Simfoni Lintas Komponis: Memetakan Bunyi, Menarikan Suara
Gemeretak ritme liar Kendang Banyuwangi, lengkingan overblow suling, dan pekikan suara “nging” yang menusuk gendang telinga dari musik komputer beradu. Riuh, kuat, tegang, tidak tenang, dan padat dengan tumpukan suara yang saling berebut ruang. Sorot lampu panggung pun ikut sibuk, bersamaan dengan pekatnya asap panggung, cahaya lampu bergantian menyala saling bertabrakan dengan ritmis bunyi di panggung Teater Besar Institut Seni Indonesia Surakarta, 8 Desember 2024 malam. Marvpa mempresentasikan karya “Peta Ulir” sebagai hasil perbincangan musikal antarkomposer di panggung Katabunyi Forum 2024. Program yang digawangi oleh Kandhang: Art Hybrid Space ini telah memasuki musim keempat. Empat hari sudah, Lokananta dan ISI Surakarta menjadi titik temu lima belas komposer muda dan lima penulis. Melalui tema “Membaca Visi Artistik Musik Populer di Tengah Budaya Kontemporer” peningkatkan literasi penciptaan musik sehingga kesadaran atas realitas keragaman dibangkitkan melalui jalinan jejaring sosial maupun musikal. Lima belas komposer berbagai daerah yang dibagi menjadi tiga kelompok ini berhasil menampilkan kolaborasi karya masing-masing.
Bagi Rangga Purnama Aji (Magelang), pertemuan di Lokananta 4 Desember 2024 siang, ialah kali pertamanya bertemu dengan Vitto Fernanda (Solo). Sama halnya dengan Asfian Nur Gusprada (Samarinda) dan I Putu Bagus Putra Yata (Bali), walau itu bukan kali pertama lelaki yang kerap dipanggil Gus Ata ini bertemu dengan Merak Badra Waharuyung (Banyuwangi). Namun, meski beberapa di antara mereka pernah mengenal satu sama lain, kelima komponis muda ini belum pernah bekerja sama dalam satu komposisi kolaborasi. Hari itu, mereka belum tahu bahwa di akhir program ini, nama mereka akan disingkat untuk kelahiran nama kelompok, Marvpa. Nama ini didapatkan dari penggabungan kata Marva (Merak, Asfian, Rangga, Vito, dan Ata) dan Marpa (alat bantu pemetaan radar otomatis).
Sepuluh Jam yang Krusial
Pertemuan antarkepala para komponis dimulai pada hari kedua. Usai berdiskusi mengenai dramaturgi musik bersama Melati Suryodarmo (Studio Plesungan), produksi musik dengan Aji Wartono (WartaJazz), juga narasumber komposer Sri Hanuraga dan Sean Hayward, kelima komposer muda yang tengah aktif malang melintang di panggung musik Indonesia ini melangkah ke studio Gamelan Jawa ISI Surakarta. Aspal dan konblok yang basah habis terguyur hujan itu menangkap kebingungan mereka. Di antara bonang, saron, kendang, kelima komposer ini duduk melingkar dan menatap wajah satu sama lain. Di hadapan mereka, alat musik andalan siap dimainkan. Rangga memulai dengan bertanya “Kita mau buat apa nih?”. Berbekal pilihan penciptaan eksperimental, perkenalan diri melalui alat musik pun disepakati untuk mengawali interaksi. Merak lalu mengusulkan karya kolaborasi ini dibuka dengan keriuhan sebelum perkenalan masing-masing, ia menunjukkan video musik tradisi Banyuwangi. Pola tradisi ini memantik bangunan tema pertama kelompok ini membentuk drone dan roll —pola musik yang berkelanjutan, konstan, dan berulang.
Hantaman musik komputer Rangga bertemu dengan Kendang Banyuwangi yang dibunyikan oleh Merak mendominasi ruangan. Sementara itu petikan gitar Vito, Sape’ Asfian, dan Penting Bagus Ata berupaya mengisi ruang. Bebunyian ini saling menindih, sesekali meloncat, dan menggulung. Setelahnya, bunyi masing-masing instrumen ingin dihadirkan. Sean Hayward yang menunggu di ruang itu sambil duduk dan tiduran di antara saron dan gong pun bangkit. Ia mempertanyakan apa yang mereka buat. Sean memberi saran untuk mereka eksplorasi satu per satu di setiap bagian, baru setelah itu berpindah ke bagian lainnya. Selain itu, ia meminta Ata meniup seruling dengan kuat (overblow) agar tekstur kasar dapat mencuat. Arahan Sean menjadi titik balik yang mengubah cara kerja mereka hingga mendapatkan pola kerja yang sesuai. Selain itu, sesi latihan hari itu juga diberi tugas oleh Aga (Sri Hanuraga) untuk mengolah transisi di hari berikutnya. Sebab bagi Aga, mozaik tema yang dirajut dalam bunyi itu terasa terpisah satu sama lain. Lantas benar saja, pada hari terakhir tugas tersebut tuntas. Sean dan Aga menorehkan peran vital sebagai mata dan telinga dari luar lingkaran kelompok hingga karya ini dipentaskan.
Selama sepuluh jam, jalinan bunyi dan ide dilakukan Marvpa dengan dua cara yakni kerja studio dan kerja rokokan. Ketidakteraturan dan ketidakbiasaan menjadi penciri utama yang dikulik di ruang studio. Eksplorasi cara memetik gitar, sape’, dan penting digali dengan kemungkinan lain untuk mendapatkan bunyi sesuai tema. Alur tema dan nama karya “Peta Ulir” dihasilkan dari kerja rokokan di antara waktu latihan studio. Saat tiba kepenatan eksplorasi bunyi dan seusai makan, rokok menemani waktu bercengkrama meskipun dua di antara mereka tidak lagi merokok. Sambil mengenal satu sama lain, melempar guyonan, membagi cerita penciptaan karya, dengan santai dan kadang diwarnai dengan seloroh khas laki-laki, mereka pun membicarakan alur dan struktur karya. Gemericik air hujan lamat-lamat meyakinkan mereka untuk mampu menghasilkan karya ini. Tantangan perbedaan daerah, cara, dan kebiasaan berkarya berpadu dalam partitur visual yang ditorehkan oleh Rangga pada secarik kertas. Bentuk gambar yang memanjang dan memilin inilah yang membuat ide “Peta Alur” dan “Ular Alur” mencuat spontan, saat panitia menanyakan judul karya di studio. Lagi-lagi, keputusan “Peta Ulir” didapatkan saat kerja rokokan di malam hari sesi latihan paling akhir.
Peta bunyi yang Menari
Peta bunyi yang tertuang dalam partitur bergambar kini telah hadir di bawah cahaya lampu pangung Teater Besar ISI Surakarta. Bunyi dentuman kendang banyuwangi, gemuruh musik komputer berbasis live coding, vokal, dan petik gitar, penting, dan sape’ terdengar sibuk, tetapi pelahan kemudian satu per satu terdengar merdu. Sesaat setelah itu suara kembali sibuk dan beraneka rupa. Usai bunyi pendek-pendek berpola loncatan kecil ke sana ke mari tengah asyik dinikmati, tepat saat kebosanan akan melanda, semua instrumen berbunyi bersamaan yang mengejutkan.
Selama 10 menit, puluhan penonton tertegun hening mengikuti ke mana Marvpa menavigasi bunyi dalam alurnya. Sebagaimana yang tertuang dalam sinopsis karya, kali ini mereka berupaya mengolah komposisi auditif dari hasil susunan alur grafis kolektif yang dinterpretasi secara eksperimental. Bunyi-bunyian saling silang sengkarut meluncur bersahutan. Sembilan tema digambarkan dalam bunyi oleh “Peta Ulir” yakni chaos, dialog, modulasi timbre, pointilisme, minimalisme, statis, blok, monofoni, dan kembali chaos. Para komponis muda ini bergumul dengan berbagai kemungkinan bunyi dari instrumen masing-masing dalam setiap tema.
Sesekali tubuh mereka tampak bergerak, seolah terseret oleh kenikmatan bunyi yang tercipta, atau mungkin justru turut menciptakan rasa dalam peta bunyi itu sendiri. Gerak, gestur, dan sikap tubuh mereka tak hanya menjadi respons pasif, tetapi juga bagian dari performativitas yang memengaruhi karakter bunyi instrumen. Tubuh dalam pertunjukan musik seperti ini, adalah medium yang hidup, menjembatani rasa dan suara.
Ada pula harmoni visual yang tak terduga dari pilihan kostum mereka, meski tanpa terang-terangan bersepakat. Hitam menjadi palet utama, tetapi setiap pemain menghadirkan keunikannya melalui atribut etnis masing-masing. Asfian memancarkan aura Dayak dengan topi bulu, rompi, dan kalung manik-maniknya. Bagus Ata menambah sentuhan Bali lewat udeng yang menghiasi kepalanya. Merak berkalung identitas Banyuwangi melalui syal bermotif gajah oling di antara kaos putih, jas hitam, dan celana pendek krem. Sementara itu, Rangga tampil santai dengan rambut panjang ikal terikat, kaos, dan celana pendek hitam, membiarkan kesederhanaannya bicara. Di sisi lain, Vito tampil kasual dengan kaos hitam berbalut jaket putih, celana hitam, sepatu keds, dan rambut panjang lurus terurai.
Dalam kebersamaan mereka, gerak tubuh dan bunyi instrumen berkelindan menjadi satu kesatuan yang lebih dari sekadar pertunjukan. Setiap pilihan kostum, sentuhan gerak, dan hentakan bunyi mengisyaratkan narasi yang hidup, tak hanya di dalam panggung, tetapi juga di luar batasan waktu dan ruang. Mereka membentuk sebuah ruang imajinasi yang mengundang kita masuk dalam peta bermusiknya. Di tangan mereka, musik bukan hanya suara, melainkan perjalanan, jembatan, dan panggilan untuk menarikan imajinasi setiap penyaksi peristiwa kolaborasi. [Galih Prakasiwi].
Sudah baca yang ini?:
Seni Menegosiasikan Ruang : Catatan dari Kaba Festival 4
Stroberi, Metonimi, & Upaya Karangdunyo Mencari Dunia Selain Sini dengan Ruter Wifi
KAMAFEST 2019: Upaya Penebalan di Titik Berangkat
Mampir Ngombe di Larantuka : Oleh-oleh Seniman Mengajar
Teater Mandiri Menyentak Untuk Mandi Sendiri di ISI Yogyakarta
Lengger Sebagai Arsip: Sebuah Usaha “Escape from Identity”
- Simfoni Lintas Komponis: Memetakan Bunyi, Menarikan Suara - 8 Januari 2025
- Kompleksitas Ambang dalam NoSheHeOrIt - 9 Desember 2018