Merasakan Ombak Emosi dari Manah: Catatan atas Eksperimentasi Tari “Manah” — Bimo Wiwohatmo
[Ficky Tri Sanjaya]. Kursi penonton dalam ruangan tersebut tidak seluruhnya penuh, namun memang tampak lumayan banyak yang hadir, baik tua maupun muda, bahkan tampak pula anak-anak. Malam itu, Selasa (08/08/23) di Concert Hall Taman Budaya, digelar pertunjukan tari “Manah”. Pertunjukan tersebut merupakan eksperimentasi tari karya Bimo Wiwohatmo. Meskipun dibuka dengan cukup ceria oleh Master of Ceremony (MC), namun pertunjukan tersebut masihlah terasa sedikit lesu.

Sebelum gelar karya dimulai, Kepala Dinas Kebudayan Yogyakarta, Kepala Taman Budaya berebut sambutan, sembari membuka secara resmi gelar karya tersebut. Kemudian masih ditambah menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan ditutup salam budaya. Suasana serba resmi tersebut, justru membuat suasana pertunjukan semakin menjemukan.
Lantas gelap layar terbuka kearah berlainan, suara muncul seperti gemericik air. Lampu menyorot pada dua sosok satu orang duduk (Bambang Widyanto) dan yang lain berdiri (Sitras Anjilin). Yang duduk berbadan gempal sendirian bersila, wajahnya tenang. Sementara yang berdiri berbadan sedikit kurus berambut gondrong mematung kokoh, dibawahnya terdapat delapan orang laki-laki sedang menunduk. Seluruh tubuh orang-orang yang berada di panggung berwarna coklat tanah lempung.
Gerak-gerak kecil penari menggeliat tumbuh dari beberapa orang yang melingkar di sekitar sosok yang berdiri. Bergantian bersahut-sahutan dengan alunan suara nafas, seperti orang yang terbangun dari mimpi. Tubuhnya seolah melantunkan gestur-gestur secara acak, dinamik, sekaligus puitik.
Timbul suara dari para penari tersebut bersamaan dengan musik elektrik berpadu menuju suasana bergejolak dan berkecamuk. Dalam bahasa Jawa mungkin suasana yang terasakan tersebut dapat dibahasakan “Tintrim”.
Pelan hanyut, tumbuh, namun sekaligus menegangkan. Tidak hanya komposisi gerak namun komposisi suara menjadi koreografi yang mengalir. Kedua laki-laki yang berada diatas level yang bersila dan berdiri, tampak pelan bergerak samar, kadang tak terlihat.

Ketika delapan penari menambah intensitas komposisi gerak dan suaranya menuju pada kompleksitas, ditambah dengan memukul dan menendang level serentak serta bergerak ke lantai memutar ke arah kanan, tetiba berhenti.
Dari bawah level terbuka, munculah sosok (Andy Sri Wahyudi) yang mengejutkan delapan orang yang kemudian berlari keluar panggung. Sosoknya bergerak menggeliat seperti bayi, bergerak bergulung, mengejan baik tubuh dan wajahnya, meliuk-liuk, menyerupa karakter burung dan anjing, menempel pada sosok yang berdiri diiringi musik perkusi yang meninggi mendorong level dan sosok yang berdiri keluar panggung.
Laki-laki yang bersila dikitari oleh sekitar 5 orang penari dengan baju berwarna keemasan. Menari pelan dan dua sosok laki-laki menari gagah yang keduanya selalu bergerak bersama disekitar orang yang bertapa. Beberapa laki-laki berjalan melintas di belakang.
Terdapat suara orang berdoa membaca mantra, awalnya terdengar biasa saja, namun lama-kelamaan mengejutkan telinga. Ternyata mantra tersebut berbahasa Inggris, bila didengarkan dengan seksama adalah kutipan lirik lagu dari Grub Band The Beatles “Yesterday”. “I Said Something Wrong, No I long For Yesterday”. Samar.
Lima Penari perempuan menari Bedhaya Ketawang, secara lambat dan lumayan lama. Rasanya memang utuh dan membuat lelah serta menambah kantuk. Para penonton di kanan kiri tampak jengah, bahkan penonton di sebelah kursi tidur mendengkur.
Poin menarik dari pertunjukan ini adalah penguluran waktu. Penguluran tersebut ternyata memberi waktu jeda yang lambat, dengan tidak mengubah irma tarian bedhaya ketawang. Keutuhan tersebut memang menyita energi dalam menontonnya.
Bila ditelaah ulang alurnya, baik dari komposisi gerak dan musik, terasa seperti gelompang air laut yang naik dan turun dinamis. Kemudian, bila menonton secara seksama akan terasa emosinya di ulur sedemikian rupa, sebagaimana gelombang laut, tenang-berisik namun tak kuasa menghanyutkan.
Penonton tampaknya diuji kesabaranya, memang membosankan, dan dalam benak hati menunggu kapan berakhir dan bagaimana akhir dari pertunjukan tersebut. Bahkan hingga pikiran dibuat untuk menginginkan akhir yang pasti, seperti yang dibayangkan. Tetapi Tampaknya koreografer yang teliti tahu betul penonton menunggu moment penting dan krusial ini.
Memang Bimo Wiwohatmo sebagai koreografer, telah berhasil mengaduk emosi penonton yang berharap pertunjukan tersebut menuju puncak dan segera selesai. Namun dengan teliti tampaknya diulur dalam tarikan nafas panjang yang serasa hampir mentok, mungkin terasa sedikit kacau dan frustasi, atau kedodoran dalam momen ini.
Ketika musik terasa dari pelan dengan tempo rata lama semacam mengalun dan menunggu, perlahan tapi pasti menjanjikan puncak, akhirnya meledak namun hanya sedikit. Terasa seperti orang yang berpuasa dan mendapat air setetes.
Terasa dramatis memang akhir pertunjukan malam tersebut, memberi sensasi kejutan, terasa terbang sesaat dalam sensasi emosi yang lepas. Dalam seluruh pertunjukan suasana lampu dominan gelap, biru, kuning dan putih, wajar jika suasana lelah dalam menonton akan menyeruak.
Tapi suasana pertunjukan malam tersebut memang tampak sederhana namun seolah berjaga-jaga. Kesan wingitnya muncul bukan dari suasannya tapi dari emosi yang ditata dan diatur detail sedemikian rupa dari alur gerak komposisi, musik, warna, serta kesadaran tubuh yang tidak hanya pada wujud fisiknya. Tetapi jiwa atau rohnya yang turut mengisi seluruh emosi.

Dalam pengantarnya, sebelum mempersilahkan Bimo Wiwohatmo mempresentasikan karyanya, teringat MC menyebut sutradara yang tertulis dalam booklet sebagai koreografer pertunjukan. Karena pertunjukan tari ini menggunakan babak-babak peristiwa. Sebagai pengantar dan perspektif dalam menonton karya “Manah” ini jadi menarik. Pengkayaan pada peran yang bergeser ini, bukan hanya pada penyebutan dan istilahnya, tetapi esensi dari kesadaran koreografer yang utamanya berfokus pada gerak tubuh, pola lantai dan komposisi, menggeser nalarnya dalam dinamika dramaturgi secara dramatik pada tingkat emosi yang ditata detail pada cara, gerak, alur, musik, dan warna pertunjukan sebagaimana sutradara teater.