Sabtu, Desember 14, 2024
ULASANPanggung Tari

Rasa Dalam Karya Koreografi Pasca Pandemi : Catatan atas Paradance #28

[Rifa Fitriana] Sekitar dua tahun lamanya pandangan mata tidak dimanjakan oleh pertunjukan tari secara langsung. Tidak hanya rindu dengan riuhnya suasana panggung, tetapi juga interaksi sosialnya dalam bertegur-sapa hingga bergosip satu-sama lain mengulik hal baru selama pertunjukan berlangsung. Meskipun begitu, ternyata perubahan hal-hal dibicarakan tidak signifikan Selama transisi pertunjukan luring ke pertunjukan daring harapannya muncul sebuah gebrakan baru yang bisa menjadi media alternatif, kreatif, inovatif yang diciptakan melalui media online. Namun, lagi-lagi untuk mempersiapkan hal-hal seperti itu membutuhkan modal dan nyali yang cukup besar baik bagi pemerintah maupun komunitas Meskipun jika melihat potensi seni dan antusiasme anak muda dalam berbudaya hal tersebut sebaiknya bisa diwujudkan. Lalu apa yang berubah di masa pandemi ini? Berubahnya profesi seniman dan perspektifnya dalam rangka menghidupi diri! Indonesia memiliki kekayaan seni yang beragam namun berdasarkan pengalaman dan pengamatan personal saya, apresiasi kepada seniman masih minim. Dari sinilah kemudian keduanya, antara seni dan seniman harus saling menghidupi. Kesadaran melestarikan semakin krisis, banyak harapan digantungkan dalam orasi basis yang mengatasnamakan pengembangan budaya.  Sulitnya pemerataan dana pengembangan budaya juga masih menjadi permasalahan tersendiri karena melibatkan situasi yang kompleks di belakangnya (infrastruktur, pendidikan, dll), meskipun pemerintah sudah mencoba melalui platform-platform yang mereka miliki.

Masih banyak potensi-potensi seni yang dapat diasah namun akses yang diberikan cukup susah. Ingin mengembangkan diri tapi bukan asli orang sini! adalah suara keputusasaan yang beberapa kali saya dengar belakangan ini. Semua hal tersebut bukanlah jalan buntu, melainkan tantangan yang harus ditangani demi kelangsungan Seni Tari. Seperti salah satu platform pendukung karya tari anak Yogyakarta yaitu Paradance yang cukup berani untuk memberikan solusi permasalahan Seni Tari khususnya dalam ranah penciptaan. Paradance sendiri merupakan platform yang diinisiasi oleh pasangan suami istri Ahmad Jalidu dan Nia Agustina, mereka tertarik untuk mendukung pengembangan ruang seni pertunjukan di Yogyakarta khususnya pada seniman-seniman muda yang memulai berkarya. Mereka tidak membatasi penampil yang ingin mempresentasikan karyanya di Paradance sehingga platform ini menjadi ruang tumbuh bersama bagi para seniman tari untuk bereksperimen pun juga memberikan apresiasi. Paradance sengaja memberi kejutan karya pada penonton lewat poster tanpa mencantumkan judul karya penampil. 

Penampil-penampil festival mini seni gerak & tari Paradance #28 kali ini lebih menonjolkan properti tari yang cukup anti mainstream mulai dari cat warna hingga serbuk kopi. Mulai dari gagasan tradisi hingga isu terkini ditampilkan oleh keenam koreografer muda diantaranya Abib Habibi Igal dan Tirta Nopa Tarani dengan properti gelang dadas (Barito Timur), Rereziq Karim menggunakan properti pasir (Pangkal Pinang), Widi Clepret membawa properti kain putih (Gunung Kidul), Iwan Setiawan menggunakan properti cat warna (Bima), Dea Tri Rahmawati menggunakan properti kopi (Klaten). Sejauh ini, Paradance biasanya mengkurasi karya berdasarkan persebaran wilayah yang berbeda-beda, tetapi kali ini terdapat dua koreografer berasal dari kota yang sama, sehingga menarik perhatian saya untuk mendiskusikannya lebih lanjut dalam tulisan ini.

BACA JUGA:  Butakah Kami? : Catatan dari Pertunjukan "Kami Bu-Ta" APDC

Karya dalam Baur Rasa

 Munculnya poster Paradance #28 yang menyelenggarakan pertunjukan tari (lagi) pada 27 Maret 2022 menjadi angin segar di kalangan penikmat Seni Tari. Hal tersebut terlihat bangku penonton yang sudah terisi sejak 30 menit dari waktu yang sudah tertera di poster. Seperti biasa waktu yang ditunjukan bukanlah waktu yang spesifik untuk dimulainya pertunjukan, tapi masih ada setting panggung yang tidak seberapa lama berjalanmenemani penonton yang sudah penuh. Beberapa menit sebelum pemandu acara memasuki panggung dengan santai memakai kaos oblong dan sandal jepitnya, penonton sudah memenuhi tempat duduk dan terdengar suara bisikan, canda-tawa, tegur-sapa kawan lama. Semuanya sontak berhenti ketika pemandu acara menyambut dan mulai memperkenalkan diri. Penonton yang hadir malam itu berdandan stylish seperti menghadiri acara bergengsi sebuah pertunjukan tari, cuaca di Balai Minomartani cukup mendukung, sekilas suasana pandemi telah berakhir meskipun semua penonton memakai masker yang sudah menjadi aksesoris sehari-hari.

Lampu perlahan menyoroti tubuh yang berada di tengah heningnya panggung. Terdengar suara hantaman logam ringan yang monoton dari gelang dadas dilatari backsound musik bernuansa mistis. Menurut ungkapan Abib Habibi Igal, buah pikiran karyanya ini diambil dari ritual penyembuhan Wadian Dadas dari Suku Dayak Maanyan, di mana noise gelang dadas dipercaya menyembuhkan orang sakit. Alunan musik yang konsisten membawa pertunjukan pembuka Paradance #28 pada kilas adegan film horor tentang shamanisme. Tidak heran jika karakter musik seperti ini digunakan sebagai media katarsis untuk penyembuhan. Menariknya, saya melihat jiwa tradisi dalam tubuh modern pada karya yang disuguhkan oleh Abib melalui gerak-gerak tajam simetris yang ditujukan pada sudut-sudut panggung. Sembari membunyikan gelang yang ada di kedua tangannya, raut wajah Abib yang awalnya nampak tenang dan khusyuk, sesekali mengkerut saat melakukan gerak dengan ritme cepat. Saya merasakan bahwa Abib mencoba mewacanakan keintiman hubungan manusia dengan roh leluhur untuk mencapai puncak negosiasi.

Paradance 28 1 | Rasa Dalam Karya Koreografi Pasca Pandemi : Catatan atas Paradance #28
foto oleh : Rifa Fitriana

Pengalaman kepenarian dan penciptaan Abib dalam dunia tari sudah cukup banyak, ia juga pernah menjadi penari 24 jam pada acara World Dance Day ke-13 tahun 2019. Sebagai seorang koreografer, ia memiliki personal style tradisi Kalimantan Tengah yang khas dengan properti gelang dadas hampir di seluruh karyanya. Konsistensi Abib dalam membentuk karakter koreografinya sudah cukup berhasil, apalagi ia membawa budaya lokal dari tanah kelahirannya yang mungkin belum banyak orang memahami fenomena tersebut. Karya yang ditampilkan pada pembukaan Paradance #28 dengan durasi yang lumayan pendek dari penampil lainnya membuat saya mengerutkan dahi, karena saya merasakan energi yang kuat namun tidak sepenuhnya sampai pada tubuh saya. Perasaan tersebut cukup terjawab ketika Habib menjelaskan bahwa karya ini merupakan karya prematur dari tahun 2020 yang dipertunjukan secara virtual (waktu itu) dan dibawanya ke panggung secara onsite di Paradance #28 ini untuk mempertanyakan sakralitas di dunia virtual. Dan akhirnya karya tersebut juga ikut menanyakan nilai sakral dalam dirinya.

BACA JUGA:  Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Tasikmalaya

Saya meminjam kata transfigurasi untuk menyebutkan proses sakralitas yang dimaksud dalam ritual Wadian Dadas yang sebenarnya, karena terdapat perubahan peran yang sengaja dilakukan agar peleburan antara dua alam (manusia-roh) terpenuhi, namun saya merasa ini belum tersampaikan utuh pada karya ini. Di luar dari konsep crossgender saat pelaksanaan ritual Wadian Dadas, ide yang dibawakan Abib mengenai ritual Wadian Dadas menarik perhatian saya terlebih ia membawakan karya itu dengan kostum kaos biru dan celana legging. Asumsi saya mungkin terdengar basis karena kostum yang ia kenakan melenyapkan arti “sakral” dalam karya, malam itu ia terlihat menampilkan gladi resik di atas panggung. Disini kemudian muncul pertanyaan, bagi saya ini antara nampak kurang serius tapi bisa jadi memang dia sedang dilanda dilema karena alih media atau bisa pula Abib sengaja menunjukan cara pandang dia sebagai manusia modern terhadap budaya yang dibungkus mitos, atau bahkan ia ingin memfokuskan pada bunyi saja? Tapi kembali lagi bahwa Paradance adalah platform yang bisa digunakan untuk eksperimen karya, juga memberikan kesempatan penonton untuk berimajinasi menangkap makna karya yang ditampilkan. 

Menggunakan properti tari yang mampu menghasilkan bunyi memang menarik apalagi kita sebagai koreografer bisa menampilkan sesuatu yang nerbeda baik dari keluaran bunyinya maupun tekniknya, sehingga ia mampu menampilkan sesuatu yang segar di panggung. Berbeda dengan Abib Habibi, Tirta Nopa Tarani mengambil gagasan jalan sunyi sang pencipta yang ditampilkan secara paradoksal. Selain bertentangan dengan gagasan, Tirta juga menyajikan suara-suara dari alat musik contra bass dan suara ritmik gelang dadas, kedua sumber musik tersebut diulang-ulang layaknya sebuah dialog dalam bentuk suara yang saling memberi respon satu sama lain. Apakah Tirta mencoba mewacanakan proses sinkronisasi pikiran saat berdoa, di mana banyak distraksi yang membuat manusia menjadi lebih sekuler? Di beberapa adegan ia menampilkan gerak yang cepat hingga keringat juga berjatuhan di lantai, dengan ekspresi terengah-engah ia menunjukkan ke chaos-an memakai properti gelang dadas. Saya belum mengetahui lebih lanjut bagaimana teknik gerak menggunakan gelang dadas, tetapi melihat gerak Tirta dalam karya ini terdapat kesamaan dengan gerak tari di ritual Wadian Dadas yaitu menghentakan tangan secara bergantian ke depan. Dalam ranah karya tari kontemporer, saya membayangkan Tirta bisa menggunakan konsep bunyi dalam gerak dengan tampilan yang mempesona dengan menambah alat musik gambang jawa untuk mendukung gerak cepat dan bunyi gelang dadas agar tidak mono ritmik.

Paradance 28 2 | Rasa Dalam Karya Koreografi Pasca Pandemi : Catatan atas Paradance #28
Foto oleh : Fira Fitriana

Kesamaan wilayah dan properti tidak membuat kedua koreografer di atas memiliki konsep yang sama, Abib dengan alih medianya (dari daring ke luring) dan Tirta dengan hubungan ritmik bunyinya. Sebagai karya koreografi pasca pandemi dengan segala keterbatasan dan penyesuaian yang ada, keduanya berpotensi menjadi karya yang mempesona untuk dikembangkan ke level selanjutnya, terlebih ketika mereka dapat menawarkan sudut pandang lain dari enkulturasi budaya sehigga karyanya mampu memberikan wawasan baru bagi penonton dan memiliki daya pikat lebih besar . 

BACA JUGA:  Meresapi Pertunjukan dan Pameran “Les Bonnes” Ferdy Thaeras
Rifa Fitriana (Ifo)

Rifa Fitriana (Ifo)

Rifa Fitriana (Ifo). Alumni Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa yang memiliki ketertarikan di bidang Tari baik sebagai penulis dan praktisi. Co Management and Reseacher SEMASA Youth Studies & Forum.