Jalan Menuju Suwung: Negosiasi dan Transformasi Diri | Ulasan “Ray of Soul”– Komunitas Seni Bajra di Linimasa #5
[Raihan Robby]. Ketika mendengar suara dalam diri, siapa sebenarnya yang berbicara kepada kita? Hati, jiwa, atau pikiran? Dan dari mana datangnya suara itu, diri kita sendirikah yang berbicara, atau adanya ‘suara lain’ yang menyerupai suara dalam diri kita?
Pertunjukan “Ray of Soul” ditulis oleh Danang Rajiev Setyadi dan disutradarai oleh Bayu Aji Nugraha bersama dengan Komunitas Seni Bajra menjadi penutup gelaran Parade Teater Taman Budaya Yogyakarta LINIMASA #5, pada 25 Oktober 2022. Secara keseluruhan, pertunjukan ini membawa napas eksistensialisme, pertanyaan-pertanyaan tentang manusia yang tak akan pernah berakhir, pertanyaan-pertanyaan tentang absurditas hidup, menuju (atau mencari) cahaya jiwa. Dengan semangat lintas disiplin, pertunjukan ini menggabungkan berbagai macam bentuk, seperti seni tari, pewayangan, musik, lampu hingga monolog yang membentuk irisan-irisan pertunjukan menjadi meriah.
Di awal pertunjukan seorang aktor mengenakan kemeja pantai, dan ia seperti tengah duduk di beranda depan rumah, melakukan aktivitas santai: menyalakan rokok dan meminum sesuatu dari cangkir. Telinga penonton telah penuh oleh suara gaung yang seolah menciptakan dimensinya sendiri, dimensi yang asing.
Terdengar bunyi flute yang mendayu-dayu, namun tak hanya satu flute, melainkan ada dua bunyi flute yang menimbulkan kekontrasan, satu dengan nada rendah, satu lagi dengan nada tinggi, di titik ini, bunyi dari flute menciptakan identitas. Bunyi dari flute menjadi “suara di dalam kepala” dari aktor yang di awal pertunjukan mengenakan kemeja pantai, menjadi pakaian putih-putih menyeluruh.
Aktor itu (Seteng Yuniawan), bermonolog dengan mengalir dan meyakinkan, ia mengajak penonton untuk turut berdebat tentang jati dan ego diri manusia. Pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme, yang ternyata di dalam bahasa Indonesia dapat terbentuk melalui pensubjekkan diri berupa kata ‘aku’, ‘saya’ dan ‘diriku’.
Seteng membicarakan negosiasi di dalam diri dengan padanan kata ganti orang pertama itu, ia pintar mengolah tempo, gerak tubuh dan penekanan-penakanan untuk menggambarkan bagaimana proses negosiasi itu berlangsung. Bunyi dari flute menjadi sesuatu yang liyan, yang mewakili padanan kata ganti orang pertama itu. Kekeosan terjadi saat masing-masing subjek diri merasa berhak untuk keluar dan berbicara kepada diri sendiri, bunyi dari flute dengan cemerlang membentuk distorsi yang memusingkan ini.
Namun, Seteng tetaplah pengendali atas dirinya, ia menampilkan bagaimana proses hidup manusia yang tak henti-henti bernegosiasi dengan jati diri dan ego manusia, Seteng dapat mengendalikan bunyi dari flute itu hingga bebunyian yang hadir menjadi merdu dan selaras, padanan kata ‘aku’, ‘saya’ dan ‘diriku’, menjadi melebur ke dalam diri manusia. Singkatnya, aktor berhasil mengendalikan ego dirinya sendiri.
Pertunjukan tak hanya berpusat pada aktor, penonton diajak masuk ke dalam dimensi pewayangan, dengan musik yang juga menciptakan ruang, penggabungan antara musik tradisional dan musik barat juga digital, membentuk efek kompleks, meneduhkan sekaligus menggaung. Cahaya menyorot dalang yang berada di balik kelir besar dan menampilkan sosok Prabu Bisma, seorang raja dari negeri Astina yang tengah mengalami kecamuk, ia sebagai seorang pemimpin merasa perlu untuk dihormati dan cintai rakyatnya, namun situasi di masyarakatnya seakan tak sesuai harapan Bisma, rakyatnya tengah dilanda oleh wabah, dan para pejabat negeri Astina yang narsistik.
Melihat Bisma menjadi lemah, Sengkuni menghasut dan seakan masuk ke dalam pikiran Bisma, suara Sengkuni menjadi suara dalam diri Bisma yang mengganggu. Bisma diminta untuk berlaku adil, dan berpihak pada rakyat, ia goyah sebab kecamuk bukan hanya terjadi di luar diri Bisma, melainkan juga di dalam diri.
Lantas, apa yang Bisma lakukan? Ia memilih bahasa diam, ia merenungi segala yang mungkin terlewat olehnya sebagai seorang pemimpin Astina. Konflik batin Bisma mencuat dari kelir besar pewayangan, penonton dapat melihat kegagahan dari Bisma (Okky Bagas Saputro) dengan tariannya. Tak hanya kesadaran tubuh, Bisma seolah menunjukan raut muka kebimbangannya. Kebimbangan dalam melerai konflik di dalam dirinya, konflik yang kompleks, ia sebagai seorang pemimpin dan sebagai seorang manusia.
Belum lerai konflik itu, kini muncul tiga orang wanita yang semula berada dalam bayang kelir pewayangan, wanita-wanita itu menari secara tradisi dan kontemporer dengan sangat indah, mereka mengerubungi Bisma. Mungkin, ketiga sosok penari wanita itu (Nurul Amalia, Novia Sapta, dan Jennifer Bella) berangkat dari teks pewayangan, sebagai salah satu irisan cerita yang dialami oleh Bisma. Mereka adalah Dewi Amba, Ambika dan Ambalika, tiga orang putri dari Prabu Darmamuka. Bisma seakan terus berkonflik dengan dirinya, ia berkonflik dengan wanita, barangkali Bisma mengingat sumpahnya dahulu kala, bahwa ia tidak akan pernah menyentuh wanita selama hidupnya. Sumpah yang membuat Dewi Amba tak dapat bersama dengan Bisma.
Dalam cerita pewayangan lebih jauh, entah sebagai dendam atau cinta, Dewi Amba mengucapkan sumpah bahwa akan menjemput Bisma di akhir dari hidupnya, jika memang mereka berdua tak dapat hidup bersama di dunia, maka dunia setelah kehidupan telah menanti mereka berdua. Dan saat perang Barathayuda pecah, dikisahkan bahwa Bisma mati melalui tangan Dewi Srikandi, seperti yang disumpahkan oleh Dewi Amba.
Tegangan cerita pewayangan dengan unsur yang ditonjolkan oleh Komunitas Seni Braja menjadi sepenuhnya kompleks, pemilihan karakter Bisma oleh sutradara pertunjukan, Bayu Aji Nugraha, menjadi penting. Sebab di sana ada narasi sejarah dari masa lalu Bisma yang bersumpah selama hidupnya akan menjadi brahmacarya, di satu sisi karakter Bisma menjadi konkretisasi dari gejolak konflik batin yang dialami manusia.
Semesta Suwung
Perpindahan yang cepat, jeda yang diciptakan, dan kuasa menjadi permainan dalam pertunjukan ini, yang saling mempengaruhi, saling memutuskan kehendak. Seperti saat aktor yang bermonolog dapat menghentikan cerita dari dalang, pun seperti halnya Bisma yang semula adalah wayang, dapat keluar dari kelir dan seakan menentukan ceritanya sendiri. Posisi dalang menjadi hilang, sebab para aktor dan tokoh itu, seakan enggan untuk ‘dikendalikan’ oleh dalang.
Pengaruh ini sampai pada bangku penonton, saat dua orang aktor teater, Agung Dwi Prakoso dan Mathroi Brilyan, saling berdebat berseberangan, memancing penonton untuk ikut memikirkan esensi dari fungsi manusia, yang bersosial, yang berkelindan dengan mahluk hidup lainnya. Tegangan yang terjadi adalah bagaimana pola-pola dalam hubungan antar manusia menjadi pragmatis, penuh intrik dan dogma, yang melesapkan ‘sinar jiwa’ di dalam diri.
Di akhir pertunjukan, aktor yang bermonolog itu kembali mempertanyakan hakikat diri kita sebagai manusia, siapa sebenarnya kita, apa yang kita cari, dan apa yang dapat kita perbuat dalam hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan eksistensialis yang terus terbentur di dalam kepala kita masing-masing, agaknya kita belum dapat menemukan ‘sinar jiwa’ itu, sebab untuk mencapai ke sana, butuh menempuh jalan yang berliku dan terjal, jalan yang mengharuskan kita menegosiasi dan mentransformasikan ego ke dalam “ketiadaan”.
Ketiadaan ini, dalam istilah masyarakat Jawa, tergambarkan dengan baik melalui “suwung”, yang secara sederhana, berarti mengalami perasaan hampa akan kesadaran diri dengan lingkungannya. Sudah tak ada lagi bentuk ‘aku’, ‘saya’ dan ‘diriku’, yang seolah terus berkonflik dalam diri, tak ada lagi fase memikirkan hal-hal yang bersifat “opini” dan “pendapat”, orang-orang yang telah mencapai taraf ini, lebih mengalami perasaan batiniah yang kuat, yang intuitif, yang murni tanpa hingar bingar suara orang lain. Barangkali di titik inilah, kita dapat menemukan kemurnian dari sinar jiwa itu.
Meski, penggabungan istilah-istilah dalam langgam Barat dan Timur, menimbulkan pertanyaan kembali, jiwa seperti apa yang ingin dibicarakan dalam pertunjukan ini? Jiwa yang bersifat batiniah, spiritualkah. Atau jiwa yang bersifat mental berkepribadian? Lapisan-lapisan itu yang menyelimuti diri manusia, hanya bagaimana cara kita meminjam istilah-istilah untuk menggambarkan ‘bentuk jiwa’ itu.
Kelompok Seni Bajra, dengan transformasi karakter, dan teks-teks di atas panggung setidaknya ingin mengajak penonton untuk menyelami diri sendiri, melihat dan merenungi bagaimana manusia selalu dipenuhi oleh konflik yang terus memburamkan ‘sinar jiwa’ ini. Sinar jiwa yang akan ketemu jika kita sebagai manusia menutup mata, dan mendengar suara sendiri. Suara yang menuntun kita menuju inti dalam diri, kehampaan dan keheningan yang tak membutuhkan alasan.
Sumber referensi:
1. H. Solichin, Suyanto dan Sumari. 2016. Ensiklopedi Wayang Indonesia: Edisi Revisi Aksara B-C. Bandung: Mitra Sarana Edukasi.
- Situs Pasar dan Beban Urban-Domestik Di Gendongan Buruh Perempuan : Membaca “Ganda” karya Valentina Ambarwati di Lawatari Yogyakarta - 6 Mei 2024
- Tandha’ Menatap Tayub : Membaca “Atandhang” karya Sri Cicik Handayani di Lawatari Yogyakarta - 5 Mei 2024
- Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara - 1 Februari 2024