Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara
[Raihan Robby]. Mula-mula, penting untuk saya sampaikan, sebagaimana pengantar Ibed Surgana Yuga dalam tulisannya tentang pertunjukan Postpartum : Pelajaran Pertama Membenahi Perut oleh Kala Teater | gelaran.id. Saya merasa perlu juga untuk memberikan pengantar, sebab pandangan saya dalam tulisan ini bisa saja menjadi bias. Karena ‘keberjarakan pengalaman’ yang saya alami. Pertama, saya adalah lelaki cis-hetero yang terlahir setahun setelah Orde Baru runtuh, yang masih merasakan peran negara dalam mendomestikasi ibu rumah tangga, hidup dalam lingkungan patriarkis kampung-kota yang masih menggaungkan “anak laki kudu bisa ngaji dan maen pukul”, juga tak mempunyai pengalaman ketubuhan sebagaimana yang dirasakan perempuan.
Pandangan saya sepenuhnya sebagai seorang penonton awam yang keseluruhan buhul-buhul tubuh dibangkit-gerakkan melalui impresi dan afeksi akan pertunjukan. Seringkali, impresi dan afeksi itu membuka semacam jalinan peristiwa yang lain, seperti teringat akan puisi-puisi Cyntha Hariadi dalam Ibu Mendulang Anak Berlari, dan pengalaman autobiografi Adrienne Rich pada Of Women Born.
Baik petunjukan Postpartum oleh Kala Teater Makassar, hingga dua buku yang menceritakan secara personal bagaimana pengalaman menjadi seorang ibu, saya menyambung ketiga jalinan teks itu sebagai sebuah jembatan untuk memasuki isu postpartum.
Kala Teater Makassar menjadi tamu penting dalam helatan Lebaran Teater – Festival Teater Jakarta yang genap berusia lima puluh tahun. Pertunjukan Postpartum di Teater Luwes pada 24 November 2023 lalu itu, dibuka dengan sambutan seorang aktor (Rifka Rifai Hasan) yang menceritakan sebuah buku panduan bagaimana caranya menjadi seorang ibu. Sepintas, para penonton seolah dihadirkan dalam ruang posyandu, atau puskesmas. Dan semula, kita menganggap aktor itu, barangkali serupa tangan panjang negara (katakanlah, PKK) yang berusaha hadir dalam rumah tangga.
Namun, semakin lama kita mendengarkan monolog dari aktor itu, semakin kita merasakan keparauan dalam kata-katanya
Kita bisa memahami, bahwa aktor itu berperan sebagai ibu. Kata-kata motivasi di awal—yang seolah untuk kita itu—sejatinya ia ucapkan untuk dirinya sendiri, kita langsung disuguhkan bagaimana peran ibu dikonstruksikan oleh sosial, dan agama. Peran menjadi seorang ibu, setidaknya, telah dibubuhkan oleh kata-kata: ibu adalah anugerah, adalah berkat, adalah hadiah besar bagi seorang perempuan. Menjadi ibu berarti menjadi sempurna, berarti memiliki surga di telapak kaki sendiri. Oleh karena itu, seorang ibu haruslah kuat, luar biasa tangguh, dan hebat dalam menjalani hari-hari.
Saat telinga kita menangkap kata-kata yang seolah menjadi bualan semata itu, mata kita juga menangkap dua aktor lain (Dwi Lestari Johan & Aprilia Maharani) memasuki panggung, mereka memasang gurita dan stagen dengan keras dan tegas. Adegan repetitif pemasangan alat penyangga (atau penekan!) tubuh itu, sama memilukannya dengan kata-kata motivasi bagi para ibu.
Kompleksitas yang dialami seorang ibu dalam peristiwa sehari-hari pasca ia melahirkan bayinya menunjukan keparadoksan, di satu sisi konstruksi sosial berbalut nilai agama menjadikan ibu sebagai tokoh utama yang harus kuat, bahagia dan religius sebab dianggap mengandung surga. Sosok ibu harus sempurna tanpa celah. Padahal, seperti yang didialogkan terus-menerus oleh para aktor di pertunjukan ini, menjadi ibu, juga berarti boleh merasakan kesedihan, menangis, hingga merasakan sakit.
Benar, bahwa proses melahirkan, dalam arti menghadirkan setiap entitas hidup yang bernyawa di bumi ini, hanya mungkin dilakukan melalui rahim ibu. Penghadiran ini, setidaknya, selalu dibarengi dengan sebuah mitos ‘surga berada di telapak kaki ibu’. Seolah ibu dapat ‘membawa’ manusia ke dunia dan mengembalikannya ke surga. Mitos ini memang bernada positif dalam balutan agama, yang bermaksud untuk menghormati ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, hingga merawat. Tapi, mitos ini pun seolah menciptakan sosok ibu sebagai figur yang kuat dan sempurna. Sehingga tiap kali ibu merasakan kelelahan, kesedihan, dan perasaan-perasaan selain kebahagiaan, selalu berakhir menjadi penyangkalan.
Kita dapat merasakan konstruksi sosial dan agama yang menuntut ibu agar selalu ‘sempurna’ itu, setidaknya didedahkan ulang oleh para aktor melalui pernyataan tegasnya bahwa:
“Aku punya pilihan. Perempuan punya pilihan, ibu juga punya pilihan. Aku bisa memilih bahwa menjadi ibu bukan berarti menjadi dewi dan menyediakan sebuah surga.”
Dalam pertunjukan ini, mitos suci itu tak ditelan mentah-mentah, melainkan dimaknai ulang kembali, melalui sudut pandang ibu yang lelah untuk bersikap selalu sempurna. Pemaknaan surga juga dikritisi habis-habisan dalam puisi Cyntha Hariadi yang juga berjudul ‘Surga’[1]:
Anakku perempuan
dengarlah Ibu
tidak ada surga di telapak kakiku
juga di telapak kakimu
surga tidak hidup di telapak kaki siapa pun
apalagi manusia
kularang kau
mencium kaki siapa pun
jangan pernah menyembahku
apalagi bersujud mencium kakiku
tapi ulurkan tanganmu
genggamlah tanganku
walaupun mataku buram
dan kakiku karam
di genggamanmu
aku tahu yang kau simpan dan tak pernah ungkap
selama menjadi anak
Pada pertunjukan Postpartum oleh Kala Teater, dan puisi dari Cyntha Hariadi, setidaknya kita mendapatkan gambaran yang adil (dan kikuk) antara hubungan ibu dan anak, yang lebih manusiawi. Seperti kata-kata Adrienne Rich yang diterjemahkan dengan indah oleh Cyntha pada halaman awal bukunya:
Barangkali tak ada yang lebih alami dalam kodrat manusia, daripada arus energi di antara dua tubuh biologis serupa: yang satu meringkuk damai di dalam tubuh lain, yang kemudian akan mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong keluar yang satunya. Darinya tumbuh akar kisah-kisah tentang ketergantungan antarmanusia yang paling dalam dan keterasingan yang paling kelam.[2]
Melalui buku ‘autobiografi’-nya itu, Adrienne Rich menceritakan pengalamannya menjadi seorang ibu, ia meluruhkan institusi keibuan dengan melihat ulang kembali posisi dan peran ibu, perempuan, dan anak dalam masyarakat kita. Institusi, yang dalam arti, melihat peran ibu sebagai suatu pemenjaraan, sebuah mekanisme cara patriarki yang dirancang untuk membatasi para ibu. Sehingga muncul asumsi untuk percaya bahwa mereka tidak berharga jika tidak menjadi ibu, jika tidak berkorban bagi anak-anak mereka. Dengan cara ini, perempuan terikat erat pada peran sebagai ibu dan kepatuhan, suatu cara memenjarakan mereka tanpa sepengetahuan mereka, dan menjadikannya sebagai korban. Lebih jauh, Rich mengatakan:
Marriage as economic dependence, as the guarantee to a man of “his” children; the theft of childbirth from women; the concept of the “illegitimacy” of a child born out of wedlock; the las regulating contraception and abortion; the cavalier marketing of dangerous birth-control devices; the denial that work done by women at home is a part of “production”; the chaining of women in links of love and guilt; the absence of sosial benefits for mothers; the inadequacy of child-care facilities in most parts of the world; the unequal pay women receive as wageearners, forcing them often into dependence on a man; the solitary confinement of “full-time motherhood”; the token nature of fatherhood, which gives a man rights and privileges over children toward whom he assumes minimal responsibility; the psychoanalytic castigation of the mother; the pediatric assumption that the mother is inadequate and ignorant; the burden of emotional work borne by women in the family—all these are connecting fibers of this invisible institution, and the determine our relationship to our children whether we like to think so or not.[3]
Teater sebagai autobiografi para ibu
Hal yang sama juga dilakukan dalam pertunjukan Postpartum, saat depresi menghampiri para ibu pasca melahirkan, kita dapat mempertanyakan ulang kembali bagaimana masyarakat kita memosisikan para ibu? Sudahkah kita tepat menerima bahwa para ibu butuh pertolongan sebab depresi yang dialaminya, alih-alih mengajarkan untuk terus bersyukur?
Sebagai suatu aktivisme yang mengintervensi masyarakat, Kala Teater dengan sutradara dan penulis Nurul Inayah juga dramaturg Shinta Febriany, melandaskan pertunjukan ini berdasar dari olahan data. Isu postpartum depression yang dialami para ibu pascakelahiran menjadi penting untuk dibicarakan. Sebab dalam masyarakat kita, isu ini seolah menjadi tabu, dan berakhir sebagai penyangkalan yang hanya dialami oleh ibu sendiri. Sebanyak 69 responden menuliskan pengalaman mereka, secara garis besar 77% ibu merasa bersalah, 62% ibu kadang-kadang merasa cemas dan khawatir tanpa alasan (anxiety), 47% ibu kadang-kadang merasa terbebani dengan segala sesuatu yang dilakukannya, dan 22% terkadang ingin melukai diri sendiri[4].
Selain itu, sebanyak 53% ibu merasakan sakit secara emosional oleh komentar orang lain. Tak hanya sakit secara psikis, hampir keseluruhan responden pun merasakan sakit fisik, seperti sakit kepala, pinggang, leher kaku, keringat dingin, perut kembung, dada terasa nyeri dan panas, sulit berkonsentrasi, mudah marah, nafsu makan berlebih atau tak nafsu makan, hingga mudah kelelahan yang menjadi indikator tanda-tanda stres berdasar dari skala somatisasi. Sebanyak 73% perempuan memutuskan untuk berhenti bekerja setelah melahirkan, hal ini jelas memberikan dampak bagi identitas ibu secara sosial, pembagian persentase pengasuhan antara suami dan istri pun cenderung timpang, 30:70.[5]
Di titik ini, Kala Teater Makassar menjadikan pertunjukan mereka sebagai sebentuk pernyataan, teater sebagai keberpihakan, sebagai advokasi bagi masyarakat.
Selimut yang sedari awal pertunjukan terjemur di belakang para aktor sebagai ‘latar domestik’ itu pun juga diaktivasi. Medium dan komposisi letak selimut yang bergelantungan itu, memungkinan capaian artistik untuk menampilkan multimedia berupa hasil dari wawancara responden para ibu baru.
Bentuk artistik, dalam seni pertunjukan, selain untuk menjelajahi kemungkinan dan kreativitas estetika, juga dipandang politis. Dalam arti, bentuk dipilih sebagai gaya ucap yang mendukung isu untuk disampaikan kepada penonton.
Melalui gaya ucap Kala Teater itu, kita dapat beranggapan ada jalinan teater dokumenter (atau autobiografis), yang basis penyampaiannya berupa sumber nonfiksi yang ada, seperti wawancara, sejarah lisan, data, artikel, dan sebagainya. Irisan teater dokumenter ini pula yang menempatkan para ibu baru sebagai subjek yang berbicara atas dirinya sendiri, atas kisah yang dialami pascamelahirkan.
Para aktor lantas merespons hasil dari wawancara itu, pengalaman kesakitan yang dialami para ibu baru seolah menubuh bagi para aktor, mereka melakukan gerak yang ritmis, namun juga pedih. Sebagaimana selimut yang semula sebagai penggambaran latar domestik dan berubah menjadi medium multimedia, benda-benda perlengkapan bayi, yang semula juga sebagai properti, seperti: bantal bayi, stroller, kelambu, tempat tidur bayi, dan lain-lain pun seolah menyimpan trauma yang dibangkitkan melalui impresi tubuh para aktor.
Para ibu yang terpenjara dalam negara
Kita tentu bertanya-tanya, mengapa para ibu dapat merasakan depresi pascamelahirkan? Yang bukan saja berdampak secara psikis, tapi juga merasakan sakit secara fisik. Bagaimana peran negara dalam mengatasi postpartum? Adakah jaminan kesehatan yang melindung para ibu? Ataukah postpartum tak lain adalah dampak dari negara yang menciptakan situasi dan kontrol pengiburumahtanggaan itu?
Jika kita menilik ulang kembali UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, pekerja wanita yang hamil dan akan melahirkan berhak mengambil cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan hingga 1,5 bulan pasca melahirkan[6]. Dan beberapa tahun lalu, DPR mengajukan Rancangan Undang-undang Ibu dan Anak (RUU KIA)[7]. Namun, kenyataan di lapangan masihlah berbeda dengan apa yang dirancang, para ibu hamil masih berjuang untuk mendapatkan haknya.
Sejenak, kita dapat belajar dari sejarah saat Orde Baru, karena disadari atau tidak, masyarakat kita masih merasakan imbas dari ibuisme negara. Yang dalam pandangan Julia Suryakusuma:
“Ibuisme negara berasal dari unsur-unsur paling menindas, baik dari “pengiburumahtanggaan” borjuis maupun paham ibuisme priyayi. Dalam ibuisme, wanita harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat, dan negara; dalam pengiburumahtanggaan wanita diharuskan memberikan tenaga kerjanya secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan prestise atau kekuasaan apa pun. Ibuisme negara mempunyai efek mendomestikasi wanita Indonesia sehingga wanita dijinakkan dalam proses akumulasi, disegregasikan dalam proses pembangunan, dan didepolitisasikan, seperti halnya seluruh masyarakat, melalui konsep “massa mengambang”. Seluruh proses domestikasi ini jelas bukan demi kemajuan kaum wanita, tetapi demi “ketertiban”, “pembinaan”, dan “stabilitas” negara.[8]
Dapat kita bayangkan, melalui penelitian Julia Suryakusuma itu, bagaimana negara telah mengontrol peran perempuan dalam masyarakat melalui berbagai aspek, hingga ke satuan terkecil dari masyarakat itu sendiri, yakni keluarga. Melalui tangan-tangan negara, seperti Dharma Wanita dan PKK. Julia Suryakusuma, melampirkan Kerangka Konseptual Ibuisme Negara, untuk bersama-sama kita lihat bagaimana kekuasaan negara bekerja:
Bagan VI
Kerangka Konseptual Ibuisme Negara[9]
Begitulah, melalui bagan ini, setidaknya kita dapat menarik satu benang panjang, bahwa isu postpartum, dan kesehatan juga kesejahteraan perempuan, perlu untuk diperhatikan juga diperjuangkan.
Kita perlu, sebagaimana pertunjukan itu, menggugat dan mengkritisi ulang peran negara, peran laki-laki, dan masyarakat. Maka, menuju akhir pertunjukan, para aktor melepaskan stagen dan gurita dengan tegas di tubuhnya, mereka angkat benda pengekang tubuh itu dan melepaskannya ke lantai, sebagaimana para aktor di pertunjukan itu, saya juga perlu mengatakannya padamu…
Jakarta – Yogyakarta, 2023-2024.
[1] Cyntha Hariadi, Ibu Mendulang Anak Berlari (Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2016) hlm. 83
[2] Adirenne Rich, Of Woman Born: Motherhood as Experience and Institution (New York: W. W. Norton & Co., 1976) hlm 225.
[3] Ibid. hlm 276-277.
[4] Catatan sutradara pada Leaflet Postpartum dapat dilihat di https://bit.ly/leafletpostpartum
[5] Ibid.
[6] Lihat Cuti melahirkan atau maternity leave adalah periode waktu seorang pekerja ibu hamil yang meninggalkan pekerjaannya dimulai dari sebelum hingga setelah masa melahirkan.
[7] Lihat Parlementaria Terkini – Dewan Perwakilan Rakyat (dpr.go.id)
[8] Lihat Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. (Komunitas Bambu, Depok: 2021) Hlm 167-168.
[9] Ibid. Lihat Julia Suryakusuma, hlm 196.
Sudah baca yang ini?:
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024