fbpx
Jumat, April 26, 2024
ULASANPanggung Teater

In Memoriam Masa Remaja: Ziarah Kenangan Andy SW

[Indah Zulhidayati]. Sebuah sajian yang mengajak penonton melampaui ruang dan waktu untuk kembali ke masa remaja. Pada perhelatan tahunan Overact Festival yang diselenggarakan di Panggung Kolektif Teman Baca, Mataram Lombok. Puncak dari festival ini penonton disuguhkan pertunjukan gurih nan menyenagkan dari Andy SW, seorang penampil sekaligus sutradara, dan penulis produktif asal Yogyakarta, yang aktif berkreatifitas di Bengkel Mime Theatre. Pertunjukan yang disajikan pada tanggal 18 Desember 2021 ini merupakan adaptasi dari puisinya sendiri yaitu “Tepat Tengah Malam di Masa Remaja”. Tampilan ini juga menandai peluncuran buku Kota-Kota Bersuara: Teater di Tengah Masyarakat, sebuah kumpulan tulisan oleh beberapa pegiat teater di berbagai wilayah Indonesia yang diinisiasi oleh SW. Kekuatan dalam merespon teks dan konteks yang ada di lingkungan Panggung Teman Baca, benda-benda mati menjadi hidup di tangan sang penampil.                                                                               

Andy Eswe Merespon John Lennon | In Memoriam Masa Remaja: Ziarah Kenangan Andy SW
                                                                       Penampil merespon lukisan John Lenon. Foto oleh Overact Teater

Diawali dengan penampil merespon teks yang ada di bagian depan Rumah Teman Baca dengan Langit mendung sebagai atap ruang pertunjukannya. Penampil menyapa dengan ramah, orang yang sedang duduk di stand makanan dan stand penyablonan, dan memberi tahu semua orang kalau mereka adalah temannya. Setelah melewati pintu kedua terdapat tempat mencuci piring, dan turut serta mencuci piring yang ada di sana, sembari mengimajikan tokoh ibu berada di sana, Bagaiamana dedikasi  anak terhadap ibu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. “Istirahat yang banyakya, bu, ya, kalau ibu sembuh aku akan mnegajak ibu jalan-jalan”, begitulah kalimat menggemaskan yang dilontarkan sembari mencuci piring. Lukisan dinding berwajah Jhon Lenon turut menjadi objek untuk dieksplore penampil, gestur dan ekspresi penuh cinta, sebgaimana cintanya seorang remaja yang terkadang terkesan bucin (budak cinta). Tubuh menari-nari pelan, jari-jemari berputar menjangkau telinga Jhon lenon dalam lukisan dan menaruhkan bunga, penonton larut dalam gesture imaji yang disajikan. Pertunjukan ini seperti sedang membaca novel atau cerpen, pembaca diajak untuk menciptakan imajinasinya masing-masing.

Tangisan masa remaja | In Memoriam Masa Remaja: Ziarah Kenangan Andy SW
Tangisan masa remaja. Foto oleh Overact Festival

Tidak hanya sekedar penampil merespon teks, namun Bagus Prasetyo sebagai teks pendukung yang menjadi pembaca puisi turut merespon penampil. Dua puisi yang dibawakan yaitu puisinya Ilda Karwayu berjudul “Terjebak Hujan di Dalam Rumah” dan puisinya Iin Farliani berjudul “Sebelum Tidur atau Sesudahnya”. Pembacaan puisi ini bukan tampilan yang terpisah dari konteks yang ditampilkan, namun juga sebagai bagian yang menyatu dengan pertunjukan ini. Puisi-puisi yang dibacakan menjadi alunan musik, kepiawaian pembaca puisi dalam mengatur ritmiknya menjadikan pertunjukan semakin “gurih”. Penampil pun turut menyerap energi dari untaian-untaian puisi yang dilontarkan. Beberapa baris puisi dibacakan, tokoh remaja ini meminta pembaca puisi untuk menyanyikan sebuah lagu, akhirnya lagu Inak Tegining Amaq teganang, yang merupakan lagu daerah Sasak dinyanyikan. Beberapa lirik yang dinyanyikan diubah-ubah, selayaknya anak remaja yang sesuka hati dalam bernyanyi.

BACA JUGA:  Sekedar Tragedi atau Refleksi Diri? | Catatan atas La Leçon — Teater Sagaloka

Tidak berhenti disana, teks lainnya kembali dihidupkan penampil, kali ini penampil berinteraksi langsung dengan penonton, dengan gesture seolah-olah memberikan bunga kepada beberapa penonton sembari diiringi lagu “Rambut Hitam Kepang Dua” dari Muchlas Adi Putra. Lagu lawas yang rilis pada tahun 1988 ini menguatkan penonton dalam membangkitkan memori masa lampau, terutama identitas masa remaja penggagas konsep yaitu Andy SW, yang mana memang sebuah karya apapun akan ada keterlibatan pengalaman hidup pengkarya, lingkungan, dan bahan bacaannya. Setelah berinteraksi dengan para penonton, penampil berdiri menyudut pada lantai yang lebih tinggi dari penonton. Tiba-tiba penampil yang memerankan seorang remaja ini menangis, dengan gesture dan mime khas seorang pantomimer. Benda-benda di sekitar dilemparkan ke arah penonton, bola-bola kecil mainan anak-anak dalam hitungan sekitar 2 menit bertebaran di langit-langit, karena penonton pun ikut merespon melempari balik. Terdapat ketegangan dan keseruan pada momen ini, penonton diajak kembali pada masa remaja yang penuh dengan keseruan, tanpa banyak yang harus dipikirkan seperti ketika berada pada fase dewasa.

Selain pembaca puisi terdapat juga penampil pendukung lainnya. Beberapa menit sebelum adegan pelemparan bola-bola berakhir, penampil pendukung lainnya telah berada di wilayah pertunjukan, seorang laki-laki melakukan aktifitas menyapu sembari manyanyikan lagu “Norwegian Wood” dari The Beatles sepanjang dia membawakan perannya. Pertunjukan berakhir dengan penampil utama dan kedua penampil pendukung saling berinteraksi, pembacaan puisi, menyanyikan lagu, dan melontarkan kalimat berbahasa Sasak.

Pembaacca puisi | In Memoriam Masa Remaja: Ziarah Kenangan Andy SW
Penampil pembacaan puisi. Foto oleh Indah Zulhidayati

Kurang lebih 40 menit pertunjukan ini disajikan, banyak adegan yang berinteraksi langsung dengan penonton, begitu menyatu dan dekat, namun terkadang membuat penampil keluar dari pertunjukannya. Ada beberapa adegan yang nampak terlihat, terkadang Andy SW hadir dalam adegan, dan melepas peran yang dibawakan. Begitupun penonton turut melepaskan karakter yang dibawakan. Garis pertunjukan begitu luas yang diciptakan penampil, teks-teks bertebaran di wilayah pertunjukan tidak luput untuk direspon. Metode merespon seperti ini banyak dilakukan pada sajian performance art yang mana kekuatan konsep sangat diutamakan, dan disahkan ketika tidak ada latihan sebelumnya, yang sangat berbeda seperti sajian perfoming yang sangat dituntut untuk melakukan latihan berulang. Namun yang cukup nampak dari pertunjukan ini adalahlebih artikulatif dibanding sebuah performance art.

Pertunjukan ini memberikan kesadaran terhadap penonton sebagai orang tua atau sebagai orang yang dekat dengan para remaja, bahwasannya gejolak psikologis remaja akan berbeda dengan yang sudah dewasa. Remaja pada umumnya akan sulit mengutarakan apa yang mereka kehendaki melalui vebal, namun hanya akan melaui ekspresi emosinya. Andy SW sebagai penggagas pun yang berlatar belakang hidup di Yogyakarta akan terbawa juga dalam ekspresi ketubuhan remaja Jawa, namun hal esensial seperti ini tidak begitu banyak disinggungkan dalam pertunjukan ini. Ketika konsep dari pertunjukan ini disinggungkan juga terhadap keilmuan lain seperti psikologi remaja, maka ini akan memberikan wacana yang yang lebih detail terkait konteks dari pertunjukannya, tidak sekedar menyoal artistik, ataupun teknis pertunjukannya.

BACA JUGA:  Surat Cinta Untuk Dik Yogix dan Layer yang Terbengkalai: Catatan Atas Pertunjukan Julius Caesar – Shakespeare Project X RKBBR
Indah Zulhidayati
Latest posts by Indah Zulhidayati (see all)

Indah Zulhidayati

Indah Zulhidayati kelahiran 20 Juli di Baturaja Sumatera Selatan, namun sejak 2016 bertempat tinggal di Mataram Pulau Lombok. Pada tahun 2015 menyelesaikan studi di Pascasarjana Institut Seni Indnesia (ISI) Surakarta dengan minat pengkajian seni teater. Aktif dalam menulis artikel ilmiah khususnya kajian teater. Selain berkegiatan sebagai pelatih teater, juga aktif mengajar di Prodi Sendratasik Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB khususnya pada bidang teater.