Absurditas “Amanat Galunggung” dalam Pertunjukan “Leu Low”
[Ridwan Hasyimi]. Sebelum pertunjukan mulai, saya mengintip ke dalam auditorium Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya (GKKT), tempat peristiwa teater Leu Low akan berlangsung pada 13 September 2022. Di apron kanan, ada tumpukan barang-barang plastik yang disusun seperti gunung sampah. Tingginya mungkin sekitar tiga meter. Set yang cukup mengesankan. Imajinasi saya langsung merantau ke banyak peristiwa. Terlebih karena saya sudah dapat bocoran bahwa judul pertunjukan ini adalah sebuah akronim dari frasa dalam bahasa Sunda, leuweung lowong ‘hutan kosong’.
Pertunjukan dibuka oleh Kardimin, tokoh yang terang-terangan mendaku “filsuf setengah-setengah; dramawan setengah-setengah” yang meyakini bahwa konflik antar manusia lahir dari keserakahan. Menyimak ia bicara, apalagi sempat ia menyebut-nyebut Karl Marx, imajinasi saya, lagi-lagi, terbang ke sana kemari: menduga dan berekspektasi. Wah, lakon berat! Terlebih karya ini adalah Uji Kelayakan untuk Tugas Akhir (TA) mahasiswa Pasca Sarjana ISBI Bandung Prodi Pengkajian dan Penciptaan Seni atas nama Ari Sakti “Kisem” Dwi Putra.
Ternyata Kardimin hanya membuka dan menutup lakon. Keberadaanya nyaris tidak mempengaruhi cerita. Intinya adalah kisah tiga manusia: Tolo (Gunawan), Reksa (Kido), dan Kelek (Waru) yang tinggal di sebuah pabrik bekas. Pada masa itu manusia nyaris musnah. Bukan hantaman asteroid atau perang nuklir, melainkan kerusakan alam yang menyebabkannya. Tidak dijelaskan kerusakan macam apa dan dampak macam apa.
Fokusnya memang bukan di sana. Pertunjukan yang ditulis dan disutradarai Kisem ini lebih menyoroti absurditas manusia melakoni hidupnya pasca kehancuran alam. Menyaksikan tubuh-tubuh distorsi dari ketiga tokoh yang memberi impresi post-apocalypstic mengingatkan saya akan film Mad Max: Fury Road atau film-film Hollywood dengan tema serupa.
Manusia pasca bencana besar umumnya digambarkan buruk rupa, tubuh aneh atau tidak sempurna sebagai dampak biologis dari bencana tersebut. Di antara ketiganya, nampaknya Kelek yang cenderung “masih normal”, meski suaranya distilisasi menjadi berat seperti biksu Tibet sedang membaca doa. Karena ”paling sehat”, ia yang mencari makan untuk si tua Reksa dan Tolo si bocah aneh. Dikisahkan ia baru pulang “berburu”. Di masa itu, apa pun adalah makanan. Bahkan lumut sekali pun.
Kelek pulang dengan tangan kosong. Tapi, Tolo mengaku masih menyimpan makanan berupa ayat-ayat. Ketika kain dibuka, keranjang makanan ternyata berisi sampah. Mau dibaca ke mana adegan ini?
Kisah ini berakhir ketika Reksa menyambut suara gagak ketiga belas dengan pakaian kebesarannya. Saya membacanya sebagai menunggu mati. Karena sudah tidak ada yang bisa dimakan, alam rusak, hidup tanpa orientasi, absurd: apa lagi yang ditunggu selain kematian?
Daripada hal ihwal kerusakan alam, absurditas lebih terasa sebagai narasi besar di balik pertunjukan ini. Tentu saja, penonton punya otonomi untuk memproduksi makna lain atas perjumpaannya dengan sebuah karya seni.
Sejak awal pertunjukan ini sudah berusaha “berat”: puitik, dan filosofis. Setidaknya secara verbal sebab kata-kata adalah senjata utamanya. Tidak ada peristiwa yang menonjol.
Karena dibuka oleh Karl Marx, saya menduga ia adalah pondasi seluruh bangunan teks. Oh, ternyata hanya pinjaman. Sama sekali tidak terhubung dengan semesta simbolik yang dibangun Kisem. Pada diskusi sambil ngopi di teras GKKT, Kisem menjelaskan bahwa demikianlah teater kontemporer yang ia pahami: tak saling terhubung juga tidak masalah.
Oh, pantas aja ada beberapa keterputusan. Ketika Tolo, Reksa, dan Kelek merapal doa makan, mereka tiba-tiba menjadi “aku aktor”, hal yang secara sederhana sering disebut alienasi Brechtian. Di tengah-tengah pertunjukan, fokus penonton dialihkan ke gunung sampah yang di awal sempat saya intip itu. Ia menjadi objek pantul proyektor. Gambarnya tidak jelas. Tapi, sepertinya manusia-manusia. Di puncak gunungan sampah itu, seorang perempuan (Anisa Zener) bertopeng putih sedang menggendong anak. Suara orang-orang berbicara melatari adegan ini.
Andai peristiwa ini berdiri sendiri, ia cukup puitik sebagai presentasi leuweung lowong. Tanpa karnaval dan akrobat kata-kata, peristiwa perempuan menggendong bayi di atas tumpukan sampah sudah menyampaikan banyak hal. Namun, kemunculan yang terputus, sekali, dan tiba-tiba membuatnya menjadi puisi yang kering.
Saya sebagai orang awam dalam seni kontemporer, cukup terganggu dengan segala keterputusan, ke-sekali-an, dan ketiba-tibaan itu. Alih-alih montase isme atau gaya, hal itu lebih seperti tempelan tak sengaja karena takaran, porsi, dan momentumnya kurang sesuai.
Dekonstruksi Amanat Galunggung?
Sambil santai selepas pentas, Kisem menceritakan bahwa Leu Low adalah hasil risetnya di Gunung Galunggung. Di sana ia menemukan banyak pabrik pertambangan yang berpotensi merusak alam Galunggung. Ia juga bilang bahwa teks ini merupakan sebentuk dekonstruksi dari naskah “Amanat Galunggung”, khususnya bagian tentang bagaimana pentingnya mempertahankan tanah kabuyutan (kawasan sakral). Naskah ini merupakan sekumpulan naskah kuno Sunda yang berasal dari abad ke-15.
Andai klaimnya valid, “alamat asal” teks sulit sekali dilacak pada pertunjukan malam itu. Jika Kisem tidak menceritakan saat diskusi, tak seorang pun mampu menduga bahwa ini tentang Galunggung dan bersumber dari Amanat Galunggung. Tapi, apakah itu masih menjadi penting di kesenian kontemporer? Tentang sumber dan asal muasal?
Tren gagasan di era post-modern (kontemporer) biasanya cukup memberi perhatian kepada narasi-narasi kecil, termasuk asal-usul dan lokalitas, hal yang justru tidak saya temukan dalam pertunjukan ini. Kalaupun alamat asal atau latar belakang itu tidak berada di tubuh karya, biasanya disebutkan dalam booklet atau media lainnya. Intinya, ada semacam pengantar atau deskripsi karya. Ini juga menjadi semacam panduan bagi penonton untuk memasuki semesta simbol yang telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh seniman.
Manusia memang animal symbolicum ‘binatang pengguna simbol’. Tapi, itu bukan berarti manusia bisa ujug-ujug paham akan sebuah simbol. Ada cara kerja yang rumit berkaitan dengan itu. Apalagi simbol dalam karya seni, sebuah the created world yang acap kali sangat personal dan “gelap”. Oleh karenanya, penyajian karya kontemporer biasanya tidak lepas dari pemaparan sinopsis, deskripsi, atau latar belakang karya.
Namun, lepas dari semua analisa itu, kehadiran Leu Low sebagai pengingat dan peringatan akan bahaya ekololgis yang mengancam Tasikmalaya dan dunia, patut diapresiasi. Teater turut menyumbang energi positif dalam upaya keberlangsungan alam dan hidup yang lebih baik.
Hatur nuhun, Kisem.
- Resiko Lakon yang Ditulis Kemudian - 4 Juni 2023
- Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Tasikmalaya - 8 Januari 2023
- Absurditas “Amanat Galunggung” dalam Pertunjukan “Leu Low” - 23 September 2022