DUKUN-DUKUNAN DAN MATINYA KEPAKARAN
[Ekwan Wiratno]. Malam minggu yang cerah, 27 Juli 2024, di antara berbagai keramaian yang menghiasi kota, terselip sebuah pertunjukan teater oleh Komunitas Pribumi yang bernaung di bawah Yayasan Ruang Seni Pribumi. Pertunjukan ini mengambil naskah Dukun-Dukunan karya Moliere dengan judul asli Tartuffe yang telah diadaptasi oleh Puthut Buchori menjadi sangat Indonesia. Pertunjukan yang digelar di Gedung Budaya Loka, Kota Tuban ini sekaligus menggandeng Group Keroncong Tuban Gandara Loka sebagai pengiringnya. Kombinasi yang menarik di tengah kelompok teater yang umumnya memaksakan sumber daya internalnya yang pas-pasan alih-alih menggandeng ahli di bidangnya.

Dukun-Dukunan, sekali lagi
Naskah Dukun-Dukunan yang ditulis pada tahun 2004 ini entah sudah berapa ratus—mungkin bahkan ribuan—kali dipanggungkan. Naskah yang merupakan saduran sangat bebas dari naskah aslinya ini masih sangat relevan di tengah masyarakat yang masih percaya klenik, masyarakat yang tidak bisa membedakan informasi benar-salah, juga masyarakat yang mudah ditipu. Gambaran keluarga-keluarga yang digambarkan ini sangat dekat dengan masyarakat kita, mungkin tetangga, mungkin teman-teman, atau mungkin kita sendiri. Kedekatan inilah saya kira sebab utama mengapa naskah ini sangat laris-manis, baik oleh pelajar, mahasiswa maupun masyarakat umum.
Memang tidak terlampau berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya, tapi produksi Komunitas Pribumi ini memberikan kematangan yang jarang kita temukan. Hampir semua aktor adalah mereka yang telah bertahun-tahun menggeluti dunia teater, bahkan setengah dari mereka sekaligus adalah pembina teater pelajar. Kematangan ini tentu berakibat pada kualitas pertunjukan. Pertunjukan yang dikemas secara longgar—tidak mendewakan teks naskah—menyediakan ruang yang cukup lebar bagi aktor untuk mengisi setiap suasana pertunjukan. Tokoh Parji PRT yang dikembangkan menjadi 2 orang pemain justru menciptakan tek-tok yang menggelegarkan tawa penonton. Keputusan ini tentu sangat patut diapresiasi. Aktor-aktris lain juga sanggup memerankan tokohnya, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Meski demikian, hal ini tidak cukup mengganggu delivery cerita dan humor.
Pertunjukan yang sekaligus merayakan Dies Natalis ke-12 Komunitas Pribumi ini menggandeng Group Keroncong Tuban Gandara Loka yang sedang moncer. Group keroncong ini banyak menghiasi berbagai acara di Kota Tuban. Pelibatan Gandara Loka memberikan suasana berbeda bagi pertunjukan teater. Musik-musik yang dihasilkan, meskipun belum sepenuhnya diciptakan khusus untuk pertunjukan ini, tapi masih dapat ditarik relevansinya. Melodi-melodi khas Gandara Loka mampu menguatkan sisi hiburan dari sebuah pertunjukan teater. Selain itu, para pemain musik bukan benda mati, mereka juga berperan dalam merespon pertunjukan melalui interaksi langsung dalam dialog dan celetukan-celetukan spontan. Pola pertunjukan seperti ini mengingatkan saya pada peran pemusik Djaduk Ferianto ketika mengiringi Butet Kertaradjasa dan Teater Gandrik, meskipun dengan intensitas lebih sederhana. Fungsi pemusik semacam ini rasanya menciptakan “aktor lain” yang akan memberikan kekuatan dan dukungan yang sangat menguntungkan apabila digarap dengan lebih responsif dan luwes. Penggunaan musik yang lebih menyatu dengan pertunjukan juga perlu dilakukan untuk memaksimalkan peran musik dalam pertunjukan teater. Dengan kombinasi peran pemusik dan koneksitas musik dengan pertunjukan akan menciptakan karya panggung yang luar biasa di masa mendatang. Penggunaan set yang cenderung sederhana dan tidak berubah juga tidak mampu memberikan gambaran tentang perbedaan tempat yang jelas. Hal ini rasanya perlu diantisipasi di pertunjukan selanjutnya.



Kepura-puraan dan matinya kepakaran
“That, at least, is my expert opinion on the matter. I could be wrong (Setidaknya, itulah pendapat berdasarkan keahlian saya tentang masalah ini. Saya bisa saja salah),” begitulah penutup buku The death of expertise: the campaign against established knowledge and why it matters karya Tom Nichols. Ada rasa rendah hati dalam kalimat itu, memberikan opini ahli sekaligus memberikan disclaimer bahwa seahli apapun tetap ada potensi terjadi kesalahan. Itulah yang semakin langka di jalan ini.
Akhir-akhir ini sedang ramai fenomena Mama Ghufron dengan kata ajaibnya “Maqoli” yang mengaku punya silsilah ke tokoh besar dan sebagai ahli agama telah mengarang 500 kitab. Ketika Covid-19 mewabah, ada juga yang merasa ahli dan mengatakan bahwa Covid tidak berbahaya dan cukup minum jamu saja sudah akan hilang. Di dunia media sosial sudah sangat banyak orang yang memberikan penjelasan tentang suatu fenomena, memberikan fatwa bahkan menyalahkan kajian ilmiah. Sepertinya memang kita telah tiba pada era matinya kepakaran, seperti disebutkan Tom Nichols.
Secara gamblang, fenomena orang mengaku ahli seperti kita lihat di sekitar kita juga nampak di pertunjukan Dukun-Dukunan. Pertunjukan yang diangkat dari naskah asli Tartuffe karya Moliere ini menampilkan seorang pengangguran yang karena kecelakaan persepsi kemudian dinobatkan sebagai seorang dukun terkenal. Orang yang bahkan mencari kerja saja tidak bisa tiba-tiba dianggap sebagai ahli yang mampu melakukan pengobatan. Meskipun mirip, tetapi naskah Tartuffe bahkan lebih keras lagi mengeritik fenomena itu melalui tokoh yang menyamar sebagai pemuka agama yang mengincar putri saudagar sekaligus hartanya.
Fenomena orang mengaku ahli seperti ini rasanya telah terjadi di banyak sektor, termasuk kesenian. Banyak pula yang mengaku seniman hanya karena sudah sering nongkrong dengan seniman, lalu memberikan fatwa dan dakwaan pada sebuah karya. Di dunia seni rupa juga beberapa saat lalu dihebohkan oleh Rico Dwi Cahyono—yang masih berstatus mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes)—yang diduga melakukan banyak plagiasi pada karya digitalnya. Tidak sedikit yang telah terlanjur percaya bahwa Rico memiliki kemampuan melukis yang luar biasa melalui akun Tiktoknya, sekaligus juga memberikan tips bagaimana melukis secara digital yang baik, akhirnya harus merasa tertipu.


Pribumi dan langkanya teater independen
Kembali pada konteks teater, Komunitas Pribumi ini merupakan salah satu komunitas yang paling aktif di Kota Tuban. Seperti kita tahu—di kota besar maupun kota kecil—jumlah kelompok teater independen yang sangat sedikit jumlahnya, apalagi apabila kita bandingkan dengan teater pelajar atau mahasiswa. Keberadaan teater independen secara umum merupakan kristalisasi semangat dan ketekunan dari seluruh teater yang ada di suatu wilayah. Hal ini karena tidak banyak yang tetap konsisten berteater meskipun telah lulus dari bangku sekolah dan kampus. Mereka yang tetap berada di dunia teater independen merupakan orang-ornag dengan ‘otot’ kesenian yang terbukti tangguh.
Keberadaan Komunitas Pribumi—yang kini merupakan bagian dari rumah besar Yayasan Ruang Seni Pribumi—sangat penting untuk membangun ekosistem teater di Kota Tuban. Terlebih, seperti saya sampaikan sebelumnya bahwa anggota Komunitas Pribumi banyak berperan sebagai pembina teater di level pelajar. Peran ini merupakan pengorbanan yang sangat besar, sekaligus sangat menentukan bagi kelangsungan teater di suatu wilayah. Hal ini terjadi sebab teater—diakui atau tidak—banyak ditumbuhkan dan dikenalkan melalui teater pelajar. Maka keberadaan teater independen seperti Komunitas Pribumi harus terus ada dan berproses sebagai contoh nyata suatu produk kesenian.
Banyak kita temui komunitas teater independen yang berusia panjang, tapi hanya berkarya 5-10 tahun sekali—banyak juga yang bahkan hanya didirikan, pentas sekali, dan mati lagi. Meskipun sulit, tetapi teater indepen harus terus ada dan produktif karena akan menjadi wadah yang lebih bebas dan memiliki peran pendobrak yang lebih kuat bagi masyarakat. Keberadaan teater pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya sangat melimpah kini tidak sepenuhnya menjadi wadah yang bagus bagi kesenian teater. Mereka terlalu dibebani regenerasi dan kegiatan rutin yang bahkan seringkali tidak terkait langsung dengan seni teater. Maka keberadaan teater independen seperti Komunitas Pribumi penting keberadaannya sebagai mercusuar perkembangan teater Kota Tuban.



Sudah baca yang ini?:
Jazz dan Teater Itu
Menonton Senyap: Mewarisi Tubuh Pantomim Marcel Marceau — Catatan untuk “Urun Tumurun...
Kalibrasi Ulang: Kurasi Festival Teater Jakarta Timur 2022
A Bucket of Beetles: Dari Serangga ke Isu Ekologi
Medium dan Memori Tubuh Penari : Catatan atas “Tubuh-Tubuh Setempat” karya Melynda Adria...
Open Call : Magang Tata Cahaya Pertunjukan
- DUKUN-DUKUNAN DAN MATINYA KEPAKARAN - 1 Agustus 2024
- MANA SOLIDARITAS SENIMAN TEATER UNTUK GAZA? - 25 Januari 2024
- Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024 - 18 November 2023