Kamis, November 14, 2024
ULASANPanggung Teater

12 Juri: Sebuah Satir dan Suara Hukum

[Syahruljud Maulana]. Ada sebuah adagium hukum yang mengatakan: “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.” Adagium ini kemudian menjadi asas yang sering digunakan Mahkamah Agung dalam mengambil keputusan sebuah perkara. Sebagaimana putusan MA No. 33 K/MIL/2009 menyebutkan bahwa “jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa bersalah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa, yaitu dibebaskan dari dakwaan.” Itu artinya, dalam hukum tak ada keputusan 99%, yang ada harus 100%.

Sejak mula kemunculan “12 Angry men” (Reginald Rose, 1957) dalam bentuk film klasik yang bersahaja dan fenomenal. Film ini telah mendobrak tatanan kancah sinema dunia dalam hal setting lokasi dan visual effect yang sering mendominasi. Film yang setting lokasinya hanya diambil di satu ruangan sempit, tanpa kemilau visual effect megah yang selalu digadang-dagang oleh persepsi para penonton yang bertengkar dengan malam. Drama film yang bertumpu pada kekuatan dialog serta keterampilan emosional ini telah menyumbang sebagian penanggapan dalam persoalan hukum dan moralitas. Dan lagi yang sedemikian tampak dari film ini ialah sisi manusiawi para juri yang mengalami perasaan dilematis dalam memutuskan apakah nasib seorang terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak bersalah.

IMG 20240716 214859 719 | 12 Juri: Sebuah Satir dan Suara Hukum
12 Juri. Dok. Teater Samana

“Ada yang menyatakan tidak bersalah?” demikianlah pertanyaan yang mengawali jalannya pertunjukan “12 Juri” Teater Samana, 29 Juni 2024, di Gedung Rumentang Siang. Ini satu pertunjukan peralihan dari naskah film menjadi naskah drama yang diterjemahkan dan disutradarai oleh Egi Sadewa. Upaya yang tidak mudah dalam menggarap naskah ini membuat saya merasa tergerak untuk mencatatkan (tanda “hangat”) sebagian hal-ihwal yang terjadi dalam pertunjukan.

Pertunjukan dengan pendekatan realis ini bertumpu pada kedalaman karakter pemeranan tiap aktor yang merepresentasikan psikologis manusia dalam merespons kompleksitas isu sosial, hukum, dan moralitas. Sebuah dramatik-eksploratif ini menampilkan kombinasi antara membangun dialog dengan penebalan emosi keseharian tertentu dapat mendorong terciptanya pemeranan yang realistis. Hal ini memungkinan penonton seperti menjadi juri ketiga belas sekaligus penyaksi yang hadir di dalam ruang pertunjukan bersama para aktor “12 Juri” itu. Sebagai spektator, dibiarkannya kita memasuki ruangan yang sedemikian kentara suasananya yang tegang, sumpek, dan intens tangga dramatiknya.

BACA JUGA:  BEASTLY : Ruang, Isu, Tema dan Dramaturgi

Plus sebagian pasase dialognya juga dipadu-harmonikan (cover lagu Pink Floyd, dan lain-lain) dengan penataan-pembawaan musik blues secara langsung untuk menguatkan suasana yang terbangun. Itu bukan sekedar musik latar suara, melainkan mengalir sebagai tempo dalam adegan secara bersamaan. Semacam transisi emosional yang bekerja sama dengan penandaan tipologi aktor agar dapat mencapai deskriptif realistiknya.

Melewati berbagai macam percakapan para juri ketika adu argumen, saya membayangkan hal lain yang tidak saya bayangkan sebelumnya dalam film, saat itulah yang terjadi tidak hanya sebuah drama di atas panggung, melainkan seperti peristiwa dalam pembayangan saya (seraya membaca novel) ini semacam drama detektif yang sedang melakukan proses investigatif yang didukung penuh secara dialog. Seperti kita ketahui bersama, biasanya penyelidikan dilaksanakan secara langsung di tempat kejadian suatu perkara, namun sebaliknya drama “12 Juri” justru mengikat penonton agar terlibat dalam mengolah reka adegan pembayangannya sendiri. Seluruh spektator dalam ruang pertunjukan ini bisa dibilang hadir dan mengalir sebagai juri ketiga belas yang mengambil sikap keberpihakan serta karakter bagi drama dalam pembayangannya masing-masing.

IMG 20240716 214853 284 | 12 Juri: Sebuah Satir dan Suara Hukum

Meskipun sebagian para juri yang aktor masih tampak tergesa-gesa demi menuntaskan dialognya sendiri, sehingga terkadang mereka kehilangan ekspresinya, maka lepaslah pula momentum emosionalnya. Yang terucap hanyalah kata-kata boyak yang tak sempat dirasakannya sendiri dalam tiap percakapan. Menjadi wajarlah jika ada yang berusaha lebih dalam karakternya, adapula yang terkesan setelah lepas dari sekedar melafalkan dialog saja. Mungkin hal ini yang membuat sebagian transisi situasi para juri saat mengambil-mengubah keputusan dari “bersalah” menjadi “tidak bersalah” terasa sedemikian ringkas, cepat, tapi luput dari tekanan memberi bobot karakter tiap kali adu argumen.

BACA JUGA:  Jejak Arifin C Noer di Festival Teater Cirebon ke-5, 25-29 April 2019

Padahal, dialog antar para juri pun tidak terlalu mendramatisir, malahan mengalir dan nyata. Flow-nya pun khas, kalau bisa dibilang unik, sebab percakapan yang emosional itu ternyata bisa mengubah amarah menjadi suatu komedi tak terduga. Beberapa kali saya sempat mendengar tawa dari sudut penonton ketika salah seorang juri sedang marah, kesal, bahkan kecewa. Semakin mereka serius dengan segala percakapannya, semakin ada celah yang mungkin tak disadarinya itu ternyata mampu mencairkan keadaan yang panas. Sebagaimana humor yang sungguh-sungguh bercanda dengan serius. Barangkali itulah keajaiban panggung, sesuatu yang tak pernah terbayangkan dapat terjadi adanya dengan kesungguhan dan kejujuran dalam menampilkan performa aktor yang realistis. Para juri itu mengejar kewajaran. Mengejar kewajaran pelisanan. Kewajaran emosional. Kewajaran tubuh. Wajar itu artinya bisa diterima, masuk akal.

Lain halnya dengan persidangan Mahkamah Rakyat Luar Biasa yang baru-baru ini diadakan, di Wisma Makara, Universitas Indonesia, Depok. Ini suatu persidangan rakyat yang sedemikian sadar untuk mengadili sembilan dosa Presiden Joko Widodo selama masa pemerintahannya atas kebijakan yang diduga telah merugikan rakyat. Peristiwa ini juga merupakan kesempatan untuk melayangkan banyak tuntutan warga yang hadir maupun yang menyaksikan jalannya persidangan. Akan tetapi, di tengah situasi negara yang belum serius dalam mengurus sistem demokrasi untuk menyelesaikan masalah hukum, menjadi wajarlah bila kursi tergugat (yang seharusnya diduduki oleh seorang Presiden) masih atau akankah selalu kosong dalam tiap persidangan.

Dari segi keseluruhan, “12 Juri” memang sulit dimainkan karena terlalu mengandalkan dialog sebagai daya cipta atau kemampuan karakter dan emosional untuk tangguh tahan dalam kekalutan. Kemampuan ini membuat para juri piawai dalam mencari dan menemukan kedalaman karakter menurut keadaan. Hal ini telah disaksikan, para juri mampu menaklukkan ketegangan dalam kewajaran bermain agar tidak terpeleset dalam percakapan yang bisa saja bertele-tele dan penuh kekenesan. Pasalnya, “12 Juri” itu seperti drama kata. Drama yang berbasis pada kata, di mana seluruh peristiwanya digulirkan oleh kata-kata. Sangat tekstual. Semuanya dimediasi oleh kata-kata yang memberi bobot emosional. Dan mereka telah berhasil membangun bagaimana interaksi itu menjadi natural. Tabik!

BACA JUGA:  Mayadrama Project 2: Dongeng Pengantar Tidur
Syahruljud Maulana

Syahruljud Maulana

Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, ulasan pertunjukan, dan naskah drama. Tinggal dan berproses di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.