Senin, Maret 17, 2025
Panggung TeaterULASAN

Narasi Tunggal dan Resistensi : Pertunjukan “Sst…ate” oleh Sanggar Prematur pada Pembukaan Pameran Topeng Batin Manusia

"Rupanja mereka itu tak tahu bagaimana suatu simfoni dimainkan oleh suatu orkes! Konser simfoni tidak bisa terdjadi tanpa individualitet, tetapi konser simfoni juga tidak bisa terdjadi tanpa harmoni, jang hanja bisa ada karena ada pimpinan, karena ada disiplin. Individualitet dan harmoni bukanlah hal jang harus bertentang2an, kebebasan pribadi dan disiplin bukanlah hal jang harus bertentang2an!"

Kata-kata tersebut disampaikan oleh Joebaar Ajoeb, sekretaris umum Lekra, di Kongres Lekra Pertama di Solo. Ia mengatakan demikian, untuk menyangkal omongan orang bahwa Lekra adalah organisasi kebudayaan yang membunuh ekspresi individu.

Bagi saya ini adalah sebuah pandangan buram—kalau bukan meleset. Gerak kebudayaan tidak pernah bekerja serupa simfoni. Mesin kebudayan berputar tanpa pemimpin-pengarah. Pemimpin yang berlagak menunjukkan jalan—belum lagi memaksakan, malah membuat tekanan, juga konflik. Pertikaian menolak narasi tunggal hanya dapat dimenangkan sang pemimpin fasis dan yang menolak harus dibuat jadi bisu, atau koit.

Itu yang saya lihat pada pertunjukan “Sst…ate” yang dibawakan oleh Sanggar Prematur pada pembukaan Pameran Topeng Batin Manusia oleh Khoirut Mutakin. Pameran dan pertunjukan pembukaan tersebut dilaksanakan di Studio Mendut, Magelang pada sore 1 Februari 2025. Pertunjukan Sst…ate ini membersamai beberapa pertunjukan lainya, dengan tiap-tiap pertunjukan menampilkan unsur topeng sebagai objek pameran.

Gambar WhatsApp 2025 02 04 pukul 13.28.41 fbc1710d | Narasi Tunggal dan Resistensi : Pertunjukan “Sst…ate” oleh Sanggar Prematur pada Pembukaan Pameran Topeng Batin Manusia

Pada mulanya seorang lelaki bermain gitar dengan nada-nada ringan. Namun dengan seketika, datang seorang dari belakang yang membawa lakban merah. Ia gunakan lakban merah itu untuk mengikat sekujur tubuh pemain gitar itu, hingga sang pemain gitar sulit bergerak, sulit melanjutkan iramanya. Tidak cukup hanya mengikat pemain gitar dengan lakban, pelakban dengan begitu memaksa mengangkat kursi dan mengikatnya di pundak sang pemain gitar, hingga tersungkur tunduk dan kesulitan bermain gitar.

Kemudian datang datang seorang perempuan bermain saksofon. Seperti yang sudah terjadi pada pemain gitar sebelumnya, saksofon dan tubuh perempuan itu turut dilakban. Saksofon yang mulanya melantun indah, kemudian menjadi terompet tahun baru murahan dengan mulut yang sudah tertempel lakban tersebut.

BACA JUGA:  Diskusi Buku "Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan"

Kedua pemusik tersebut sedari awal hanya berlagu yang indah-indah saja, tidak pernah muluk. Hingga mereka dibungkam pun lagu yang mereka coba bawakan tidak sekalipun berganti menjadi permintaan tolong atau mengiba. Sungguhpun sudah jadi parau, seperti anjing yang kurang makan menyalak, musik terus berlanjut tidak mengindahkan pelakban beserta laku kejinya.

Gambar WhatsApp 2025 02 04 pukul 13.28.41 da8fd77b | Narasi Tunggal dan Resistensi : Pertunjukan “Sst…ate” oleh Sanggar Prematur pada Pembukaan Pameran Topeng Batin Manusia

Bagi saya ini semacam resistensi. Manusia terlalu tinggi kedudukannya untuk memohon ampun, sebab dengan begitu didapatkan pembenaran atas kelakuan orang yang salah. Perlawanan, sungguhpun hanya dinilai sebagai pukulan, sentilan, atau angin lalu untuk terus dilakukan.

Gitar, musik, dan saksofon, segalanya bertautan sebagai suara–kadang bahasa. Ia acap jadi bahan emansipasi, acap juga perangkat pembangkangan. Tetapi musik gitar dan saksofon—sebagaimana halnya bahasa, adalah kejadian sehari-hari. Ia begitu dekat: dimainkan di angkringan tempat nongkrong, dipentaskan di pernikahan dan diputar di gawai saat bersantai. Ia adalah narasi, wacana dan ide yang sporadis tersebar. Lantas ketika ia menjadi sebuah senjata, semacam ketapel Daud yang diarahkan pada Goliath, para pemberi aturan tersebut berubah awas.

Lakban merah pun jadi pembungkus upaya-upaya kontra mereka tersebut. Tidak bisa tidak, saya membayangkan lakban tersebut, mengacu pada konsep Althusser, sebagai aparatus ideologi. Bahkan dalam kondisi ekstrim, merupakan aparatus represif milik negara. Aparatus itu beroperasi untuk mengamankan kekuasaan yang telah mapan. Juga sedari mulanya, pelakbanan kedua pemain musik tersebut sudah menampakkan wujudnya yang agresif, dan puas saat musuhnya sedikit demi sedikit habis. Kebengalan tersebut, direncanakan maupun tidak, telah terdesain untuk diinternalisasi.

Orang yang baru sedikit membangkang, yang telah menginternalisasi nilai kepatuhan, kemudian jadi merasa bersalah akibat pembangkanganya. Orang yang ada pikiran untuk bersuara, lantas mengurungkan niatnya dan memilih baik diam. Tetapi tanpa para opresor itu sadari, secara menawan berhasil ditampilkan di pertunjukan ini, mereka pula pun jadi ikut menginternalisasi. Bagi mereka memberi tekanan dan menginjak tengkuk orang menjadi suatu fetish. Pemenuhan terhadap birahi represif mereka tersebut, berganjar kenikmatan apabila terpenuhi.

BACA JUGA:  Hijra’h : Lengger Bersarung
Gambar WhatsApp 2025 02 04 pukul 13.28.42 287ecff9 1 | Narasi Tunggal dan Resistensi : Pertunjukan “Sst…ate” oleh Sanggar Prematur pada Pembukaan Pameran Topeng Batin Manusia

Di akhir keadaan kian mencekam dan mencapai komplikasinya, datang seorang membacakan puisi. Ia berbaju biru muda—barangkali semacam permainan simbol. Puisi ia bacakan dengan lantang, sedang para pemain musik makin susah mengeluarkan suara, makin susah ruang geraknya. Kedua pemusik tersebut dilakban kelindan. Mereka diringkus, sedang pembaca puisi tidak berhenti. Pelakban dan pembaca puisi mulai mengenakan topeng antagonis.

Pada kejadian seperti itu—kedua pemusik sudah tersungkur, seorang dengan baju biru muda, praktis tampil menjadi agen utama. Ia berdiri sendiri di atas pelakban dan kedua pemusik. Puisi-puisi yang dibacakanya adalah narasi tunggal, sedang lain musti ikut. Ketunggalan tersebut—ketika ditantang, memilik aparat yang taat dan enggan bertanya, apalagi berpikir otonom untuk datang menggilas.

Pertunjukan ini berakhir tragis, perlawanan terus menerus merosot kalah, dengan akhir kemenangan orang-orang lalim. Pertunjukan berakhir dengan suara musik yang lambat laun makin hilang, berakhir senyap. Keadaan yang kian lama kian merosot kalah ini serupa dengan kekalahan pemberontakan rakyat atas serdadu sekutu dalam cerpen Surabaya-nya Idrus.

Pada cerpen Idrus tersebut, perlawanan yang tidak pernah ada sisi baiknya, malahan membuat jiwa jadi mundur dan nilai jadi terjun bebas. Surabaya-nya Idrus, mengikuti penilaian Pram, adalah cerita tentang debu dan sampah perjuangan “yang menyakitkan mata dan hati.“ Sungguhpun begitu, pertunjukkan ini berbeda pada sisi yang lain. Kekalahan terus menerus itu bukan untuk bahan lawak atau olok-olok. Ia tetap, dalam mengontraskan kejam kebengisan, menunjukkan luhur perlawanan. Pertunjukan “Sst…ate” tidak menjadikan kita urung niat dan balik arah karena takut duluan, alih-alih ia malah membongkar kesucian dan keagungan narasi tunggal yang sok mahabesar-mahakuasa. Ia memberi tahu kita untuk tidak terpesona, apalagi takluk. Sebab ada sipilis pada vitalisme sang dominan, sipilis hasil pemenuhan birahi mereka untuk menginjak-injak dan membungkam.

BACA JUGA:  Stroberi, Metonimi, & Upaya Karangdunyo Mencari Dunia Selain Sini dengan Ruter Wifi
Sectio Agung

Sectio Agung

Sekarang sedang belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta program studi Tata Kelola Seni. Penulis tertarik dalam bidang filsafat, kuratorial dan kritik seni.