Param Kotjak: Suara-Suara yang Mendarat, Suara-Suara yang Melesat
Beri Hanna Goejarot. Panggung teater masih sepi, rakyat tetap saja tidak tertarik dengan teater. Bahkan, teater sangat asing di telinga rakyat. Workshop kepenontonan teater seperti momok besar yang sempat menggelisahkan orang-orang teater. Bagaimana menilai pertunjukan, memaknai setiap adegan, dan masuk—serta meresapi apa tujuan dari pertunjukan yang berlangsung. Penonton resah, tak kuat berpikir. Dunia kita berbeda, setiap waktu kalian terlihat seperti orang gila, dan tiba-tiba ketika pentas dan dipertontonkan pada kami, terus kami dipaksa untuk berpikir. Apa gunanya teater jika itu lebih menyulitkan ketimbang menjual sepotong tempe? Apa gunanya jika menguras kepala, bahkan membuat penonton awam merasa seperti alien di dalam gedung pertunjukan. Melihat tubuh bergelayutan di atas panggung dengan pernak-pernik sedemikian rupa namun tak jelas sedang apa. Bukankah lebih baik drama sinetron yang ada di TV-tv, tayang membuat air mata berjatuhan, menikam perasaan ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian, membuat hati teriris-iris dengan close-up di bagian muka selebritis yang cantik jelita. Mengabadikan suara hatinya yang terdengar jahat—bikin jengkel, gemes. Ingin rasanya menampar, tapi apalah daya jika itu hanya sebuah tayangan di dalam TV.
Teater exclusive dibandrol tiket jutaan rupiah. Di Jakarta harganya sangat gemilang, juga di beberapa kota lainnya. Jika teater dipertunjukan secara gratis—kok malah tidak dipedulikan. Dilihat sebentar lalu tidur di tempat. Bukan tanpa alasan, barangkali cerita yang diangkat tidak sekonyol apa yang ada di kepala rakyat. Lelucon yang dilemparkan tidak menghibur alias garing—krik-krik. Kalau begini rupanya teater lebih baik nonton sinetron saja.
Merunut pada kegelisahan pelaku teater yang ingin melebur pada masyarakat, tetapi selalu saja terkendala masalah yang macam-macam. Terlalu idealis salah, terlalu merajakan penonton juga salah. Melihat sinetron laku keras kepala jadi meledak. Ketawa-ketiwi sendiri dengan keadaan tanah air kita. Dalam hati; pantaskah teater dipertahankan? Pantaskah teater memilah-milah penonton?

Barangkali pertunjukan PTKSI #8 yang diselenggarakan di kota Surakarta menyuarakan hal serupa. Terangnya, ketika menyaksikan pertunjukan dari teman-teman IKJ yang lebih memilih tubuh panggung tanpa dialog real, alias pertunjukan kolase jika boleh saya sebut seperti itu.
Bagian pertama, lima kursi berbaris mengelilingi lingkaran, sedang satu orang duduk di bawah. Masing-masing dari mereka menyaksikan ponsel—kemudian tertawa. Dan yang lain menyerang, menyatukan tubuh mereka menjadi satu kesatuan, mata mulai memperhatikan hal apa yang bisa membuat seseorang tertawa. Terus mengumpat, “oh” dan kembali pada posisi masing-masing dan mulai menertawakan hal serupa yang ada di ponsel mereka masing-masing. Kemudian tawa menjadi tangisan, dan tangisan menjadi makian dengan gaya yang serupa.
Satu catatan yang saya ingin jabarkan di sini, sebagai seorang penonton yang menyaksikan pertunjukan teman-teman dari IKJ, bukankah lebih baiknya jika tawa, tangis, dan maki ini menjadi satu-kesatuan yang mempengaruhi bentuk tubuh. Kira-kira akan membuat hal lain yang bermunculan, seperti tabrakan-tabrakan yang tidak dapat ditebak, namun cukup menganggu kepala. Mengingat pertunjukan ini—menurut saya sebagai penonton−audio adalah senjata utama pertunjukan mereka. Maka dari itu, sangat disayangkan jika audio yang hadir tidak terlalu mengganggu. Atau barangkali teman-teman IKJ sudah mengkonsep hal ini seperti apa adanya (mengingat berita sudah sangat dikesampingkan. Berita-berita yang bermunculan hanya datang untuk ditertawakan). Tetapi saya akan mempertimbangkan jika hal itu dikemukakan—melihat teks yang disampaikan adalah teks satir tentang keadaan Jakarta yang ruwet.

Memang, kalau melihat keadaannya berita tentang ibu kota tanah air kita tidak lagi terlalu dihiraukan—karena begitu adanya, terus-menerus persoalan—macet, banjir, dll. Sangat membosankan.
Sebagainya saya yang menangkap pertunjukan ini, barangkali teman-teman IKJ ingin memperdebatkan kebosanan itu sendiri—karena lebih dari setengah warga tanah air lebih senang dan betah berlama-lama melihat video anak kecil makan bakso yang viral—ketimbang persoalan Jakarta itu sendiri.
Patahan yang cukup mengejutkan saya sebagai penonton adalah saat terjunnya para aktor yang ada di atas panggung ke arah penonton. Kemudian di sana mereka memperlihatkan sebuah video di dalam ponsel masing-masing milik mereka yang menayangkan pertunjukan. Kemudian, teks yang hadir saya pikir adalah teks ajakan untuk lebih baik menyaksikan pertunjukan teater ketimbang video viral anak kecil makan bakso, atau beli ponsel miliaran. Semua dari aktor mendatangi penonton, “ini ludruk, ini tentang isu lokal, ini teater namanya, ini teater komedi.” Merasakan ajakan dari aktor yang tadinya di atas panggung, penonton cukup merespon dengan apa adanya. Mungkinkah penonton di Teater Besar Isi Surakarta pada malam hari itu masih sadar akan pertunjukan? Sehingga mereka terbatasi dengan hal-hal yang tidak harus mereka lakukan. Sedangkan aktor-aktor dari IKJ sudah menghilangkan konvensi itu ketika mereka memilih terjun dan bergabung bersama penonoton?

Ini menarik. Hanya saja, pasar penonton terlalu tegang. Sehingga teks-teks yang dipaparkan sesederhana mungkin dengan dialek ibu kota tak mendarat mulus ke telinga penonton, mereka justru terjebak dengan menunggu-nunggu bagian ending dari pertunjukan—dan hanya menginginkan—untuk memberi penghormatan dengan beberapa kali tepuk tangan atas pertunjukan.
Informasi Pertunjukan:
JUDUL : PARAM KOTJAK
Pemain : I Made Adryanata, Adhella Romanda, Mikhael Pradipta Hernan, Sonyaria, Taufiq, Siti.
Stage Manager : Rafi Asti.
Artistik : Dwi Oktavianto.
Lighting Desain : Agung Rivai.
Pimpinan Produksi : Hilmi Almasyari.
Sutradara & Penulis Naskah : I Made Adryanata.
Sudah baca yang ini?:
Catatan Pasca Pertunjukan "Sarah Wulan" Teater Air SMA N 3 Tuban.
Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal
Setelah “Pantomim dan Api Gagasan” : Percakapan Dua Penonton
Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023...
Mayadrama Project 2: Dongeng Pengantar Tidur
Latihan Melakukan Perubahan : Forum Theatre di BTF 2017
- In Transit: Meminjam Rangkaian Peristiwa - 10 Oktober 2020
- Param Kotjak: Suara-Suara yang Mendarat, Suara-Suara yang Melesat - 3 Desember 2019
- MENGENANG MATA YANG PERNAH TENGGELAM DALAM DUNIA MAYA - 14 November 2019