Resiko Lakon yang Ditulis Kemudian
[Ridwan Hasyimi]. Pelacuran tak pernah lekang diperbincangkan. Sebagai sebuah fenomena purba ia punya banyak sisi untuk dikupas. Padanya melekat bukan hanya soal birahi dan transaksi selangkangan, melainkan politik, sistem sosial, bisnis, premanisme, cinta, dan lain sebagainya.
Bode Riswandi melalui “Lakon yang Ditulis Kemudian” memilih melancipkan persoalan pelacuran pada kisah perempuan yang dijual “diam-diam” oleh kekasihnya sendiri.
Sutinah namanya. Ia yatim piatu yang tak bersanak-saudara. Sukat, kekasihnya, menjualnya pada seorang mucikari yang diakui sebagai bibinya demi segepok cuan. Sukat kabur dengan dalih hendak membereskan masalah yang menimpa orang tuanya dan berjanji akan menemuinya jika masalahnya sudah selesai.
Sutinah menolak pasrah. Sikapnya yang ogah-ogahan meladeni pelanggan sering membuat mucikari naik pitam. Suatu hari, ia bunuh mucikarinya karena kepalang muak. Alih-alih melarikan diri, Sutinah bertahan di lokalisasi itu sampai empat puluh sembilan tahun lamanya, demi menunggu Sukat.
Sukat menjelaskan bahwa alasannya menjual kekasihnya, lantaran adik perempuannya yang masih perawan dijual oleh bapaknya sendiri. Sakit hati oleh hal itu, Sukat memutuskan semua perempuan perawan yang ia kenal harus bernasib serupa. Sutinahpun kepalang dendam, maka dibunuhnya Sukat tepat di rumah bordil tempat ia dijual empat puluh sembilan tahun silam.
Kendati berupaya lancip, teks yang terlahir dari riset ini tetap berupaya memotret kompleksitas pelacuran sebagaimana adanya. Pilihan ini baik, tetapi punya resiko sendiri. Bode menghadirkan kompleksitas itu di awal pertunjukan, melalui penghadiran tokoh-tokoh yang datang selintas lalu. Demikian juga narasi yang mereka sampaikan, padahal ia cukup bergizi sebagai wacana dan informasi.
Dalam tataran tekstur, teknik pengadegan semacam itu perlu mendapat point of interest yang memadai dan tepat demi menghindari simpang-siur yang tidak jelas. Kalau sudah begitu, alih-alih menjadi bagian integral dari pertunjukan, hal-hal itu kesannya jadi tempelan yang tidak padu dan tidak perlu.
Pada pertunjukan UKM Teater 28 UNSIL yang saya tonton pada Sabtu, 6 Mei 2023 malam di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya itu, adegan awal yang barangkali diniatkan sebagai gimik atau lanskap cerita utama, justru malah terlalu penuh. Ia luber sebagai muqadimah dan terlalu tebal sebagai kulit. Banyak informasi dan gagasan yang ingin disampaikan tentang perempuan, tetapi hadir tanpa porsi yang pas sehingga terlalu banyak yang luput dari konsentrasi penonton.
Boleh jadi pilihan rame-rame begitu adalah demi semua anggota bisa naik panggung. Teater 28 UNSIL adalah kelompok teater yang punya sumber daya manusia yang melimpah untuk ukuran sebuah kelompok teater di daerah. Tiap kali produksi, setidaknya lima puluh orang terlibat termasuk tim produksi. Pertimbangan “semua naik panggung” bisa jadi menguntungkan atau malah sebaliknya.
Karena terlalu banyak yang diurus, detail kecil jadi kurang terurus. Dalam banyak kesempatan, hal-hal kunci yang layak mendapat perhatian dari aktor dan rancangan adegannya malah terlewat begitu saja. Misalnya saja, jam tangan Sukat yang dalam teks sepertinya dirancang sebagai penanda kontinuitas tokoh, sekaligus ruang dan waktu. Pada teksturnya, ia jadi terlalu tipis sebagai penanda.
Pada bagian pembuka, sempat ada troli belanjaan yang dinaiki sejumlah perempuan sambil didorong seorang badut. Saya pikir itu simbol dari komodifikasi/objektifikasi perempuan dalam dunia pelacuran. Sayangnya—seperti jam tangan Sukat—ia kurang mendapat point of interest dan dukungan semesta panggung, sehingga konstruksi semiotiknya rapuh.
Untungnya, cerita disampaikan dengan alur maju-mundur: ada Sutinah-Sukat versi muda (masa lalu) dan versi tua (masa kini). Kecuali permainan alur seperti itu, adegan-adegan juga dirancang tidak terlalu panjang. Dua hal ini menolong dinamika pertunjukan yang direncanakan akan dipentaskan keliling Jawa-Bali ini jadi tidak terlalu membosankan, walau black out yang keseringan itu cukup mengganggu.
Salah satu tantangan memainkan pertunjukan beralur demikian adalah menjaga kontinuitas dan logika waktu. Sutinah-Sukat, versi tua dan versi muda, masih lengah dalam hal ini. Tubuh tua Sutinah tidak berbicara apa-apa sebagai saksi sekian pengalaman buruk yang menimpa dirinya. Padahal tubuh lebih jujur dari kata-kata. Ketika Sutinah dan Sukat tua bertemu, rasanya terlalu biasa sekali untuk manula yang menyimpan perasaan mendalam dan belum dituntaskan. Tidak ada getaran emosi yang menjalar sampai ke penonton, padahal hampir setengah abad mereka saling memendam rasa sesal dan dendam.
Realitas panggung kadang kala menuntut logika yang lebih rigid daripada realitas faktual yang absurd ini dan dendam selalu datang terlambat. Apa yang Sutinah lakukan tak memperbaiki keadaan. Ia tetap dijual, tetap dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial. Perempuan tetap menjadi korban.
Tapi perempuan pendendam masih lebih baik, sebab realitas tidak akan berubah tanpa api yang membara.
- Resiko Lakon yang Ditulis Kemudian - 4 Juni 2023
- Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Tasikmalaya - 8 Januari 2023
- Absurditas “Amanat Galunggung” dalam Pertunjukan “Leu Low” - 23 September 2022