Bagaimana Duka Ekologis Diungkapkan? : Catatan atas “Waktu Batu – Rumah yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di Artjog 2023
[Mohamad Ichsanudin Adnan]. Tirai panggung dibuka dengan sorot lampu yang bocor hingga ke luar medan pertunjukan. Sorot lampu yang dihasilkannya telah membentuk sebidang layer berbentuk miring, dimana segala objek material nampak terhampar di atasnya.
Lantas generator suara segera memunculkan rhythm yang diprogram layaknya simulasi game. Membawa para penonton pada menu pilihan yang akan membawa pada petualangan yang belum mereka sadari.
Ketika para penonton telah memilih opsi pilihannya, antara memulai sebuah petualangan baru atau malah meninggalkan panggung, maka munculah para karakter NPC (Non-Player Character) yang berhamburan ke setiap sudut pertunjukan. Sembari membawa perabotannya masing-masing, beberapa NPC berupaya merespon glitch-glitch yang diproyeksikan padanya, bahkan beberapa dari mereka cukup liar dengan keluar dari batas layer yang telah diprogramkan.
Setelah cukup menghadirkan para NPC dengan bahasa dan sistem laku mereka yang artificial, lantas para NPC membawa penonton pada sebuah petualangan baru. Dimana penonton dihadapkan pada rangkaian konflik dengan intensitas level yang beragam, mulai dari level gender, domestik, ekologi, hingga level terberat yakni peristiwa Watugunung, Sudamala, dan Murwakala.
Ketika masuk pada oase cerita, para NPC didapati membangkang pada serangkaian program yang dibebankan pada dirinya. Bahasa dan sistem laku mereka tidak lagi patuh pada kode pemrograman, dimana mereka mulai berani untuk berteriak, menangis, bahkan tertawa selayaknya manusia.
Aksi pembangakanan mereka lekas mendapatkan sorot dari mata kamera, dimana ruang privat hingga pakaian dalam mereka terproyeksi pada sebidang layer besar. Dari layer tersebut, para penonton bahkan dari bangku tatapan yang amat jauh bisa mengamati segala bentuk kegetiran dan emosi yang telah dirasakan oleh para NPC.
Waktu Batu #4: Rumah yang Terbakar
Pengantar di atas merupakan tukilan awal dari pertunjukan Teater Garasi yang berhasil menunaikan ibadah pentasnya di ART JOG pada 2 & 3 Juli 2023. Melalui pertunjukan tersebut, Garasi berupaya menghadirkan beragam isu berlapis mulai dari gender, duka ekologis, hingga mitologi dan sejarah Jawa.
Melalui tajuk yang ambisius “Silang Media”, Garasi berupaya menghadirkan tiga wahana (teater, sinematografi, game) sekaligus dalam satu medan pertunjukan. Alhasil pertunjukan mereka menjadi cukup segar, lantaran ketiga wahana tersebut nampak saling bertabrakan dalam proses penciptaan kreatifnya.
Saya sendiri tak pernah berhasil mendefinisikan jenis pertunjukan mereka, apakah yang telah saya tonton itu adalah game, film, ataukah sekedar teater? Karena pertunjukan mereka nampak telah menyalahi cara kerja dari ketiga wahana tersebut.
Ketidakberhasilan saya mendefinisikan jenis pertunjukan tersebut, merupakan konsekuensi dari cara pertunjukan disampaikan. Bayangkan bagaimana bisa seorang aktor berdarah daging yang memiliki seperangkat kesadaran nan kompleks, justru hadir dalam kode pemrograman layaknya NPC? Kemudian bagaimana bisa para penonton yang nyaman di bangku tatapannya memiliki kendali untuk menggerakan tubuh para aktor di atas panggung? Atau bagaimana bisa seorang kameramen mengambil gambar disaat aksinya tersebut justru disaksikan oleh para penonton?
Sejauh pengalaman saya sebagai penonton, fragmen yang paling membuat saya traumatis adalah ketika isu domestikasi perempuan dihadirkan. Pada fragmen tersebut, seorang NPC berlaku layaknya pakar di atas sebilah mimbar, sambari melayangkan mosi pada sistem domestikasi yang dibebankan pada dirinya.
Akan tetapi, upayanya untuk melawan order justru terganjal pada rengekan sang anak yang kelaparan dan meminta jatah makan pada ibunya. Anaknya terus saja merengek ketika sang NPC sedang khidmat berorasi di atas mimbar, hingga puncaknya ketika sang NPC tak sanggup meladeni anaknya, kemudian menamparnya dengan amat keras menggunakan panci.
Alhasil, tamparannya tersebut merubah seisi layer panggung menjadi bug. Dimana segala sistem dan kode pemrograman yang telah disusun mengalami kerusakan, sehingga memicu glitch-glitch hijau di sekitarnya. Tamparan tersebut menegaskan betapa kuat dan rapinya sistem domestikasi yang dibebankan pada perempuan, sehingga upaya melawan terhadapnya justru memicu adanya kerusakan yang cukup serius.
Trauma Kolonialisme
Jika melihat cara Garasi menunjukan model pengucapannya yang absurd sekaligus membingungkan, nampaknya penonton bahkan kritikus itu sendiri akan sepakat bahwa pertunjukan tersebut tidak perlu untuk dipahami, cukup untuk sekedar dinikmati.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ferdiansyah Tajib, bahwa Waktu Batu cukup dikenal sebagai bagian dari postmodern yang menolak pemaknaan, seraya mencukupkan pengalaman pada kenikmatan menonton itu sendiri. Namun bukankah posmodern sendiri justru gagap membaca realitas dunia ketiga seperti kita? Belum selesai dengan problem yang diwariskan oleh modernisme, justru masyarakat terjajah seperti kita dihadapkan pada postmodern yang malah makin mengaburkan permasalahan kita hari ini.
Sebatas mengupayakan “kenikmatan” pada WB, justru menempatkan pertunjukan tersebut tanpa wacana maupun gagasan apapun selain kebaruan yang ditampilkannya. Bahkan kekacauan yang dihasilkannya, hanya celotehan kosong yang lekas berlalu, ketika penontonnya beranjak dan kembali ke ruang domestiknya masing-masing.
Maka tawaran untuk melihat pertunjukan WB, mestilah dibaca sebagai konsekuensi logis dari trauma kolonialisme yang berlangsung secara domino. Meskipun secara faktual ia telah berakhir, namun modus operasinya telah berkembang dan menyusup melalui alam pikir kita.
Absurditas dan kebingungan kita menyaksikan WB dengan keberagaman isu, serta rangkaian konflik yang diungkapkannya, justru menegaskan bahwa kolonialisme modern masih mewariskan serangkaian problem yang luput dari kesadaran. Bahkan sulit rasanya membicarakan isu gender tanpa melihat konsekuensi logis dari problem ekologi, hingga mitologi masyarakat dunia ketiga hingga hari ini.
Melalui karakter NPC, mental-mental terjajah seperti kita telah dimasukan dalam kode pemrograman yang sistematis, sehingga ritme kehidupan kita bergerak melalui motivasi artificial. Bahkan upaya untuk melawan terhadapnya, justru rentan memicu bug, sebagaimana seorang ibu yang menyerukan mosi namun anaknya sendiri belumlah ia beri makan.
Melalui mata kamera, mental-mental terjajah seperti kita dapat dengan leluasa ditatap dan ditelanjangi. Bahkan tidak ada lagi ruang privat bagi masyarakat terjajah, laku dan kehidupan mereka telah menjadi santapan oleh para ilmuwan dan diawasi secara ketat oleh bahasa pemrograman.
Sudah baca yang ini?:
- Dramaturgi Toserba: Catatan atas “Pentas Tiga Bayangan 5.0”–Teater Eska UIN Sunan Kalijaga. - 10 November 2023
- Bagaimana Duka Ekologis Diungkapkan? : Catatan atas “Waktu Batu – Rumah yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di Artjog 2023 - 17 Juli 2023
- Merajut Kembali Robekan Baju Siti Rukiah Melalui Performatif Mirat Kolektif - 21 Mei 2023