BERGURU PADA ALAM: Dari Silek Minang ke Gumarang Sakti dan Tari Kontemporer Indonesia
Riyadhus Shalihin.
Ruang Budaya Gerak Silat dalam Karya Seni
Seorang anak mencari pembunuh ayahnya di salah satu desa di Sumatera Barat, dimana terdapat dua buah perguruan yang dipimpin oleh Datuk Langit dan Saleh. Lukman, setelah ditolak oleh Datuk Langit karena tidak memiliki kerbau sebagai prasyarat menjadi murid akhirnya pergi tanpa tujuan. Di sebuah sawah dirinya mendapati Saleh yang hendak dirampok oleh beberapa anak buah Datuk Langit. Singkat cerita akhirnya Lukman berguru pada Saleh, yang lebih menjadikan silat sebagai alat-bertahan hidup daripada alat-menyerang, dimana perguruannya pun terletak di sebuah rumah panggung yang menjadi surau, dan aktivitas latihan persilatannya dilakukan di depan surau. Kisah tersebut merupakan gambaran dari film ‘Harimau Tjampa’[1] karya/Skenario dari D.Djajakusuma yang dibuat pada tahun 1953, yang berlatar tempat di salah satu wilayah di Sumatera Barat–yang dibuat tak bernama, namun diyakinkan dengan shot-shot yang menampilkan rumah khas Minangkabau, sawah-sawah dengan sistem pengairan terasering, pasar tradisional dengan tenda kayu, orang-orang yang tak bersepatu dan ikat kepala hitam serta sarung yang terikat di bahu.
D.Djajakusuma mempergunakan silat sebagai salah satu bahasa untuk memperlihatkan keberadaan praktik tubuh dan ruang yang melahirkannya, yaitu Silat dan Minangkabau (Sumatera Barat). Diperlihatkan dalam film tersebut salah satu adegan pelatihan oleh Saleh terhadap Lukman bertempat di bawah surau/masjid desa. Lokasi ini bagi praktik silat sangatlah terikat dengan keberadaan adat, teritori dan waktu setempat. Disebut dengan ‘Sasaran Silek’ yang mengacu pada lokasi tertentu dimana pencak silat secara tradisional dipraktekan di Minangkabau. Sasaran Silek adalah sebuah lapangan terbuka sederhana di nagari Minang, yang dilakukan pada sore hari atau setelah beribadat Isya di masjid desa[2]. Film tersebut adalah film fiksi, yang melakukan rekayasa konteks dan mempergunakannya untuk kepentingan dramatik–unsur-unsur perkelahian menjadi bahasa-adegan untuk memperlihatkan ikatan dramaturgis antara silat dan kenyataan dua unsur hitam dan putih, jahat dan baik yang lahir dari pertentangan antara Lukman dan Datuk Langit, dan Saleh sebagai tokoh bijak yang menengahi dan memberi nasihat. Film ini memberikan penanda waktu di masa-masa Sumatera Barat berada di bawah kolonialisme, sehingga kultur ‘yang kuat yang berkuasa’ terasa wajar. Sebuah kurun waktu yang genting, karena setiap orang bisa dirampok dan dibunuh di jalan. Masa ketika feodalisme yang diperlihatkan oleh Datuk Langit−orang yang memiliki ilmu silat terkuat menjadi pemimpin nagari. Maka mau tak mau mempelajari silat adalah sebuah keharusan untuk melindungi diri. Situasi ini melahirkan kultur tubuh yang waspada dan bersiap-siap, dalam arti lain tubuh-silat adalah tubuh-siaga, bukan tubuh-menyerang. Dan tubuh-siaga tersebut terterapkan salah satunya melalui ‘mata yang selalu awas’ dan ‘kuda-kuda’, dan empat dasar teknik menyerang, yaitu : tendangan, pukulan, kuncian dan rengkuhan.
Fiilm ‘Harimau Tjampa’ berhasil memperluas kemungkinan silat sebagai bahasa-populer yang bisa diterjemahkan dengan luwes, namun D.Djajakusuma tetap mempergunakan ‘native’ dalam teknik silat sebagai pemain utamanya, yaitu Malin Maradjo, juara silat dalam Pekan Olahraga Nasional II pada 1951. Gambaran lainnya, yang bisa mengembangkan referensi keruangan dalam membaca budaya-gerak pada praktik-silat di Minangkabau ada pada lukisan Du Chattel yang berjudul ‘Kamponghuis Van De Pendoeloe, Soematra’ / (Rumah Kampung Pendulu), yang dibuat pada tahun 1930[3]. Lukisan tersebut memperlihatan amatan etnografis, yang tentunya tak betul-betuk mirip dengan alam setempat, subjektif dalam pewarnaan dan penghilangan beberapa kenyataan–kebiasaan yang dilakukan oleh para pelukis Mooi Indie–untuk memperindah imajinasi akan Hindia Belanda. Namun bisa kita lihat dalam lukisan tersebut, mengapa kultur berkumpul dan berlatih silat menjadi berkembang dan diminati dalam khazanah manusia Minang, sebab ruang yang tersedia di antara samping dan depan rumah menyediakan lahan yang lapang, sehingga tubuh bisa dengan leluasa bergerak, karena juga tarikan lebar dalam kuda-kuda silat yang membutuhkan ruang yang luas. Lukisan tersebut memperlihatkan sebagian besar kegiatan dilakukan di pekarangan rumah, dan di bale-bale rumah panggung.
Membaca Sejarah Tari dari Teknik Gumarang Sakti
Pada tanggal 18-19 September 2019, Helly Minarti−peneliti dan kurator tari−menginisiasi sebuah workshop & diskusi dengan tajuk ‘Workshop Teknik Tubuh Gumarang Sakti’ yang menghadirkan Benny Khrisnawardi–seorang penari dari kelompok Gumarang Sakti (pimpinan Almh. Gusmiati Suid) di Sarang Building, Kalipakis, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Workshop ini berusaha menyuguhkan apa yang disebut tubuh sebagai ‘arsip-hidup’–bagaimana Benny Khirsnawardi yang adalah penari di Gumarang Sakti semenjak tahun 1980 akan memberikan beberapa kosa-gerak dasar yang menjadikan bahasa-tari Gumarang Sakti, juga bagaimana teknik-silat kemudian digeser dasar konteksnya menjadi tak lagi terikat dengan ruang dan waktu Minangkabau, namun menjadi praktik-ketubuhan tari yang bisa beralih-bentuk dalam berbagai konteks dan situasi, tanpa terlepas dari sifat-sifat prinsipil atas silat, yaitu tubuh yang waspada dan siaga.
Lokakarya ‘Tubuh Gumarang Sakti’ ini sendiri diberlangsungkan sebagai cara menempatkan diri di tengah-tengah arus sejarah tari Indonesia, tak hanya sebagai pewarisan namun juga investigasi atas praktik tubuh-tari pada hari ini. Asumsinya adalah segala yang baru atau segala yang sedang menjadi tren tidaklah hadir dengan tiba-tiba. Ada sejarah yang sudah menubuh pada teknik tertentu dalam kosa-gerak tari kontemporer. Dalam lokakarya ini yang dibuka adalah cara baca yang sadar akan sejarah, terutama terhadap sejarah tari, bahwa bahasa-tari selalu merupakan hasil eksplorasi yang berulang-ulang hingga akhirnya mewujud menjadi bahasa yang khas, semisal : menggelinding dan melompat, lalu dipeluk, loncat berulang di tempat sambil mengibaskan tangan dan kepala, patahan tubuh yang menghentak lantai panggung. Beberapa teknik tersebut misalnya, sebenarnya memiliki muasal yang bisa kita telusuri. Salah satu point penting dalam percakapan ini adalah bahwa kelompok tari Gumarang Sakti dan koreografer Gusmiati Suid & Boi G Sakti merupakan salah satu tulang punggung dari perkembangan bahasa-tari kontemporer Indonesia. Ini terutama pada modus dramaturgi dari praktik-gerak dalam khazanah kultural yang khusus/khas–seperti silat di Minangkabau−yang kemudian dilepaskan dari konteks geokultural aslinya, dan dipertemukan dalam percakapan yang lebih luas, seperti kondisi sosial-politik Indonesia, ekonomi, dan berbagai isu-isu yang lebih global, juga proses menautkan diri dalam konstelasi tari yang lebih kosmopolit, baik dalam percaturan festival-festival tari Internasional maupun kolaborasi dengan seniman-seniman dari Eropa.
Cara baca tari yang sadar akan sejarah tari semacam ini sebenarnya sudah ditubuhkan sejak awal oleh Gumarang Sakti sendiri, terutama oleh Gusmiati Suid, yang juga membaca secara aktif praktik tubuh tari Hoerijah Adam. Helly Minarti dalam esai pengantar lokakarya menyampaikan perihal membaca pergeseran dramaturgi dari praktik Hoerijah Adam, yaitu: Berawal dari bagaimana Hoerijah Adam mentransformasikan identitas kultural tari Minangkabau yang tadinya hanya sekedar kegiatan pengisi waktu ataupun pertunjukan pariwisata menjadi sebuah bentuk tari teatrikal yang bermartabat, sehingga pada prosesnya, mengubah makna korporeal (ketubuhan) dari tari Melayu menjadi sebuah ungkapan lokal dari kosa-gerak berbasis pencak-silat. Bergesernya tubuh yang berdiam di wilayah waktu-senggang/luang dan wisata menjadi tubuh yang transformatif, berubah-ubah, tubuh yang tekun/tubuh yang liat. Hoerijah Adam sendiri memiliki amatan terhadap apa itu yang disebut sebagai ‘Tari Minangkabau’ sebagai ungkapan kesan tubuh terhadap alam yang ada di sekeliling si penari. Disebutkannya : Tari Minangkabau dan alam di sekelilingnya. Impresi terhadap alam di sekelilingnya. Macam macam tarian Minangkabau seperti: Alang Bentan, Adau-Adau, Barabah, Sidjundal, Sibadinding, Sigandjolalai–pada umumnya mengambil figur dan gerakan burung atau manifestasi perasaan terhadap gerakan burung. Kode ‘impresi terhadap alam di sekelilingnya’ merupakan praktik artistik yang sudah berlangsung berabad-abad–lazim disebut sebagai dimensi mimetik dalam sejarah estetika. Ini senada dengan Vitruvius (meninggal 15 SM) yang melalui kitab De Architectura berargumen bahwa manusia merancang arsitektur rumah pertama kali dengan meniru cara binatang membuat sangkar. Metafor lainnya dalam kalimat Hoerijah Adam mengenai ‘manifestasi perasaan terhadap gerakan burung’ juga menjelaskan mengenai konsepsi mimetik pada pemikiran Ibnu Rushd–yang baginya: ‘seniman yang baik adalah ia yang tidak hanya mampu menghasilkan gambaran yang enak dilihat, tetapi juga menghadirkan kodrat alam ke dalam karya seni’. Lebih jauh lagi dikatakan ‘bukan sekedar penyalinan empirik, tetapi juga tentang kemungkinan-kemungkinan yang indah’[4].
Kembali ke film ‘Harimau Tjampa’, darinya kita melihat bagaimana silat ditempatkan bukan sebagai medium-menyerang, tetapi medium-perlindungan diri. Di salah satu adegan diperlihatkan peristiwa ketika Lukman sedang bersantai menikmati kopi di warung, lalu datang seorang anak buah Datuk Langit yang memperingatkan Lukman: “hati-hati di desa orang lain, salah sedikit maka kamu mati”–bahkan ketika ingin bersantai diri di dalam warung saja, seseorang harus selalu bersiaga-berwaspada, tubuh harus selalu curiga, ke depan, ke kanan dan ke kiri. Cocok dengan Benny Khrisnawardi (Uda Beni) yang menerangkan dalam lokakarya bahwa prinsip dasar dari silat adalah memiliki mata yang selalu terbuka. Disebutkannya kepada peserta lokakarya−yang di antaranya adalah koreografer dan penari muda potensial dari skena tari kontemporer Indonesia hari ini−seperti juga yang diajarkan Saleh kepada murid-murid di film ‘Harimau Tjampa’, bahwasanya syarat pertama untuk menjadi pendekar silat adalah untuk selalu membuka mata. Tentu saja arti dari kata ‘membuka mata’ yang disebutkan Saleh berarti ‘awas dan curiga’. Tindakan waspada inilah yang menyebabkan adanya perbedaan yang mendasar pada tari kontemporer Indonesia yang menggunakan praktik-silat sebagai bahasa koreografinya. Helly Minarti menyatakan ‘kalau nonton Gumarang Sakti itu gw selalu deg-degan’–debar ini mungkin disebabkan oleh pengalaman tubuh yang awas pada pengalaman ketubuhan silat, yang akhirnya teresonasi dalam pemanggungan, juga oleh tubuh penonton. Tak hanya sekedar gambar, namun juga dimensi keruangan.
Gusmiati Suid menyebutkan secara menarik hubungan kosa-gerak ini dengan dimensi ruang, terkait dengan kewaspadaan dan curiga. Baginya: ‘maka dalam setiap gerakan tari Minang, tidak ada bagian tubuh yang dikosongkan. Gerakan selalu mengimbangi ke depan dan ke belakang, serta pandangan yang mengarah tertentu, seluruh dimensi ruang harus dikuasai. Tari Minangkabau, seakan mempunyai dimensi penuh’. Kepenuhan inilah yang bagi saya seperti mengunci perhatian antara tubuh-penari dan tubuh-penonton pada pertunjukan dari Gumarang Sakti, yang membuat penonton dan penari terikat dalam perhatian dan waspada, menjadi magnetis.
Sementara Hoerijah Adam pernah menyatakan bahwa ‘dasar dari tari Minangkabau sendiri dasar-dasar pencak, gerakan utama dari berbagai tari merupakan langkah, hal ini tak lepas sikap atau pembawaan orang Minangkabau yang selalu curiga dan waspada. Apabila bersalaman, tidak semuanya diserahkan, tangan kanan dijulurkan tetapi, tangan kiri diselipkan di bawah ketiak tangan, sikap ini adalah sikap bersedia apabila tiba-tiba diserang mendadak’. Hal tersebut, memberikan kenyataan bagaimana ‘alam’ sebagai dua bentuk panorama: yang pertama lingkungan alam yang disebut tempat berdiamnya manusia, hewan dan tumbuhan, dan yang kedua alam sebagai lingkungan sosial dan politik. Metafor alam tersebut kemudian bersambut dengan dua prinsip hidup manusia minang, yaitu ‘alam terkembang menjadi guru’ dan ‘dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung’, pada yang pertama terlihat bagaimana cara melihat alam sebagai guru–bahwa alam yang ada dalam kosa-gerak melahirkan peniruan gerak burung atau imajinasi atas watak-gerak burung−dan alam sosial-politik yang melahirkan tindakan waspada, dan gerak-silat untuk mempertahankan diri. Hoerijah juga memiliki pemikiran yang menggunakan cara berifikir analogis–atau cara berfikir pepatah, misalnya dalam karya ‘Barabah’–yang merupakan tarian abstrak pendek yang merepresentasikan burung kecil dengan nama sama, yang oleh Hoerijah secara metafor diibaratkan dengan dinamisme masyarakat Minangkabau.[5] Penggunaan gabungan antara imajinasi alam yang natural dan alam yang politis ini juga hadir dalam praktik Gusmiati Suid, misalnya dalam teknik ‘jatuh kucing’, salah satu kosa-gerak Gumarang Sakti. Ketika ‘jatuh kucing’, tubuh kita ini tidak mati. Ketika kita jatuh, tangan kita masih hidup, bisa untuk menyerang atau untuk menangkis. Begitu juga dengan kaki dan seluruh bagian tubuh. Gusmiati Suid mengistilahkan Alam terkembang menjadi guru, atau berguru pada alam. Berguru pada alam berarti juga berguru pada perubahan, di dalam alam terjadi perubahan, hidup berubah semua berubah. Seiring dengan perubahan tersebut, kita harus selalu waspada, bukan hanya pada manusia tetapi juga politik, ekonomi, sosial budaya. Imajinasi lainnya bisa kita lihat dalam karya-karya Gusmiati Suid yang berjudul Alang Babega atau ‘Elang Terbang di Awan’ dan Kasawah atau ‘Pergi ke Sawah’.
Bagian lainnya yang juga menarik dari tulisan Helly Minarti adalah tentang proses transformasi pengajaran atau penciptaan kurikulum tari di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) yang ditemukan oleh Hoerijah Adam. Hoerijah semacam melakukan penelusuran etnografis yang merekam dengan tubuhnya sendiri–karena ia sendiri memiliki pengalaman melakukan kunjungan belajar menjadi murid (nyantrik) kepada berbagai guru-guru silat/tari di desa-desa di Minangkabau selama satu decade. Saya membayangkan ini bukan sekedar menyerap gerak namun juga konteks tempatan, karena dalam tradisi ‘nyantrik’ sang murid harus tinggal dan bekerja dalam keseharian selama kurun belajar, bahkan tujuan ‘belajar ilmu’ itu sendiri baru akan diberikan saat sang ‘empu’ atau sang guru sudah mulai merasa percaya untuk menurunkan ilmunya tersebut. Pada film ‘Harimau Tjampa’ kita dapat melihat Lukman yang diperlakukan sama dengan murid-murid Saleh yang lainnya, dimana dirinya harus turut membajak sawah, mencangkul, mengaji, sholat, dan tinggal di padepokan/perguruan tersebut. Ketika Saleh melihat kesungguhan Lukman barulah sang guru memutuskan untuk mengajarinya. Pada praktik yang lebih modern misalnya pada jurusan Tari yang ada di LPKJ, Hoerijah semacam mempersingkat proses pewarisan teknik ini, dimana dirinya sudah memilih bentuk yang sudah dikuasi oleh tubuhnya tersebut menjadi 13 frasa gerak. Hoerijah kemudian memindahkannya dalam konteks pengajaran tari dalam akademi seni modern.
Titik pergeseran penting dari pewarisan teknik yang ditelusurinya sendiri melalui pakar-pakar silat di banyak nagari (desa adat) Minang tersebut, adalah pemisahan silat dari sumber konteksnya. Silat yang merupakan ungkapan budaya tempatan kemudian menjadi ungkapan pribadi seniman, menjadi selera subjektif.
Helly Minarti menuliskan ‘Hoerijah melangkah lebih jauh dengan menyeleksi beberapa gerakan tadi yang menarik selera pribadinya, yang selama bertahun-tahun mekontekstualisasi ulang untuk bisa digunakan ke dalam ciptaan tariannya yang baru−sebuah proses yang akhirnya membangun dasar dari estetika khas Hoerijah. Hasilnya, variasi yang dilahirkan Hoerijah tidak lagi terlihat ‘Minang’ bagi orang Minang, karena ia sudah di-individualisasi-kan menjadi milik Hoerijah. Laku mengkodifikasi pengetahuan korporeal (ketubuhan) yang dulunya dimiliki komunitas secara kolektif menjadi milik pribadi−yaitu dengan mengambil kepemilikan personal dari gaya tersebut, dan kemudian menggeser makna dari sumbernya yang asli−adalah hal yang menjadikan Hoerijah seorang seniman modern. Seni tari modern dari seorang Hoerijah Adam yang mulanya seorang pembelajar dari perguruan-perguruan Silat di tanah asal muasal kelahiran silat–kemudian membawanya menjadi seorang ‘sekuler’ dalam artinya melepaskan bentuk dari lingkungan asalnya−dan menjadikannya sepenuhnya milik pribadi, menjadi modern, telah menjadi ungkapan batin yang khas dirinya, dan menjadikannya berbeda dengan seniman lain. Senada dengan pernyataan Helly Minarti, Edi Sedyawati pernah menuliskan di koran Sinar Harapan amatannya terhadap seni tari kontemporer Indonesia, dengan cara membandingkan dengan tradisi tari kontemporer di Eropa dan Amerika yang bergegas dari tradisi Ballet, dengan analogi ‘meminjam dan melepas’ yaitu ketika satu bentuk warisan gerak tertentu di satu daerah, dilepas dan diperluas. Baginya sendiri ‘Tari Modern berdasar pada ballet tapi sekaligus melepaskan bentuk yang ketara dari balet, dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas untuk menggerakan tubuh. Sebenarnya prinsip dari Modern Dance adalah kebebasan dari patokan, terdapat pada caranya berlatih, yaitu : improvisasi, komposisi, penghayatan sifat gerak dan bentuk-bentuk’[6].
Pergeseran dari silat sebagai budaya massal menjadi ungkapan-personal ini kemudian diperluas lagi oleh Gusmiati Suid melalui Gumarang Sakti, dimana dirinya lebih tertarik mengamati ‘alam sebagai yang politis’, dimana dirinya perlahan-lahan menggubah bahasa-koreografinya dari karya-tari yang abstrak-naratif menjadi lebih berbentuk teaterikal yang sifatnya berupa komentar atas situasi sosial politis di Indonesia.
Helly Minarti melihat periode penting tersebut dalam empat tahun terakhir masa hidup Gusmiati (1997-2001). Mulai dari karya ‘Kabar Burung’ (1997) dimana Gusmiati secara khusus mengundang penutur kaba atau sastra tutur Minang yang spesialisasinya membawakan bentuk sijobang–salah satu dari bentuk kaba di ranah kebudayaan pertunjukan Minangkabau. Sijobang adalah nama yang diberikan untuk satu gaya berdendang (syair) Minang tentang seorang pahlawan Minang berjuluk Anggun Nan Tungga (Phillips, 1981:1). Gusmiati mengadaptasi bentuk sijobang secara dramaturgi tetapi menulis ulang isi teksnya berdasarkan pada pembacaaannya tentang situasi politik Indonesia saat itu. Ia melukiskan proses kreatif menafsir ini sebagai ‘membaca zaman dimana kita hidup’ (Surat kabar D&R, 17 Oktober 1998).[7]
Di dekade 1990an, gaya tari yang terinspirasi dari gaya Minangkabau yang unik telah meneguhkan eksistensinya di ranah tari kontemporer Indonesia, minimal dilihat dari perspektif di Jakarta. Hal ini terutama terjadi dimulai dari migrasi dua agen tari, yaitu oleh Hoerijah Adam di periode 1970-an dan oleh Gusmiati Suid di periode 1990-an–saya melihat kedua tokoh ini dengan benar-benar mempraktikan apa yang disebut sebagai ‘merantau’/bermigrasi, dimana Jakarta sebagi ‘bumi yang dpijak dan langit yang dijunjung’ memberikan daya tawar tersendiri bagi proses perumusan koreografi kedua tokoh tari tersebut. Jakarta sebagai ‘agora’, tempat berkumpul, bertarung, pusat-isu, dialami dan diamati secara baik-baik dan penuh, terutama oleh Gusmiati Suid dan anaknya Boi G Sakti, untuk dipelajari dan ditubuhkan. Periode panas politik Indonesia dari tahun 1997-1998, juga menjadi tahun yang produktif dalam praktik koreografi Gumarang Sakti, seperti karya ‘Api Dalam Sekam’. Sejauh ingatan saya dari melihat sesi menonton arsip video pertunjukan, karya ini kemudian terasa lebih padat secara skenografis juga lebih rumit pada tataran dramaturgis, dimana pertunjukan tak lagi hanya eksperimen gerak saja, namun juga penyutradaraan adegan–misalnya saat seorang penari membuka sebuah pintu yang ada di belakang panggung kemudian terlihat seorang lelaki yang sedang bersemadi telanjang dengan rintik-rintik hujan yang membasahi tubuhnya, kemudian saat keluar dari ruangan tersebut seorang perempuan lain dengan baju khas perempuan Minang mendatangi dan menyeka tubuh lelaki tersebut dengan handuk, sebelum kemudian dikenakan pakaian silat khas Minang. Adegan lainnya, misalnya terlihat beberapa perempuan sedang menumbuk padi, membuat hymne bunyi antara kayu tumbuk dan lesung yang bertalu-talu, lesung itu sendiri mengeluarkan api dari dalam lubangnya, para perempuan tersebut tentunya tak lagi menumbuk beras, sebuah metafor skenografis yang diciptakannya bersama Boi G Sakti –anaknya, yang berlaku sebagai penata artistik pertunjukan.
Pesona dari ‘Api Dalam Sekam’ tersebut saya bayangkan tak lagi sebatas fakta-krisis ekonomi 1998, atau perluasan bentuk gerak-silat dan pergaulannya dengan dimensi-politis, tapi juga melampaui keduanya. Karya tersebut tak lagi hanya sekedar dokumentasi kenyataan namun juga fiksi / fictio. Salah satu adegan yang sangat kuat yaitu ketika seorang wanita dengan dandanan kostum yang lengkap tata busana dan kosmetiknya menjadi pembuka pertunjukan. Ia hanya duduk dan diam selama lebih dari 10 menit. Barthes menyebut teknik semacam ini ‘disartikulasi’, yaitu semacam melakukan ‘cutting’ (memotong) atas struktur, yang sudah tersedia[8], dimana Gusmiati Suid mengartikulasikan busana pinangan dalam tradisi perkawinan mempelai wanita Minang–dilepas dari fakta aslinya, dan ditempatkan sebagai benda diam yang beku, statis.
Kembali soal Lokakarya yang diinisiasi Helly Minarti, ini memang terasa kurang lengkap, karena hanya diadakan selama dua hari. Namun, yang juga menjadi daya-tari dari program lokakarya ini adalah penggabungan antara arsip Gumarang Sakti yang sifatnya arsip-mati, dengan arsip-hidupnya sendiri, yaitu Benny Khrisnawardi–seorang penari yang lahir di Batusangkar (Sumatera Barat), belajar secara formal di jurusan tari IKJ, dan menjadi penari/asisten koreografer dari Gusmiati Suid di Gumarang Sakti sejak 1980. Oleh sebab itu, para peserta kemudian dapat melihat alur lokakarya secara ulang-alik antara arsip-literatur (tulisan dan film) dan arsip-hidup melalui teknik-teknik dasar yang diperkenalkan oleh Uda Beni kepada peserta Lokakarya. Bunga-bunga silat tersebut merupakan pintu masuk pada sejarah ketubuhan Gumarang Sakti, yang juga secara lebih luas bisa dianggap upaya penelusuran terhadap sejarah ketubuhan tari kontemporer Indonesia itu sendiri.
….
[1] Katalog Mini Film Indonesia Klasik & Kontemporer (1951-2015 ) 2017. ‘Harimau Tjampa’ D.Djajakusuma,
[2] Katalog Program Indonesian Dance Festival 2014, Perguruan Silek Kumango ‘Sasaran Silek’.
[3] M.Agus Burhan, ‘Seni Lukis Mooi Indie’ 1900-1942, Galeri Nasional Indonesia.
[4] Martin Suryajaya, ‘Sejarah Estetika – Era Klasik Sampai Kontemporer’, Gang Kabel – Indie Book Corner, 2016.
[5] Helly Minarti, Warisan Artistik Hoerijah Adam dan Gusmiati Suid : Gerak, Teknik, Kosa Tari dan Koreografi. Diktat I ; Workshop Teknik Tubuh Gumarang Sakti ( 2019).
[6] Edi Sedyawati. ‘Masalah Kontemporer Dalam Seni Tari Indonesia’, Sinar Harapan, 31 Desember 1970.
[7] Helly Minarti, Warisan Artistik Hoerijah Adam dan Gusmiati Suid : Gerak, Teknik, Kosa Tari dan Koreografi. Diktat I ; Workshop Teknik Tubuh Gumarang Sakti ( 2019).
[8] St. Sunardi. ‘Semiotika Negativa’, Kanal Yogayakarta, 2002.