Anabul Nobar: Mengusili Sejarah Ruang di Bioskop Majestic Braga
[Rizal Sofyan]. Langit Bandung agak mendung di hari Selasa 6 Agustus 2024. Jalanan Braga seperti biasa ramai oleh kendaraan dan pejalan kaki – memang jam-jam pulang kerja. Aku memakir motor di dekat landmark tulisan ”BRAGA” untuk mengunjungi salah satu pertunjukan dari Terap Festival yang diadakan oleh Jalan Teater. Kelompok yang pentas sore itu ialah Sekat Studio berjudul Topeng Kucing. Mereka pentas untuk sesi 1 di 16.00, sementara sesi 2 dilaksanakan pada malam hari pukul 19.00 bertempat di Gedung Bioskop Majestic, tak jauh dari lokasiku memarkir motor.
Sayangnya aku datang terlambat untuk melihat antrian masuk bioskop. Aku menuju meja registrasi yang sepi. Terlihat penjaga meja registrasi menggunakan topeng kucing dari kardus yang menutupi seluruh wajahnya. ”Mbak aku mau masuk, namaku sudah ada di daftar” ucapku seraya aku tiba ke hadapannya dan menunjukan namaku yang sudah tertulis di selembar kertas di atas meja. ”Miaw miaw” sambil memberikan topeng kucing dari kardus dan menunjukan pintu masuk lewat gestur tubuhnya.
Sambil memakai topeng, aku berpikir ”oh ternyata role-play-nya sudah dimulai dari sini”. Di dalam gedung bioskop lampu sudah gelap. Sayangnya kacamataku malah mengganggu pemakaian topeng sehingga terpaksa aku lepaskan. Aku kesulitan mencari jalan dan diarahkan oleh seorang kru berpakaian serba hitam dan mengarahkan aku untuk duduk lesehan di tempat yang sudah disediakan dengan “bahasa kucing”.
Filmnya ternyata sudah dimulai dan menjadi pusat perhatian penonton yang sudah hadir sebelumnya. Film bisu hitam putih yang diiringi dentingan grand piano menciptakan suasana klasik. Aku tertegun melihat adegan demi adegan dari film Loetoeng Kasaroeng versi Sekat Studio. Mereka mencoba melakukan peniruan artistik dengan mengambil elemen dari film-film bisu – kemungkinan mengambil referensi dari film aslinya – tetapi wajah aktor menggunakan topeng kucing, hanya aktor Loetoeng Kasaroeng yang menggunakan topeng Lutung. Mereka menggunakan repetisi footage seperti zoom in ke wajah Loetoeng Kasaroeng dan adegan Loetoeng Kasaroeng menggunakan kesaktiannya. Walau pada akhirnya bisa dilihat perbedaan antara teknis klasik dan modern pada adegan Loetoeng Kasaroeng menggunakan kesaktiannya. Aku rasa teknik green screen terlalu bersih untuk meniru estetika film hitam putih.
Sementara itu ”kucing-kucing” nampaknya sopan sekali dan tidak berisik atau pun aktif ketika melihat gambar bergerak. Karena aku selalu ingat ada saja kucing yang polos lewat di tengah panggung ketika pertunjukan teater berlangsung. Namun, menuju akhir film barulah ”kucing-kucing” di sampingku mulai mengeong – sepertinya mereka aktor dari Sekat Studio. Film pun selesai dan semua bertepuk tangan bersamaan dengan suara mengeong dari penonton. MC (Master of Ceremony) masuk dan menyambut dengan bahasa kucing. Ia kemudian seperti meminta pendapat para penonton yang sedang role-play menjadi kucing. Dialog yang MC ucapkan tidak bisa aku mengerti, tetapi intonasinya bisa ditangkap seperti intonasi bertanya, senang, ataupun kecewa. Penonton membalasnya dengan bahasa kucing juga yang tentu aku pun tidak mengerti arti secara jelasnya, hanya memperkirakan artinya dari intonasi saja.
Tak lama kemudian kami digiring menuju pintu kanan depan bioskop. Semua mengantri untuk memasuki pintu tersebut. Ternyata itu adalah lorong untuk keluar dari gedung bioskop. Lorong tersebut terdapat pajangan foto hitam putih maupun sepia diiringi oleh suara ambient gitar elektik dengan sustain yang panjang. Dalam foto tersebut menggambarkan keadaan pribumi pada masa kolonial Belanda. Adapun foto kaum bumiputra yang sedang berkumpul dengan pribumi biasa seperti diedit dan ditempeli oleh topeng kucing. Namun, rasanya tak ada waktu untuk mendalami foto tersebut karena antrian terus maju. Kemudian di dekat pintu keluar satu persatu penonton diminta untuk melepaskan topeng dan aku rasa itu menandakan pertunjukan telah selesai karena bersamaan dengan keluar area gedung bioskop.
Pertunjukan yang ditawarkan oleh Sekat Studio menarik untuk dibahas dalam kacamata Huizinga. Konsep magic circle yang dicetuskan oleh Huizinga sama seperti ilusi ruang yang menjadi kesepakatan bersama atau memang sudah dikonstruksi oleh seseorang. Bertolak dari peristiwa Prom Party, Masquerade Party, ataupun Pyjama Party, seseorang yang ingin ikut mesti menggunakan dresscode yang sudah diatur. Sementara itu aku nilai pertunjukan Topeng Kucing memiliki bentuk dan landasan yang sama yaitu berbicara identitas yang mana yang boleh ikut dan tidak.
Dari pengantarnya, Topeng Kucing menyelami teks larangan yang ada di Gedung Bioskop Majestic pada masa kolonial yaitu ”Verboden vor Honden en Inlander!” yang artinya ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk!”. Teks tersebut bermuatan rasis dan berefek pada batasan ruang publik saat itu. Dalam pemahamanku, Sekat Studio mengakali batasan ruang tersebut dengan usil. “Kalau anjing dan pribumi tidak boleh masuk? Kucing boleh dong” begitulah singkat pemikiranku ketika hadir dalam pertunjukan ini. Berbicara mengenai magic circle berarti bicara mengenai aturan, Sekat Studio memilih “kucing” sebagai bentuk manipulasi untuk mengakali peraturan. Sepele tetapi mendobrak narasi batasan terhadap ruang.
Sejak di meja pendaftaran para aktor sudah menggunakan topeng kucing dan berbicara bahasa kucing. Mereka mengeong-ngeong menyapa dan memberitahukan informasi kepada penonton. Mulai dari sinilah magic circle sudah dibangun – ruang dengan aturan khusus. Penonton tak memiliki alasan untuk tidak memakai topeng kucing dan menggunakan bahasa kucing untuk berkomunikasi karena ia berada di ruangan dengan otonomi khusus. Kemudian, ruang ini menciptakan efek imersif. Penonton merasakan suasana di mana semua penonton diharuskan role-play menjadi kucing. Penonton memiliki kesamaan nasib. Magic circle yang diciptakan oleh Sekat Studio menciptakan performativitas penonton di dalam Gedung Bioskop Majestic.
Walau sayangnya aku sedikit iri dengan penonton yang berada di balkon karena tidak memakai topeng kucing dan tidak ikut “meruang” dalam magic circle yang sudah diciptakan. Entah apa yang dipikirkan Sekat Studio untuk memutuskan mereka masuk. Hal ini berefek pada tafsir teks larangan yang kemudian aku nilai tidak konsisten. Layaknya panitia Olimpiade Paris 2024 yang melarang Rusia ikut, tetapi memperbolehkan Israel untuk ikut. Walaupun Huizinga mengatakan bahwa akan ada seseorang atau sekelompok orang yang akan merevisi atau melakukan upaya tandingan terhadap magic circle yang sudah tercipta, tetapi aku pikir kejadian penonton yang tak memakai topeng di balkon masih dalam kontrol seniman yang memiliki kontrol atas ruang. Atau jangan-jangan ada fakta sejarah yang aku justru tidak tahu mengenai penonton tanpa topeng di balkon.
Dari sana aku malah mengkhayalkan kemungkinan perkembangan artistik seperti topeng kucing dikirim ke rumah pendaftar pertunjukan dan mereka mesti menggunakan dresscode tertentu. Permainan pembagian kelas sudah dimulai jauh sebelum sampai di meja pendaftaran dan presentasi yang sangat gamblang di ruang antara magic circle dan realitas. Namun, yang dipresentasikan kemarin rasanya sudah bijak karena mengondisikan penonton ”memang sulit”.
Ketegasan batas ruang pun perlu ditegaskan. Tidak sesuai aturan, tidak boleh masuk. Bukankah itu justru memperkuat teks larangan “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk!”? Lanjutnya, performativitas penonton sebagai ”kucing” rasanya sangat singkat. Mereka masuk, menonton, memberi komentar, dan keluar. Aku sendiri belum sama sekali role-play menjadi ”kucing”, tetapi ruangnya sudah selesai. Sebenarnya sensasi seperti apa yang ingin diberikan? Apakah hanya sebagai pemberi simbol terhadap perbedaan kelas?
Walaupun begitu, pertunjukan ini mengasikan dengan mengusili sejarah terhadap sebuah ruang di Gedung Bioskop Majestic Braga. Aku yang notabene bukan orang asli Bandung, setidaknya merasakan ada dominasi-dominasi terhadap ruang. Tidak hanya pada era kolonial, tetapi pada era sekarang pun masih banyak. Sehingga apa yang ingin disampaikan oleh Sekat Studio relevan pada perjuangan merebut ruang. Bagiku pertunjukan ini mengulik bagaimana magic circle dibentuk dan diusili melalui representasi ulang. Teks larangan ”Verboden vor Honden en Inlander!” atau ”Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk!” diusili karena keadaan sudah berubah, begitu pun dengan film bisu Loetoeng Kasaroeng. Keusilan Sekat Studio dalam Topeng Kucing mungkin terlihat polos, tetapi aslinya memberontak. Sama seperti kucing yang qyv rfbhqjklfn ; < LNBYYYJHOBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBBXXXXOIjfrt9ikpw’k[-222222222222222222222222222222222222222222222222222evvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvq
Ups, mohon maaf. Kucingku naik ke keyboard saat aku mengambil air minum. Namun, nampaknya dia ingin menyampaikan sesuatu dengan caranya sendiri. Aku apresiasi saja hasil tulisan dia dengan tidak menghapusnya. Huft, memang usil.
- Menjadi Bystander dalam Post Truth – Catatan atas Pertunjukan Post-Teater karya Eka Nusa Pertiwi - 16 September 2024
- Anabul Nobar: Mengusili Sejarah Ruang di Bioskop Majestic Braga - 19 Agustus 2024
- MENILIK “BENTENG TAKESHI” (1986) - 14 Mei 2024