A Bucket of Beetles: Dari Serangga ke Isu Ekologi
[Michael HB Raditya]. Mata berbinar tampak pada wajah Wehea ketika menatap seekor kumbang badak. Bersama kumbang badak, ia menjalin persahabatan dan mengarungi kehidupan di hutan hujan tropis. Namun ancaman berdatangan, mulai dari pemburu serangga, pembalak liar, hingga pembakaran hutan. Tak ada yang dapat dilakukan oleh Wehea. Ia hanya bisa berjalan termangu bersama para serangga untuk mencari pengharapan. Alih-alih ia temui, tiada lagi hutan dengan pelbagai ekosistemnya. Tiada lagi yang mereka cari, yang ada hanyalah pohon sawit. Di sana lah mereka berpisah, di sana lah juga Papermoon Puppet Theatre menyadarkan penonton bahwa hamparan hutan yang kita miliki tidak baik-baik saja.
Sebuah karya bertajuk A Bucket of Beetles dipentaskan secara daring oleh Papermoon Puppet Theatre (PPT) pada dua hari pertunjukan, 1-2 Agustus. Pada karya ini, kelompok teater boneka asal Yogyakarta, PPT mengangkat isu ekologi sebagai narasi pertunjukan. Namun yang menarik, mereka menawarkan cara pandang yang berbeda untuk melihat kerusakan ekologi, yakni persahabatan antara anak kecil dan kumbang badak. Dari persahabatan itu, PPT justru mengartikulasikan hal-hal dalam ekologi yang jarang terbahas, seperti kehidupan hutan, kehidupan hewan, rantai makanan, dan ketertautan satu dengan yang lain. Lebih lanjut, PPT justru memperlihatkan poin penting yakni keadaan dan transisi dari perubahan keadaan alam yang dirusak oleh manusia.
Hal yang lebih menarik, alih-alih PPT hanya meminjam sudut pandang anak kecil sebagai pintu masuk, desain boneka dan ide cerita memang dibuat oleh seorang anak laki-laki berusia 5 tahun, Lunang Pramusesa—anak dari founder PPT. Ide cerita dan sudut pandang anak kecil itu lah yang seterusnya dielaborasi oleh Maria Tri Sulistyani dan Iwan Effendi dengan isu ekologi. Elaborasi tersebut menjadi pertunjukan boneka tanpa kata yang dimainkan oleh Anton Fajri, Pambo Priyojati, dan Beni Sanjaya. Kendati tanpa kata, pertunjukan justru diperkuat dengan alunan musik dari Yennu Ariendra.
Hal yang berbeda dari A Bucket of Beetles, jika karya PPT sebelumnya dipentaskan secara langsung, karya terbaru ini dipentaskan secara daring. Sebagaimana pertunjukan daring, PPT bekerja sama dengan Patjarmerah dalam mengelola virtual room dan ticketing. Alih-alih pertunjukan dipentaskan secara langsung, karya ini memutar video—dari Gabra Mikael dan Rangga Yudhistira—yang diputar serentak pada empat jadwal penayangan di dua hari pertunjukan. Karya yang dipentaskan untuk lingkup world premier ini menembus angka 900 penonton.
Tumbal itu bernama Hutan
PPT tidak memulai pertunjukan dengan kerusakan alam. Pun mereka juga tidak bicara persoalan hutan dalam bobot yang besar. PPT justru memulainya dengan relasi antara Wehea si bocah hutan dengan alam sekitarnya. Dimulai dengan antusias Wehea pada serangga, PPT masuk ke isu ekologi dengan cara yang halus. Ia mulai dengan sudut pandang anak kecil menggemari serangga dan alam di sekitarnya.
Namun perlahan Wehea harus berhadapan dengan penangkapan hewan hutan, pembalakan liar, pembakaran hutan, hingga penanaman sawit. Tidak sedikit hewan yang kabur, tidak sedikit hewan dan tumbuhan yang mati. Atas kejadian tersebut, PPT tetap bersetia pada logika anak kecil, yakni bersembunyi dan mencari keselamatan bersama kumbang badak, belalang, dan semut.
Pada scene terakhir, Wehea terpisah dengan para serangga di hamparan sawit yang semakin waktu semakin berlipat. Perubahan ekologi yang dipaksakan manusia untuk keuntungannya sendiri ini lah yang menjadi nasib akhir terputusnya persahabatan Wehea dan serangga. Wehea dengan wajah melamunnya seakan menunjukkan kehilangan yang luar biasa, yang dengan segera menyadarkan kita akan pertanyaan, apakah kita cukup merawat air, tanah, dan udara di sekitar kita? Bagaimana keadaan hutan kita?
Di dalam pertunjukkannya, video pun turut menampilkan transisi alam yang berubah. Dengan artistik panggung yang detail dan pengambilan gambar yang jelas, penonton seakan diajak untuk merasakan kegembiraan dan keterasingan bergantian. Dalam hal ini, para puppeter telah berhasil “menghidupkan” pelbagai karakter boneka sehingga menghasilkan perasaan bahagia hingga panik dari Wehea dan serangga kepada penonton. Kendati PPT berhasil menghipnotis penonton dengan visual pertunjukan yang memukau, PPT hampir terjebak pada sajian yang melenakan. Beruntung narasi kerusakan hutan ditempatkan sesuai pada porsinya. Ia tidak ditempatkan lebih, ia juga tidak ditempatkan kurang, semua sesuai dengan sudut pandang anak kecil menjadi pintu masuk melihat fenomena.
Dari pertunjukan ini, PPT ingin menyadarkan bahwa Wehea adalah kita. Wehea mewakili rusaknya persahabatan antara alam dan manusia. Ia mewakili makhluk hidup yang terasing karena kerusakan alam. Menurut hemat saya, PPT telah menguliti Ekologi dengan cara yang berbeda. Sesederhana anak kecil kehilangan kesenangan dan persahabatan pada alam, begitulah kita kehilangan harmoni pada bumi yang kita tinggali. Jangan-jangan kita perlu meminjam kaca mata yang sering kita sepelekan untuk melihat suatu persoalan secara lebih jernih. Tidak dengan dalih komoditas dan kemajuan, juga tidak dengan keilmuan menara gading, tetapi dengan cara yang sederhana, yakni sudut pandang bocah yang hanya ingin bersahabat dengan alam di mana ia tinggal.[]
- Tumbuh dan Mekar dari Ceruk tak Berdasar : Catatan atas “Ra Hina” — Kinanti Sekar di ISI Yogyakarta - 30 September 2023
- Ingin Menggugah Tapi Mengganggu : Catatan untuk “Waktu Batu – Rumah Yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di ArtJog 2023 - 15 Juli 2023
- Bertemu Rianto, Menjelajahi Lengger : Catatan dari Melbourne - 10 Juni 2023