Senin, Maret 17, 2025
ULASANPanggung Teater

Monolog KIDUNG PANGGUNG: Nyanyian dari Sudut Bangkrut

[Idham Ardi N]. Dengan membawa payung bercorak garis warna-warni, seorang kakek berjalan gontai melintasi penonton untuk memasuki panggung. Gawangan gong atau gayor berdiri gerowong tanpa gong, beberapa kain lusuh tersampir berantakan, dan sebuah koper tua telah menunggu untuk dikisahkan. Sebotol ciu terapit di lengan kanan, bak orang mabuk ia meracau mengumpati hujan yang tak reda-reda. Hujan di malam pertunjukan, bagi orang panggung di Indonesia berarti hambatan bagi pementasan. Selain karena gedung pementasan yang gagal meredam suara hujan dari luar, penonton yang datang juga hanya sedikit.

Malam itu di Sanggar Seni Serambi Sukowati, Sragen, 21 Agustus 2022, tidak sedang hujan. Langit cerah, hujan sudah habis di sore, menyisakan aroma tanah basah. Aktor Gigok Anurogo memang hanya sedang berteknik muncul sekaligus merangkumkan salah satu persoalan mendasar yang dialami kesenian kethoprak di akhir masa keemasannya, yakni kehilangan penonton. Sebuah tema yang sedang ia angkat dalam Monolog Kidung Panggung karya Respati Galang, malam itu. Selama sekitar sejam berikutnya ia memerankan tokoh Babe seorang pemain kethoprak. Aksinya berhasil memikat penonton dari berbagai usia, dari usia SD sampai usia pensiunan. Monolog tersebut mempungkasi acara pembacaan puisi dan geguritan.

Aktor berusia 66 tahun itu memakai topi blower, celana hacingco, sedang surjan lurik yang dijadikan atasan tak terkancing sehingga menampakkan singlet putih lusuh di dalamnya. Ia nampak kacau dan berantakan layaknya alkoholik yang sudah tak peduli apa kata orang lagi.

Sesampainya di tengah panggung ia mengedar pandang meneliti keadaan. Kemudian berlagak sebagai pembawa acara, mengumumkan bahwa pementasan kethoprak malam ini dibatalkan karena jumlah tiket yang terjual tidak menutup biaya produksi. Tetapi ia mendengar kabar bahwa pementasan malam itu gratisan. Ia kaget, “sudah digratiskan tetapi penonton tetap sedikit?” Dengan ironis, ia lantas melepas topi sehingga menampakkan kepala botaknya, lalu meletakkan pelindung kepala itu di lantai untuk jadi tadah saweran.

Dok. Sigit | Monolog KIDUNG PANGGUNG: Nyanyian dari Sudut Bangkrut
foto oleh : Sigit Pratama

Adegan yang membuat penonton cekikikan itu mengandung satir; longsornya derajat sebuah seni pertunjukan. Dalam hal ini Kethoprak Tobong pimpinan Babe yang semula digandrungi hingga penonton rela berebutan tiket, menjadi gratisan, dan akhirnya terpaksa menadahkan topi seperti pengamen jalanan untuk menghidupi kelangsungan hidupnya.

Topi tengadah yang tergeletak sengsara di lantai itu lantas ditinggalkan Babe. Ia tegaskan, bahwa pagelaran kethoparak baru akan dimulai jika saweran memenuhi target minimum! Sembari menunggu, Babe lanjut minum ciu. Ia lantas bercerita tentang nasibnya sebagai pemain kethoprak.

BACA JUGA:  Dramaturgi Toserba: Catatan atas “Pentas Tiga Bayangan 5.0”–Teater Eska UIN Sunan Kalijaga.

Namanya juga mabuk, dalam bercerita ia menceracau ke sana-kemari, serempet sana-sini, tak jarang beberapa penonton kena sindir olehnya. Tak luput beberapa mantan pejabat dan politikus yang menonton di situ. Mereka yang sebelum monolog tadi tampil membaca puisi itu dinyinyiri, “baca puisinya kok baru sekarang, mbok dulu pas lagi njabat!”

Lontaran itu tidaklah serta merta. Sebelumnya ia katakan bahwa dulu politikus suka mendatangi kelompok-kelompok seni tradisi di masa pemilihan. Kesenian tradisi sering dijadikan tema orasi, dijanjikan bakal dijadikan benteng kebudayaan menghadapi tantangan globalisasi, tetapi ketika sudah menjabat janji tersebut hilang kabarnya.

Anak-anak tertawa lepas melihat bagaimana Gigok—yang mungkin mengingatkan mereka pada kakeknya di rumah, mengkarikaturkan tingkah politikus.Sedang penonton dewasa tertawa tertahan lantaran pekewuh dengan bapak-bapak yang duduk di depan.

Dari kelangsungan dan keterbukaan kritik itu, Gigok yang kenyataannya memang kawan dari mantan pejabat itu, menunjukkan bahwa kesenian bisa berkawan akrab dengan kekuasaan tanpa kehilangan watak kritis. Bersahabat tanpa jatuh jadi penjilat, sehingga seni kukuh sebagai oposisi yang berguna bagi kemajuan bangsa. Berdiri sebagai kawan yang takkan jera mengingatkan. Menjadi kontrol yang sehat bagi penyelenggara kekuasaan.

Dalam permaianan monolognya, aktor berpengalaman itu menggunakan penonton sebagai dinding pantul irama penceritaan. Tiap respon penonton baik tatatapan, gelak tawa, maupun kasak-kusuknya seketika dijadikann sebagai pijakan ekspresi untuk keberlanjutan dialog. Kemanapun arah respon penonton dapat diolahnya menjadi bahan merajut keutuhan cerita. Spontanitas yang segar mendapat tempat tanpa keluar dari orientasi pembabakan. Kisah jadi terus berjalan runtut tanpa bertele-tele di wilayah-wilayah yang jadi ger.

Di tiap menyinggung kebesaran kethoprak di masa lalu, ia selalu menggebu. Sampai-sampai ia tiba-tiba merasa perlu memamerkan sebuah fragmen Ronggolawe—lakon andalannya dahulu. Dengan seketika ia pun lantas menjadi Ronggolawe dengan stilisasi khas kegagahan dalam akting dan pendialogan kethoprak. Sesempurna mungkin tubuh tuanya yang cuma berbalut singlet ia tarik, rentang, dan bentuk untuk mengesankan kegagahan dan keindahan. Masih berhasil muncul keluwesan dan powernya dalam bermain. Tetapi juga jelas nampak bahwa ia sebenarnya sudah terlalu tua untuk memerankan Ronggolawe. Sekalipun di situ ia mau dan terbukti mumpuni, jika memang pada akhirnya tak ada anak muda yang tersedia untuk menggantikannya.

BACA JUGA:  Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara

Puncak kesuksesan kethoprak ia gambarkan dengan poster pementasan yang sampai jadi rebutan masyarakat. Payung pun ia mainkan sebagai baling-baling helikopter yang membawanya terbang ke berbagai daerah guna menyebarkan poster. Adegan itu menjadi puncak pengenangannya pada kejayaan masa lalu. Berikutnya ialah jatuh pada kenyataan; hari ini.

Dengan nelangsa, kopor tua ia buka. Di dalamnya terdapat surjan-surjan pemberian para seniornya, teman-temanya, yang telah mati. Tangisnya memberebak karena merasa ditinggal sendirian di dunia. Ia panggili nama-nama kawannya itu. Ia seru satu-persatu tokoh-tokoh kethoprak yang sudah tiada. Maka tersebutlah nama-nama seperti; Narno (Purwolelono), Pujono, dan Yusuf Agil.

Dalam keharuan suasana, ia merasa mendengar jawaban yang mengabarkan bahwa di surga para almarhum menggelar pementasan kethoprak dan disaksikan para bidadari. Ia senang karena ternyata seniman juga bisa masuk surga, tetapi ia menolak ketika diajak untuk segera menyusul. Ia merasa tugasnya di dunia belum selesai. Ada janji yang ingin ia tuntaskan; mengembalikan kejayaan kethoprak lagi.

Dok. Sigit 2 | Monolog KIDUNG PANGGUNG: Nyanyian dari Sudut Bangkrut
foto oleh: Sigit Pratama

Kidung untuk Orang-Orang yang Tergilas Zaman

Perubahan zaman adalah keniscayaan. Orang-orang kethoprak yang diwakili tokoh Babe hanyalah salah satu gambaraan kejatuhan sebuah profesi lantaran pergeseran zaman. Tentu tak semua orang berkesempatan mengkidungkan kenelangsaannya. Tidak semua orang seperti Gigok Anurogo yang notabene seniman kethoprak sekaligus teater yang masih eksis. Sehingga berdaya untuk menggaungkan keberpihakan pada bidangnya, minimal kepada publiknya.  

Kekalahan-kekalahan tanpa penonton ada di sana-sini. Yang tentu lebih banyak dari yang sudah diangkat sebagai pertunjukan. Perkembangan teknologi terus membawa percepatan perubahan. Akan semakin sering kita jumpai, sehingga kita pun akan semakin terbiasa menyaksikan kebangkrutan-kebangkrutan di sekitar kita. Bahkan bisa jadi tiba giliran kita.

Dalam sebuah perubahan selalu akan ada pihak untung dan yang buntung. Siapa yang cenderung untung dan siapa yang melulu buntung?

Belum lama telah kita saksikan fenomena ojek konvensional bangkrut digantikan ojek online. Mau tak mau tukang ojek musti bertransformasi menjadi online. Itu tuntutan zaman, kita melumrahkannya. Di sekitar kita mini market mulai mendapat izin untuk berdiri di sana-sini, toko-toko kelontong pun bangkrut satu per-satu. Apa lantas pemilik toko harus menjadi penjaga mini market untuk mengikuti kehendak zaman? Konter-konter pulsa juga mulai berjatuhan semenjak konsumen beralih dengan transaksi on-line, usaha siapa berikutnya?

BACA JUGA:  Buto: Sebuah Lakon Satir Keserakahan Manusia
Dok. Sigit 3 | Monolog KIDUNG PANGGUNG: Nyanyian dari Sudut Bangkrut
Foto oleh : Sigit Pratama

Monolog Kidung Panggung kemarin malam, membuka perenungan terkait perubahan zaman, memberi sudut lihatan dari pihak bangkrut. Terlihat bahwa kesenian yang notabene memiliki ‘panggung’ sendiri pun tak kuasa membendung atau menghambatnya. Tetapi minimal kesenian berpeluang melesatkan empati dan tawaran sudut pandang kritis dalam menanggapi perubahan. Sehingga dapat merangsang penontonnya untuk mempertanyakan arah perubahan yang sedang terjadi. Ke mana; oleh dan untuk siapa; perubahan-perubahan yang begitu cepat ini? Kenapa rasa-rasanya semua usaha yang tidak sejalan dengan kepentingan modal-modal besar selalu jatuh?—jatuh tergelincir seperti topi blower milik Babe, tergeletak tengadah, dan tetap kosong melompong hingga akhir pertunjukkan. Seakan memang seperti itulah seharusnya. Hingga kemudian lampu akhirnya mati dan penonton bertepuk tangan.

Idham Ardi N
Latest posts by Idham Ardi N (see all)

Idham Ardi N

Idham Ardi N. Kelahiran Sukoharjo, 11 Mei 1991. Tinggal di Pabrik RT01/02, Wirun, Mojolaban, Sukoharjo. Sutradara dan Penulis Naskah di Teater Sandilara. Saat ini sedang merintis Kutub Buku; penerbitan buku-buku teater di Surakarta.