Pagi yang Bening, Cinta yang Hening : Ulasan “Pagi yang Bening” -Teater STEMKA di Linimasa #5
[Raihan Robby]. Dalam salah satu bukunya Pada Masa Intoleransi (2017) Goenawan Mohamad menautkan ucapan seorang linguis yang mengatakan bahwa lidah orang Indonesia tidak terbiasa mengungkapkan perasaan cinta lewat kata-kata. Ekspresi ungkapan cinta “I love You” yang langsung dan tak berkesan itu barulah timbul melalui budaya tontonan Barat yang merasuk ke dalam masyarakat kita.
Kini, bentuk ungkapan cinta itu terkesan mewakili segala perasaan si pecinta, dan menjadi hal yang berterima dalam masyarakat kita yang haus akan ucapan cinta. Konsep pengucapan “cinta” sendiri adalah bawaan dari Barat, “cinta” menjadi sebentuk pelemasan oral sehingga hal yang verbal akan luwes keluar dari sana, maka terjadi tegangan dalam “tubuh orang Indonesia” yang terbiasa memahami cinta melalui lakuan, melalui gerak tubuh bersama.
Hal ini pula yang dirasakan oleh Laura dan Gonzalo, sebab sepasang manula itu, telah sama-sama berada dalam fase “cinta yang tak diucapkan” dan “tubuh yang selalu ingin bersama”, penggambaran keduanya begitu intens dan karib dalam naskah Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvaros Quintero, atau yang lebih dikenal sebagai Quintero Bersaudara, mereka menulis Manana de Sol pada tahun 1905, untuk menulis naskah drama komedi mereka memang ahlinya, dan penerjemahan yang dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono begitu puitis juga dekat dengan konteks Indonesia, kedekatan itu meski tak sepenuhnya disadur dalam konteks Indonesia, bahasa yang digunakan Sapardi cukup menggambarkan bagaimana komedi dan suasana Spanyol yang dibawakan oleh naskah asli itu. Naskah ini dipentaskan dalam konsep realisme lentur oleh Teater Stemka dengan sutradara Landung Simatupang dalam gelaran Festival Teater Yogyakarta : Linimasa #5.
Beberapa kali saya menonton pementasan Pagi Bening, yang dipentaskan oleh kelompok teater lain. Alih-alih menawarkan sesuatu, kebanyakan pertunjukan tersebut menjadi ornamen disorientasi identitas. Sebab mereka tidak menyadari ruang, waktu dan tubuh mereka sendiri, yang terjadi adalah kekakuan, ketanggungan, dan disiplin tubuh yang terasa sekali pemaksaannya dalam menuju tubuh luar (meniru tubuh Barat). Disorientasi ini terjadi dalam titik tertentu, mereka ingin setia pada teks yang memang diterjemahkan (dan disadur) dengan baik oleh Sapardi, tetapi tidak menyadari bahwa tubuh mereka pun adalah teks yang harus bernegosiasi dengan teks-teks lain. Tubuh seorang aktor mempunyai kesejarahan, tegangan politis dan ruang yang menjadikan ia tubuh orang Indonesia.
Disorientasi ini tidak begitu menonjol dalam pertunjukan Teater Stemka, selayang pandang pengelihatan saya, mereka cemerlang menggabungkan komedi ala Barat dengan tubuh orang Indonesia-nya, barangkali inilah capaian yang diinginkan, membentuk ‘realisme lentur’ yang tak hanya mengundang tawa, tetapi menghadirkan konteks Spanyol dalam naskah Pagi Bening, namun jika dilihat lebih mendalam lagi berhasilkah pertunjukan itu melenturkan ruang, kosmik dan jiwa?
Terdengar lirih dan merdu suara biola berpadu dengan piano, nuansa Spanyol mencoba dihadirkan melalui musik yang membuat penonton terhipnotis, posisi pemusik yang berada di panggung menjadi konsep kelenturan itu sendiri, seakan-akan pemusik tengah menjadi bagian dari setting panggung yang berupa taman dengan pohon, tanaman-tanaman, dan bangku taman, namun ada yang menarik, proyektor kecil menampilkan air mancur, penonton dibuat terbuai dengan tempo yang lambat itu, tempo yang menarik diri penonton untuk berada dalam konteks taman di Spanyol.
Dona Laura (diperankan oleh Ami Simatupang) berjalan sewaktu pagi hari di pematang taman bersama Petra selaku Gadis Pembantu, ia selalu mengunjungi dan duduk di bangku taman yang telah menyimpan sejarah tubuhnya itu, ia mempersilahkan Petra untuk menemui kekasihnya si tukang kebun taman. Sementara Dona Laura asik saja berbincang dengan merpati-merpati yang berebut memakan remahan roti yang ia bawa, di panggung, noise dan imajinasi penonton seakan membayangkan bahwa memang ada merpati-merpati yang datang, terbang dan hinggap di pohon. Mata penonton mengikuti ke mana mata Dona Laura itu bercakap dengan merpati. Sebelum akhirnya datang Gonzalo (Yustinus Yantoro) seorang lelaki yang telah berumur dan Juanito selaku pembantunya yang secara tidak sengaja membuat merpati-merpati Dona Laura pergi.
Baik Dona Laura maupun Gonzalo, sebenarnya mereka memiliki kesamaan: mencari bangku di taman untuk menyendiri, namun Gonzalo tak menemukan bangku yang kosong selain yang ada di samping Dona Laura, mereka berdebat, bertengkar kecil, saling sindir, sementara dua pembantu muda mereka tengah dimabuk asmara menemui kekasihnya masing-masing. Peristiwa di bangku taman itu yang semula memiliki tensi tinggi, tiba-tiba mereda saat Gonzalo memberikan obat bersinnya ke Dona Laura, tanda umur dan penyakit yang mengikuti mereka berdua menjadi kendala selama ini. Selanjutnya Gonzalo membaca sajak-sajak dari penyair Ramón de Campoamor dengan kaca pembesar. Aktor Yustinus Yantoro membacakan puisi layaknya deklamasi dengan suara yang dalam dan menggelegar.
Alih-alih terpukau oleh pembacaan puisi itu Dona Laura justru menganggap apa yang dilakukan Gonzalo sebagai sesuatu yang lucu, sebab untuk membaca saja ia perlu kaca pembesar, ejekan-ejekan Laura semakin membuat Gonzalo merasa takjub, Laura bahkan hapal sajak-sajak dalam buku itu, dari kesamaan hingga kesukaan kecil itulah membuat mereka masuk ke dalam obrolan yang lebih dalam, mereka saling bernostalgia tentang Villa Maricela di mana menyimpan kisah yang terkenal, cerita tentang sepasang kekasih yang tak sampai. Sebenarnya, mereka berdualah tokoh asli kisah cinta Villa Maricela itu, yang di dalam cerita itu Dona Laura adalah “perempuan bagai perak” yang dikagumi oleh Gonzalo, dan Gonzalo sendiri dikenal sebagai “si pecinta yang jago duel”, namun di taman itu, keduanya tak mau mengakui bahwa mereka dipertemukan kembali dalam takdir yang magis itu.
Ketika sedang bernostalgia dan membayangkan masa lalu, layar proyektor yang semula menampilkan video air mancur berubah menjadi video seorang gadis yang menanti di balkon villa dan seorang lelaki menunggangi kuda melempar bunga kepada gadis yang menanti itu. Seolah-olah proyeksi video itu menjadi dimensi yang lain, dengan tata cahaya yang berubah, hingga menimbulkan kesan bahwa apa yang ada di proyeksi video itu merupakan ingatan mereka, merupakan masa lalu yang “jelas” terlihat dan “berulang”.
Entah apakah konsepsi proyektor yang menampilkan video nostalgia itu membantu imajinasi penonton, atau justru membatasinya, sebab penonton dapat memiliki persepsi masing-masing bagaimana gambaran muda dan cantiknya Dona Laura serta gagahnya Gonzalo, bagaimana romantisme cinta mereka yang pada akhirnya tak dapat bersatu. Barangkali kelenturan dari realisme yang ingin dibangun cukuplah dengan pembawaan konteks Spanyol secara cair melalui musik, setia pada naskah, hingga mempermainkan imajinasi penonton seperti yang Dona Laura lakukan dengan burung merpati dan Gonzalo dengan keburaman pengelihatannya mencari bangku taman yang kosong.
Seperti pada bagian “Sihir Teater”-nya Afrizal Malna dalam buku Teater Kedua, ia menulis:
“Ketika mata seorang aktor terbuka ke arah penonton, mata itu sudah menyampaikan sebuah dunia sebelum ia memulai peranan yang akan dimainkannya. Ia tidak bisa meniadakan dunia itu dari matanya. Penonton bisa melihat dunia itu dari mata aktor. Tapi aktor itu sendiri tidak bisa melihatnya, mungkin juga tidak mengerti dunia seperti apa yang disimpan oleh matanya. Dunia yang terbentuk oleh berbagai pengalaman, kesedihan, kesepian, kerinduan kepada sesuatu yang tidak ada namanya. Dunia yang membuat seorang aktor berada pada batas ambang kepada siapakah ia harus bertanya: peran apa yang lebih mewakili kemampuannya sebagai aktor, kepada dirinya sendiri? Bertanya kepada sutradaranya, atau kepada ibu yang telah melahirkannya? (Malna, 2019:6)
Dengan cara memandang seperti itu, maka mata penonton mempunyai kebebasan yang terasing agar dapat memasuki sebuah dunia yang kompleks dalam mata aktor sebagai manusia yang menyimpan identitas diri, kenangan personal, pun sebagai mata pemeran yang turut mempunyai dunianya sendiri, seperti masa lalu Dona Laura dan Gonzalo. Benar, bahwa masa lalu itu milik mereka berdua, namun pengimajinasian masa lalu biarlah menjadi wilayah penonton, dunia di dalam dunia yang lebih kompleks dan rumit, namun indah untuk ditelusuri.
Lantas, apakah Dona Laura dan Gonzalo mengakui bahwa apa yang sedari tadi mereka nostalgiakan adalah diri mereka masing-masing? Tidak. Mereka tetap mengheningkan cinta mereka, sebab mereka telah sama tua, dan cinta yang berangkat dari masa lalu agaknya bukan sesuatu yang mesti diulang kembali, namun, mereka tetap berjanji untuk bertemu kembali di bangku taman itu untuk pagi-pagi bening dan cinta hening yang lain.
Pementasan ditutup dengan kembalinya para pemain dan tim artistik ke atas panggung memperhatikan musik taman yang memang menakjubkan itu sampai selesai, di sana juga terdapat Landung Simatupang sang sutradara yang di awal pertunjukan telah muncul sebagai kameo, adegan akhir ini menggambarkan kembalinya pula Teater Stemka yang memang telah lama “vakum”, mereka bereuni, dan mengingat kembali momentum bersama itu melalui jalan teater.
Agaknya apa yang ditawarkan oleh Teater Stemka, dalam melenturkan ruang, kosmik dan jiwa di dalam pementasan “Pagi yang Bening” patut kita apresiasi, pertunjukan ini menjadi dekat dengan teks dan konteks karena dua aktor utama Ami Simatupang dan Yustinus Yantoro memanglah telah cukup berumur, tubuh mereka pun bergerak layaknya tubuh organik yang tidak perlu “ditua-tuakan”, sisi hening cinta pun dapat mereka olah hingga menyisakan keheningan yang lain di benak penonton. Di tengah masyarakat yang haus akan ucapan cinta, Teater Stemka mengingatkan kembali bahwa kata-kata tak cukup untuk menjelaskan segalanya, bahkan cinta itu sendiri.
Sudah baca yang ini?:
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024