fbpx
Jumat, April 19, 2024
ULASANPanggung Tari

No. 60: Perjalanan Panjang Pichet Klunchun yang Membuahkan

[Michael HB Raditya]. Tidak butuh waktu lama untuk menyita perhatian penonton. Setelah lampu padam, sebuah instalasi berwarna emas seluas panggung dengan lingkaran besar di bagian tengah yang menggantung naik perlahan. Pada sebuah layar di bagian belakang panggung, gerak dasar tari klasik Thailand, Khon, tampil laiknya slide show. Deretan gambar itu terlihat kontras dan mencuri fokus pada lampu yang temaram. Bersamaan dengan itu, dua orang penari berpasangan memasuki panggung. Penari laki-laki menyebut salah satu nomor gerak dasar, sementara slide show menampilkan nomor gerak yang disebutkan. Alih-alih hanya gerak, di setiap nomor gerak terdapat diagram yang berisikan jangkauan gerak dan telaah filosofisnya. Dengan wajah datar, sang penari memeragakan gerak tersebut. Sementara beberapa waktu setelahnya, suasana menjadi berbeda, ketenangan berganti dengan ketidakteraturan, chaos. Gerak-gerak tadi kembali diperagakan tetapi dengan realitas yang berbeda, di mana hafalan bukan segalanya, melainkan ekspresi serta interpretasi yang jangan-jangan justru dibutuhkan.

Di atas adalah potongan dari pertunjukan tari kontemporer dengan tajuk “No.60” dari seorang koreografer kontemporer asal Thailand, Pichet Klunchun. Karya ini berangkat dari refleksinya atas perjalanan panjang akan tari klasik Thailand yang ia pelajari. Bayangkan saja, riset ini telah berjalan dua dekade atas tari Khon. Dari penelusurannya, Pichet “bermain-main” dengan 59 gerakan dasar yang wajib dikuasai oleh para penari klasik Thailand. Lebih lanjut, koreografer yang bermukim di Bangkok ini mengkritisi transmisi 59 gerakan dasar tersebut yang lebih mengandalkan hafalan ketimbang ekspresi dan interpretasi personal. Padahal, bagi Pichet tarian Thailand tidak hanya sekadar rutinitas fisik dan gerak, melainkan mempunyai filosofi tersendiri pada tiap geraknya. Atas dasar itu, Pichet memberikan catatan dan membuat diagram setiap gerak dasar untuk dipelajari secara lebih rasional dan terbebas dari beban mistis dan glorifikasi yang sengaja diamini oleh sebagian orang.

Lantas dalam mewujudkannya dalam durasi 60 menit, selain menjadi koreografer dan direktur artistik, Pichet Klunchun juga menarikan langsung karya tersebut bersama Kornkarn Rungsawang. Sementara itu, Zai Tang melakukan sentuhan pada tata bunyi dan musik; serta Jui Hsuan Tseng melakukan penataan cahaya. Pada karya ini, Tang Fu Kuen membantu Pichet sebagai dramaturg di dalam karya. Selain itu, karya ini diproduseri oleh Sojirat Singholka dengan manajer produksi oleh Cindy Yeong. Sedangkan co-produser pada karya ini adalah Esplanade – Theatres on the Bay, Singapura. Untuk pementasan, work in progress dari karya ini sudah dipentaskan pada Oktober 2019 silam di Singapura, sementara pentas perdana dunia dari karya ini dipertunjukkan di TPAM 2020 di Yokohama, Jepang. Karya yang dipentaskan pada kategori TPAM Direction ini dihelat selama dua hari pada 15 dan 16 Februari 2020 di Hall, KAAT Kanagawa Arts Theatre, Yokohama. Ketika itu saya berkesempatan untuk menyaksikan pertunjukan di hari terakhir pementasan (16/2).

BACA JUGA:  (Percakapan) Pendekatan Matematis dalam Another Body - Another Space - Another Time
Menyempurnakan 59 Gerak Dasar Tari Khon

Benar adanya jika Karya “No.60” adalah relfkesi kritis Pichet Klunchun atas tari tradisional Thailand, yakni tari Khon. Alih-alih Pichet menjadikan karya ini sebagai vis a vis antara tradisi dan kontemporer, bagi saya karya ini justru menjadi penyempurnaan atas transmisi dari pembelajaran 59 gerak dasar tari klasik Thailand. Pasalnya Pichet tidak “mengolok-olok” tradisi yang ia punya, melainkan memberikan tawaran untuk memahami karya tersebut di era kini. Hal yang lebih menarik, Pichet mengkritisi hal tersebut dari sikap pembelajaran yang kerap mengandalkan hafalan ketimbang ekspresi dan interpretasi dari peserta belajar. Berangkat dari ihwal tersebut lah sebuah karya bertajuk “No.60” tercipta.

Sedari penonton memasuki arena pertunjukan, “No.60” sudah menyita perhatian. Pasalnya sebuah instalasi berwarna emas dengan kontur yang tidak beraturan menggantung membentang di arena panggung. Pada bagian tengah instalasi menyisakan ruang kosong berbentuk lingkaran mendatar. Ketika pertunjukan dimulai, instalasi tersebut perlahan naik ke langit-langit panggung. Hal ini tentu memberikan efek tersendiri di tengah lampu yang temaram. Pada awalnya saya mengira bahwa instalasi tersebut hanya digunakan untuk memberikan efek spectacle semata, tetapi ketika instalasi tersebut kembali turun hingga menyisakan bagian perut dan kaki para penari pada bagian tengah pertunjukan, segera saya pahami bahwa instalasi tersebut merupakan representasi dari kekuasaan yang terus langgeng. Semakin tinggi kuasa maka tunduk bukan ihwal yang sulit, maka itu pada bagian awal hingga tengah, Pichet dan Kornkarn hanya menghafal akan gerak demi gerak yang mereka sebutkan. Namun ketika kekuasaan tersebut goyah dengan realitas yang sebenarnya, di mana timbul kecemasan dan chaos, maka hafalan bukan sepenuhnya cara tunggal, melainkan ekspresi dan interpretasi—yang kerap ditumpulkan—menjadi cara lain untuk memahaminya.

Sementara di awal instalasi tersebut naik ke langit-langit panggung, samar-samar terlihat sebuah layar di bagian belakang panggung. Layar tersebut mengilustrasikan beberapa penari tari klasik terkemuka. Selanjutnya Pichet dan Kornkarn berjalan perlahan ke tengah panggung. Pichet menyebutkan salah satu nomor gerakan dengan lantang, sedangkan layar menampilkan gerak dasar tersebut. Penari berpasangan tersebut lantas memeragakan gerak dasar tersebut. Setiap gambar akan berubah setelah salah seorang penari menyebutkan nomor tertentu dan memeragakannya. Begitulah cara “main” dari bagian awal pertunjukan, sesederhana menampilkan slideshow dan penari memperagakannya. Di sini, Pichet memberikan pesan tersirat bahwa gerak tari tersebut lebih kerap dihafal ketimbang dipahami secara mendalam. Sebagai gantinya, Pichet juga menampilkan diagram dari pose tersebut yang dilengkapi dengan jangkauan tubuh atas gerak tersebut (laiknya cakra tubuh) dan elemen yang terkandung pada tiap gerak. Semisal pada gerak nomor 14 berisikan softness, to organise, absolut, unsatble, dan lain sebagainya. Tawaran Pichet inilah yang menjadi menarik ketika tari tradisi tidak lagi bukan soal hafalan, melainkan soal akal sehat. Hal itu jugalah yang membuat Pichet tidak menampilkan nomor gerak secara berurutan, melainkan sesuai dengan diagram dan elemen gerak yang terkandung di dalamnya.

BACA JUGA:  Itu Perputaran Siklus, Bukan Rotasi : Catatan atas “Tatengghun Nemor” — Kamateatra di BWCF ke-12

Tidak hanya itu, Pichet juga menguji beberapa gerak dasar tersebut pada keadaan yang berbeda, di mana kecemasan dan ketidakjelasan ada di depan mata. Instalasi berada di antara mereka menandakan keadaan tidak baik-baik saja. Bunyi sirene hingga saling berkejaran penari wujudkan sebagai sebuah kenyataan yang ada. Pun Zai Tang merancang musik yang berbeda pada bagian tengah hingga usai dari pertunjukan, di mana di awal bunyi ketenangan dan instrumen tradisi, sementara di bagian tengah ke belakang dengan suara yang lebih beragam, mulai dari beatbox, noise, hingga sirene. Perbedaan suara tersebut tentu mendukung kontras antara dua kondisi yang berbeda. Di mana chaos pada dunia kita lebih kerap terjadi, dan bagaimana tubuh dari penari dihadapkan dengan situasi yang lebih rumit. Maka di dalam karyanya, sesekali mereka melakukan gerak dasar tetapi lenyap begitu saja. Padahal melalui diagram dan susunan unsur yang terkandung di tiap gerak sebagaimana Pichet tawarkan justru menjadi logis untuk dilakukan di masa sekarang. Singkat kata, realitas yang terjadi di kehidupan tidak sepenuhnya soal hafalan dan ihwal mengamini, melainkan soal ekspresi dan interpretasi sebagai reaksi juga refleksi dalam “bermain-main” dengan kehidupan itu sendiri.

Jika disadari semua catatan saya berujung pada pesan yang sama, yakni soal hafalan versus interpretasi. Di situlah Pichet memberikan perhatian lebih atas apa yang menurutnya penting untuk digaris-bawahi. Dengan dramaturgi yang simpel tetapi tepat guna, karya ini berhasil menyampaikan pesan tersebut secara implisit tetapi dapat diterima ketika menyaksikannya. Kendati demikian, menurut hemat saya, nomor gerak yang dipresentasikan terlalu melenakan mata sehingga ketika transisi pada bagian tengah ke belakang terasa mengagetkan. Jika yang diinginkan Tang Fu Kuen dan Pichet menstimulasi penonton untuk berpikir maka hal tersebut berhasil, tetapi jika yang diinginkan sebaliknya, maka nomor gerak terakhir perlu dipertimbangkan. Terlepas dari itu, karya ini merupakan ejawantah akan sikap Pichet terhadap tradisi, yakni mengkritisi dengan akal sehat. Namun bukan serta merta Pichet tidak mempercayai tradisi yang ia punya, justru dengan penelusurannya ia membuat tradisinya menjadi begitu bernilai. Sesederhana diagram nomor ke-60 mewakili semua unsur filosofis tiap gerak yang menggambarkan sinergi antara tubuh dan semesta.

BACA JUGA:  Membaca "Tubuh Malang-an dan Tubuh Jawa Timur-an" Dalam Sajian Koreografi Kontemporer.

Itulah yang dicapai “No. 60” dalam menarasikan tradisi dengan cara kontemporer a la Pichet. Hasil dari riset yang panjang tidak pernah ingkar. Dua dekade penelusuran dan penelitian mengenai tari Khon telah membuat karya “No.60” mempunyai posisi tawar yang penting untuk tari kontemporer dan tari tradisi Thailand. Karyanya seakan menyempurnakan tari Khon yang ia telisik selama ini, cukup dengan menyaksikan pertunjukannya saya diajak menelusuri ruang yang berbeda sekaligus, yakni tradisi dan inovasi, serta masa lalu dan masa kini.[]

: gambar feature oleh Jaturakorn Pinpech. sumber: https://tpam.or.jp


Donasi untuk gelaran.id

Michael HB Raditya

Michael HB Raditya

Penulis buku kritik seni pertunjukan yang bertajuk Merangkai Ingatan Mencipta Peristiwa: Sejumlah Tulisan Seni Pertunjukan (2018). Bekerja di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, UGM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *