Catatan Pasca Pertunjukan “Sarah Wulan” Teater Air SMA N 3 Tuban.
Cimeng D Shalom.
Teater Air SMA N 3 Tuban, beraksi dalam Festival Teater Pelajar dan Mahasiswa (FTPM) tingkat Nasional di Gedung Pertunjukan Sawunggaling Surabaya, 15 Oktober 2019.
Lampu menyorot ke tengah panggung, pertunjukan dengan judul Sarah Wulan dibuka dengan musik yang mewah dan komposisi yang apik, dengan perpaduan antara bass drum, kendang, rebab, jimbe, dan gamelan. Belum selesai dikejutkan dengan pembukaan musik yang mampu menyita perhatian, disusul oleh seorang dalang yang membuka pertunjukan dengan menuturkan beberapa nasihat kepada penonton sebelum memasuki alur cerita yang akan dikisahkannya. Gunungan yang fungsinya adalah sebagai hand property, mampu tertata dengan pas dan elegan sebagai background di belakang dalang.
Naskah Sarah Wulan menggambarkan bagaimana permainan tipu muslihat zaman kerajaan terdahulu. Sebenarnya tidak ada unsur artistik yang secara gamblang menandai pada zaman mana kisah ini terjadi, namun simbol-simbol yang digunakan seperti kostum dan hand property mampu menandai bahwa setting yang digunakan ialah masa kerajaan. Dengan menggunakan simbol dari Gunungan yang identik pertunjukan wayang—yang digunakan sebagai pembuka dan penutup dalam suatu cerita yang dibawakan oleh dalang— Sutradara mampu memindahkannya ke dalam bentuk pertunjukan teater. Tidak hanya menggunakan Gunungan sebagai pembuka dan penutup, namun kerja dan ide tim artistik mampu memberikan makna lain, yaitu membuat suatu grouping dalam alur pertunjukan untuk menandai dari latar peristiwa yang dimainkan.
Sutradara menghadirkan dua kisah sekaligus dalam satu pertunjukan, yang tentunya membawa korelasi antara satu kisah dengan kisah lainnya. Yang pertama murni kisah “Sarah Wulan” yang membawa seluruh alur dalam pertunjukan, dan yang kedua adalah kisah yang dibawakan oleh tokoh ‘Dalang’.
Pada pertunjukan ini, sutradara banyak memainkan simbol dan memasukkan pola ‘Dalang Kentrung’. Dapat dikatakan bahwa pertunjukan ini membawa spirit kesenian tradisi ‘Kentrung’ yang sarat akan nasihat kepada masyarakat penontonnya. Dimulai dari tuturan seorang dalang dan akhirnya digambarkan oleh tokoh yang memainkan kisah Sarah Wulan. Dialog dan dialek yang dibawakan oleh aktor mengikuti zaman ini. Ini membuat saya bertanya-tanya, dalam pertunjukan ini, apakah sutradara sudah menimbang dalam pemilihan dialog dan dialek yang akan dipertunjukan? Yang saya ketahui dalam setiap pertunjukan, setidaknya seorang sutradara juga harus menempatkan naskah sebagaimana mestinya, yang artinya, membiarkan naskah murni menjadi teks. Namun, sutradara berhak mengubah—menambahkan atau mengurangi dialog— tanpa mengurangi kemurnian ide maupun makna—seperti pemenggalan yang tidak sesuai alur—dalam naskah, dan menjadikannya sebagai naskah sutradara.
Ketika berbicara mengenai komposisi panggung dalam pertunjukan tersebut, penempatannya belum tertata dengan bagus sehingga membuat penonton menjadi salah fokus. Hal itu disebabkan karna tidak adanya batas dalam ruang pertunjukan antara panggung aktor dengan tempat pemusik yang hadir dalam satu panggung pertunjukan. Komposisi tersebut menjadi sangat riskan karena aktor juga merangkap sebagai tim musik dalam pertunjukan Sarah Wulan.
Tangga dramatik yang coba dibangun melalui peristiwa pertarungan, balas dendam, dan sisi heroik, terlihat cukup tertata dengan baik oleh ide sutradara. Namun, hal itu tidak didukung oleh kemampuan keaktoran dari beberapa aktornya. Beberapa aktor, seperti tokoh Dalang memang sudah diperankannya dengan baik, namun beberapa lainnya tidak memiliki kekuatan yang sama untuk mengimbangi keaktoran Dalang.
Apakah ini memang suatu ide dari sutradara yang masih menjaga unsur bahwa tokoh Dalang—sebagai pembawa cerita—memiliki posisi yang lebih tinggi dari aktor yang dikisahkannya? Hal ini akan menjadi tumpang tindih dalam satu pertunjukan, karena tokoh-tokoh yang diceritakan oleh Dalang tidak dapat memainkan emosinya dengan maksimal, sehingga penonton juga kesulitan untuk merasakan kekuatan emosional yang coba dihadirkan oleh aktor dalam cerita tersebut.
Dari sisi muatan/pesan tekstual dalam cerita yang dibawakan, dengan dibantu unsur lain seperti artistik dan musik, kisah yang diceritakan memberi penawaran wacana yang menarik. Kisah ini ternyata diselesaikan oleh tokoh ‘Sarah Wulan’ yang memberikan hukaman bagi suaminya karena telah terlena oleh kekuasaan dan tahta yang diembannya. Dalam kisah kerajaan ini, seorang perempuan tidak hanya sebagai pendamping seorang raja saja, tetapi juga memiliki andil dalam memberikan sebuah kisah. Wacana mengenai kekuatan perempuan yang dihadirkan sutradara dalam cerita, harusnya terbaca dan menjadi pelajaran bagi penyaji maupun penonton. Mungkin memang sedikit sulit diterima oleh penyaji, terlebih penyaji masih duduk dibangku sekolah menengah atas, namun setidaknya ada hal yang harus diterima dan menjadi bahan pembelajaran dalam setiap pementasan.
Kita harus memahami, bahwa proses dalam berteater tidak hanya dijadikan untuk bersenang-senang saja, serta tidak lantas menjadi bangga hanya karena riuh tepuk tangan penonton dan ucapan selamat setelah pertunjukan selesai, namun apakah pesan moral dari tokoh yang diperankan sudah terbawa dalam kehidupan di luar panggung pertunjukan ataukah belum?
Melalui spirit seni tradisi ‘Kentrung’ yang dimainkan setidaknya mampu mengingatkan kembali kepada penonton dan juga kita semua, bahwa dalam setiap pertunjukan teater tidak hanya memberikan sebuah tontonan, namun juga harus berisikan tuntunan dan pesan moral. Dalam pertunjukan ini, penonton diajak membaca ulang masa lalu dimana untuk mencapai tahta tertinggi kerajaan harus melalui syarat pertumpahan darah dan permainan yang licik, yang sekiranya sangat relevan dengan keadaan sosial, budaya, dan politik hari ini.
- Catatan Pasca Pertunjukan “Sarah Wulan” Teater Air SMA N 3 Tuban. - 29 Oktober 2019