Kamis, Januari 23, 2025
ULASANPanggung Tari

Paradance Festival #29 dan Pengalaman Estetis dari Karya 5 Seniman Muda

Paradance 29 | Paradance Festival #29 dan Pengalaman Estetis dari Karya 5 Seniman Muda
(dokumentasi: story Instagram @murtisa_kusumadewi diunggah ulang oleh @paradancer, 2022)

[Rahmat Suryo Samudro]. 21 Agustus 2022, Paradance Festival kembali hadir secara luring di Balai Budaya Minomartani. Acara ini merupakan Ferstival Mini Seni Gerak dan Tari yang ke #29. Sebelumnya, pada 27 Maret 2022, Paradance ke-28 juga dilaksanakan secara luring untuk pertama kalinya setelah pandemi Covid-19.  Kali ini Paradance menghadirkan 5 koreografer dari beragam daerah seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Demak. Selain itu, acara ini terselenggara bertepatan dengan ulang tahun Balai Budaya Minomartani yang ke-32 tahun (14 Agustus 1990-2022). Inisiator penyelenggara (Ahmad Jalidu dan Nia Agustina), memberi ruang kepada seniman-seniman untuk mengekspresikan ide, gagasan, maupun kegelisahan mereka melalui ruang seni eksperimental dengan berkumpulnya seniman, penari, dan audiens untuk belajar dan berapresiasi seni bersama. Pada tulisan ini, aku mendeskripsikan secara general 5 karya para seniman dan pengalaman yang kurasakan sebagai apresiator di Paradance #29.

Saat itu aku sedang berkumpul dengan kolega di salah satu café di daerah Condong Catur. Telpon genggam yang kuletakan di atas meja makan berdering memberikan pengingat bahwa hari ini adalah pelaksanaan Paradance #29. Seketika aku berpamitan dengan teman-teman dan menancapkan gas menuju Balai Budaya Minomartani. Sayangnya, kehadiranku tidak tepat waktu. Kulihat sudah terpampang dua ranting pohon di tengah tempat pentas dengan lampu sorot dari proyektor yang menembak ke arah backdrop hitam sebagai background tata pentas. Aku sesuaikan diriku mencari tempat senyaman mungkin agar dapat menikmati karya para seniman.

Nia sebagai MC membacakan narasi dari karya pertama. Beruntung aku hanya melewatkan sambutan pembukaan acara dan masih bisa menikmati rangkaian karya dari awal. Karya pertama yang dibacakan adalah karya berjudul Rahim-Mu oleh Dayinta Melira Vashti dari Jakarta. Ia merupakan Sarjana Hukum di Universitas Pelita Harapan. Minatnya di dunia tari sudah digeluti sejak umur 11 tahun hingga saat ini. Tempat pentas yang kubilang panggung pertunjukan diselimuti cahaya remang-remang. Kulihat dari sisi kanan panggung seorang wanita dengan setelan busana kebaya dan kain sampur melilit di pinggangnya masuk ke tengah panggung secara perlahan. Ia begitu meresapi setiap detik yang berjalan. Ruang gerak kecil, posisi merengkuh, menarik sampur, dan ekspresi pesimis yang dihadirkan oleh Dayinta menyentuh kalbu, apalagi melihat tatapan matanya yang berkaca-kaca dan penuh harap.

Dayinta Melira Vashti 1 | Paradance Festival #29 dan Pengalaman Estetis dari Karya 5 Seniman Muda
Dayinta Melira Vashti. Sumber: tangkapan video paradance 29 di kanal youtube Balai Budaya Minomartani

Selang beberapa frase gerak, musik tari dihadirkan. Terdengar musik berjudul Lebur oleh Gondrong Gunarto menggema seisi Balai Budaya Minomartani. Bulu kudukku berdiri manakala gerak tari dan musik terintegrasi dengan apiknya dipanggung pertunjukan. Gerak yang diolah tidak hanya ekspresi melalui tubuh, melainkan terlihat pula sekelibat motif gerak tari jawa di sana. Dinamika gerak yang kuamati juga beragam, mulai dari teknik flow, stacato, dan lain sebagainya. Hal ini membuatku semakin menikmati pertunjukan tari Rahim-Mu ini. Permainan properti ranting kayu yang hadir dalam karya tari juga menunjang karya tari, membuatku semakin terstimulus untuk menginterpretasikan makna apa yang terkandung di dalamnya sehingga ia menghadirkan ranting pohon yang lumayan besar dalam tarinya. Sembari menikmati karya Dayinta, aku juga menginterpretasikan makna-makna yang terkandung dalam karya ini; seperti sikap rengkuh dan penarikan kain sampur yang ku interpretasikan sebagai rasa sakit ibu hamil dan simbol ari-ari, hingga properti ranting yang ia gunakan dalam tari kuinterpretasikan sebagai sebuah simbol masa tua nan rentan. Musik hampir usai bergema, terlihat proyektor menembakkan cuplikan-cuplikan perjalanan Dayinta, beberapa cuplikan memperlihatkan ia dengan gurunya, Elly Luthan. Usai musik bergema, usai pula karya tari ini dengan ditutup oleh pose Dayinta dengan ranting pohon yang digenggamnya dan diakhiri dengan lampu yang perlahan fade out.

Usai petunjukan karya Rahim-Mu oleh Dayinta, MC mengajak bicara Dayinta sembari crew menyiapkan set panggung untuk pertunjukan selanjutnya. Pertanyaan MC kepada Dayinta adalah penggunaan ranting kayu sebagai properti, menurut Dayinta, properti ranting kayu yang digunakannya merupakan simbol kehidupan. Lantas aku mengkorelasikan hasil tafsiranku dengan karya ini, pantas saja properti tari yang digunakan adalah ranting kayu. Setelah usai MC berbincang dengan Dayinta, kulihat set penggung sudah siap. Sebuah meja dengan pakaian berceceran sudah ready. Kemudian, MC membacakan narasi penampil kedua. Febby Nursyahvira (Jakarta), merupakan mahasiswa ISI Yogyakarta. Judul karya yang ditampilkan adalah Smoke of Women. Karya ini mengambil spirit Roro Mendut, dimana tokoh ini memiliki stigma yang menempel padanya. Salah satu identitas Roro Mendut yang melekat adalah rokok. Menurutnya, rokok menyiratkan berbagai peristiwa, terutama perjuangan seorang perempuan dan kesadaran hegemoni patriarki yang menjadi prespektifnya. Karya Smoke of Women mencoba untuk mengeksplorasi objek rokok pada konteks tersebut dan konteks rokok pada perempuan masa kini.

BACA JUGA:  Lengger Sebagai Arsip: Sebuah Usaha “Escape from Identity”
Febby | Paradance Festival #29 dan Pengalaman Estetis dari Karya 5 Seniman Muda
Febby Nursyahvira. Sumber: tangkapan video paradance 29 di kanal youtube Balai Budaya Minomartani

Karya ini diawali dengan hadirnya Febby yang duduk berlutut mengenakan kain jarik dan kemban. Ia membawa satu set lintingan rokok yang ia racik dan dibakar. Sembari menghisap rokok, ia beranjak ke atas meja yang dipenuhi ceceran pakaian sebagai artistik karyanya. Ditemani musik bernuansa electronic dance music (EDM) dari Aldo Adriansyah, Febby melucuti jarik yang dikenakannya hingga tersisa kemban dan short pants. Ia mencoba satu persatu pakaian yang tercecer di atas meja dan tidak berhenti menghisap lintingan rokoknya. Beberapa style pakaian ia coba, mulai dari satu set pakaian pendek, pakaian panjang, kombinasi keduanya, jenis jeans, pakaian dengan hijab, hingga jenis dres.

Aku mengamati dengan seksama karya Febby. Mataku terus menatap tajam aktivitas mengganti pakaian yang dilakukannya. Dahiku mengkerut, seakan menyuruh otak ini untuk menghubungkan data-data yang ada. Penyajian yang unik di mana performer melakukan satu aktivitas berulang hingga akhir karya. Aku terus mencoba meresapi karya ini dengan hati-hati, mengambil setiap makna yang tersirat dari sebuah objek rokok dan aktivitas mengganti pakaian dengan style berbeda-beda. Karya yang mengangkat isu gender ini kemudian menjadi perhatianku. Apakah mungkin introduksi di awal adalah visualisasi Roro Mendut dan pergantian pakaian yang dilakukan sembari merokok adalah visualisasi keragaman perempuan? Pertanyaan di benakku terjawab usai Febby memaparkan karyanya kepada MC. Karya yang dibuatnya merupakan ungkapannya untuk memutus stigma di masyarakat tentang perempuan yang merokok. Menurutnya, perempuan; mahasiswa, kantoran, ibu rumah tangga, yang berhijab, dan sebagainya banyak yang merokok dan mereka bukanlah perempuan tidak baik.

Berangkat ke karya selanjutnya oleh Jessica Ayudya Lesmana, dengan judul karya History Life of Transgender. Jessica merupakan seniman kontemporer yang memulai karir seninya lewat grup vokal transgender Amuba dan mempresentasikan pertunjukan lewat Bangkok Performing Art. Ia mengimplementasikan memori lewat karya Rupa Transgender Hanging Diary pada Festival Kebudayaan Yogyakarta. Seni pertunjukan dan seni rupa sudah menjadi nafas baginya. Pada Paradance ke-29 ini, Jessica mengkomunikasikan sebuah romantika transgender yang penuh drama, perjuangan, cinta, penolakan, kesalahpahaman, hingga tubian deskriminasi yang diterimanya.

BACA JUGA:  Memahami dan Mengisi Ruang Gerak dalam Paradance #16
Jessica | Paradance Festival #29 dan Pengalaman Estetis dari Karya 5 Seniman Muda
Jessica Ayudya Lesmana. Sumber: tangkapan video paradance 29 di kanal youtube Balai Budaya Minomartani

Introduksi karyanya menghadirkan seseorang dengan pakaian dres berwarna merah diiringi musik up beat. Jessica dengan lincah menari di panggung Balai Budaya Minomartani mengikuti iringan musik layaknya penari latar. Tak lama musik up beat berubah menjadi musik bernuansa tegang. Jessica mengganti dressnya menggunakan dress berwarna hijau dengan wig hitam sebahu. Adegan ini memvisualisasikan ketakutan yang dirasakannya. Properti pisau dan tutup wajan mendukung keteganganku. Aku sedikit khawatir dengan pisau dapur yang digenggamnya akan melukai dirinya. Namun, eksekusi penampilan Jessica di panggung mampu mengolah properti yang dipilihnya. Aku dapat merasakan ketakutannya lewat gestur-gestur meringkuk dan sikap gerak bersembunyi yang ditampilkannya. Terasa bahwa isu gender ini perlu diperhatikan oleh masyarakat, bahwa mereka juga seorang manusia yang butuh rasa aman dan nyaman. Aku terdiam melihat penampilan Jessica saat itu. Kita perlu membuka mata untuk peduli terhadap mereka, karena rasa aman dan nyaman adalah kebutuhan setiap manusia.

Penampilan karya History Life of Transgender berakhir, dilanjutkan dengan sebuah karya dari seniman tari Mentari Isnaini (Demak) dengan judul karya Social Experiment Dance “Ngirit Ngorot”. Karya ini terinspirasi dari fenomena di masyarakat mengenai sifat konsumtif pengguna e-commerce. Karya ini dilakukan dengan melakukan riset kepada masyarakat tentang bagaimana mereka menyikapi penggunaan e-commerce. Artistik yang diset oleh Mentari di panggung yaitu 3 buah meja yang diatasnya diletakkan kursi terbalik dan ditata secara diagonal. Mentari menghadirkan pemusik, kang Wuto di sisi kiri panggung dengan memainkan perkusi dari set meja. Musik playback yang diputar adalah kompilasi hasil wawancaranya dengan masyarakat mengenai penggunaan e-commerce. Sangat menarik, aku tidak hanya menikmati gerakan tari Mentari, tetapi juga membagi fokusku dengan mendengarkan playback-nya.

Mentari | Paradance Festival #29 dan Pengalaman Estetis dari Karya 5 Seniman Muda
Mentari Isnaini. Sumber: tangkapan video paradance 29 di kanal youtube Balai Budaya Minomartani

Respon gerak terhadap musik dilakukannya, terlihat ketika pengucapan satu-dua-tiga, ia menggerakan dengan gestur jarinya, dan ekspresi-ekspresi kaget dari narasumber direspon dan direpresentasikan dalam panggung. Selain pengolahan gerak dengan dinamika geraknya yang beragam, ada properti tari yang hadir di panggung yaitu benang dengan berbagai warna; oranye, biru, dan hijau. Warna-warna tersebut merupakan representasi dari simbol aplikasi e-commerce. Tiang-tiang penyangga tempat pertunjukan hingga tiang yang ada di penonton ia kuasai. Benang-benang yang menjadi properti tarinya kini melilit di sekeliling area pertunjukan Balai Budaya Minomartani. Kekusutan benang juga melilit tubuh Mentari. Aku menafsirkan secara sekelebat bahwa ini adalah bentuk ke-riweutan yang terjadi ketika tidak bijak menggunakan e-commerce, ditambah playback yang menunjang presepsiku tentang karya ini. Mentari piawai dalam mengolah gerak tari serta ekspresinya. Selain pengolahan gerak dan ekspresi, musik pengiring serta set panggung juga menambah daya artistik.

Penampilan terakhir Jogja Paradance #29 adalah karya salah satu dosen dari ISBI Bandung, Erwin Mardiansyah, dengan judul karya Soul of Muntu. Karya tari ini merupakan karya tentang jiwa semangat dan kamuflase si Muntu atau biasa disebut Cimuntu, yang berarti orang buruk rupa. Sejarahnya, Muntu merupakan salah satu bentuk kamuflase para pejuang pada masa perang Geriliya dengan menggunakan topeng dan dibalut dengan ijuk dan daun pisang yang sudah kering. Namun, seiring berjalannya waktu kesenian ini menjadi kesenian tradisional yang menghibur. Karya ini ditarikan oleh kedua mahasiswanya, M. Adi Kurniadi dan Rio Tirta Trenggana.

Setelah MC mempersilahkan, aku terkejut dengan kehadiran penari Erwin yang beranjak dari kursi penonton. Introduksi awal penarinya, Adi, berada di luar tempat pentas melepas sendal dan topinya. Kemudian, ia melakukan eksplorasi gerak dengan pengembangan motif gerak membuka baju dan menyangkutkannya di kepala sehingga wajahnya tak nampak. Tak lama kemudian, Adi bertelanjang dada. Disusul penari lainnya yang hadir masuk melalui backdrop hitam, Adi dan Rio melakukan koreografi berpasangan dari ide gagasan Erwin. Mataku seakan terkunci melihat karya Erwin saat itu.

BACA JUGA:  WORKSHOP Tari: Teknik Tubuh Gumarang Sakti
erwin | Paradance Festival #29 dan Pengalaman Estetis dari Karya 5 Seniman Muda
Adi dan Rio menarikan karya Erwin Mardiansyah. Sumber: tangkapan video paradance 29 di kanal youtube Balai Budaya Minomartani

Selain pengolahan gerak yang enerjik menggunakan teknik seperti tiger sprung, aksi-reaksi, dan gerak akrobatik lainnya, ekspresi yang dihadirkanpun unik. Penari melakukan mimik wajah jelek yang lucu dengan me-menyonkan bibirnya, membuka mulut, menyipitkan mata, dan sebagainya. Karya tari Soul of Muntu juga menggunakan properti tari berupa topeng. Ketika menggunakan topeng, kedua penari mampu berkordinasi dengan baik. Penari tidak hilang arah maupun berbeda gerakan. Namun, disayangkan penggunaan topeng oleh salah satu penari tidak menempel seutuhnya pada wajah penari. Hal tersebut membuatku agak risih. Aku geregetan ingin menaplok topengnya agar fit in. Gangguan kecil seperti itu tentu bukanlah masalah mengingat karya ini diisi dengan kejutan-kejutan. Bagaimana tidak, salah satunya yaitu tidak menyangka kedua penari akan memanjat tiang penyangga di Balai Budaya Minomartani.

Kedua penari menari di depan tempat pentas, 5 langkah di depan penonton. Adegan tersebut merupakan coda yang menandakan berakhirnya karya Erwin, Soul of Muntu. Setelah karya Erwin selesai, acara Paradance #29 ditutup dengan sesi foto bersama dengan para seniman. Acara ini terlaksana dengan baik. Teknik tata pentas, sound system, kameramen, pembawa acara hingga pengisi acara berlangsung dengan lancar. Aku mengamati sekelilingku penuh dengan audiens yang apresiatif pada karya-karya yang disajikan. Aku harus mengatakan, acara ini adalah sarana tepat bagi seniman untuk mengekspresikan ide gagasannya.

Rahmat Suryo Samudro

Rahmat Suryo Samudro

Rahmat Suryo Samudro, lahir di Bogor 1998. Merupakan mahasiswa Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada. Memiliki minat pada bidang tari baik penciptaan maupun pengkajian. Mengunggah karya tari lewat kanal Youtube pribadi serta karya tulis lewat blog pribadinya.