang khas!). Ia menyapa penonton, menyampaikan rasa syukur atas pertemuan pada malam itu dengan para penonton.
Selain menyapa, Cak Mbang juga bertanya dalam bahasa Madura: gending apa yang ingin dibawakan pada pertunjukan? Salah seorang penonton menyahut: Angling! Musik pun lantas mengalun.
Cicik mengajarkan kepada kita betapa pentingnya pertumbuhan suatu karya. Pertunjukan Nandhang, ini berangkat dari pertunjukan Tande’. Maka, ketika mata kita menangkap Eti Purnama Sari, perempuan tandha’ yang juga menari bersama Cicik itu membawa Cemong, sejenis cawan berwarna emas. Sesungguhnya Cicik tengah membuka masa lalu Tayub.
Masa lalu Tayub Madura yang tanpa kontak fisik antara penayub dan penandha’, antara yang mempunyai hajat dengan perempuan tandha’. Interaksi sawer dalam tayub, pada zaman dulu itu melalui media Cemong. Sehingga dapat kita bayangkan rasa hormat dan kehati-hatian penayub kepada penandha’.
Menuju akhir pertunjukan, Cicik pun menggending angling, seperti yang telah diminta oleh salah satu penonton itu. Interaksi antara penandha’ dan penonton (laki-laki) ini pun membuktikan betapa penandha’ juga harus piawai merespons keadaan, melalui tarian dan kecungannya, melalui tubuh dan suaranya.
Jalinan kosmik Tayub Madura yang dibawakan Cicik, menjadi semacam refleksi bagaimana sejarah Tayub, dan pertumbuhannya kini. Jika kita kembali pada pertunjukan Atandhang, dan jika kita cermati karya-karya Cicik yang tumbuh dan saling berkaitan itu, kita menyadari bahwa tak ada kontak fisik antara penayub dan penandha’! Bahkan dalam tempo musik yang cepat, dalam situasi yang amat intens dan dekat!
Interaksi itu, tak lain melalui tatapan mata, melalui perasaan, melalui saling balas kecungan; tembang-tembang, melalui tubuh penandha’ membaca tubuh penayub yang menghantarkan kita pada kompleksitas Tayub Madura Cicik.
Sehingga di titik ini, Cicik mengajak kita terus menerus untuk memaknai ulang kembali tari tradisi; Tayub. Meruntuhkan segala stigmasi dan sentimen pada kesenian Tayub yang dianggap vulgar. Sekaligus mengkritisi dan berusaha menciptakan suatu bentuk pertunjukan yang aman dan nyaman bagi semua. Dan dalam semesta Tayub Madura karya Cicik itu, kita merasakan sentuhan.
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024