Dramaturgi Toserba: Catatan atas “Pentas Tiga Bayangan 5.0”–Teater Eska UIN Sunan Kalijaga.
[Mohamad Ichsanudin Adnan]. Secara sekilas, kesan yang saya tangkap terhadap beberapa pertunjukan Teater Eska adalah bahwa mereka secara konsisten mengambil posisi sinis terhadap teknologi. Saya pikir posisi semacam ini menjadi penting, lantaran revolusi digital dan tetek bengek kemajuan yang disodok oleh institusi, nampak menegaskan bahwa dirinya gamang dan takluk terhadapnya.
Pun juga gagasan yang diambil oleh “Pentas Tiga Bayangan 5.0” pada 9 September 2023 lalu. Ketika supremasi digital berlangsung masif, manusia justru dibuat terisolasi bahkan kehilangan otonominya terhadap teknologi. Jarak antara “kebebasan” dan “ketidakbebasan” menjadi kabur, sehingga memungkinkan bagi manusia begitu bergantung terhadap dikte dan instrumen kuasa yang tak terlihat.
Meskipun Eska mengambil posisi sinis, bukan berarti mereka takluk terhadap teknologi. Terdapat konservatisme terselubung yang diam-diam mereka lemparkan sebagai gugatan. Akar gagasan mengenai hubungan manusia, tuhan, dan diri nampak menjadi tamparan keras terhadap ruang keseharian kita sebagai penonton.
Maka hadirnya teknologi, membuat mereka menghadirkan kembali akar gagasan yang telah digeser sebatas nilai-nilai lama yang telah usang. Eska secara tepat memperlihatkan kita yang kini telah tercerabut dari akar dan terseok-seok oleh gagasan artificial yang kadung berkubang pada aktivitas keseharian kita. Semangat konservatisme Eska menjadi penting, sebagai penawar bagi kecenderungan kita mengamini teknologi sebagai pencerahan.
Etalase Toserba
Melalui pementasan “Tiga Bayangan 5.0” yang berlangsung di Gelanggang Teater Eska, penonton dibuat gamang dengan perpindahan panggung yang berlangsung dari depan ke belakang, begitupun sebaliknya. Posisi panggung menjadi subjek penutur, di mana ia tak selamanya berada di depan. Ia diam-diam menjelma di belakangmu, bahkan di posisi yang tak kita perkirakan kehadirannya.
Momen ketika penonton dibuat hanyut oleh fragmen “HEL: OS DES”, segera dialihkan menuju pementasan “PANTA REI” di mana perhatian penonton segera disambut dengan pergantian tirai panggung di belakangnya. Posisi panggung jadi tak sesederhana sekat tirai yang melatarinya, namun tirai yang tertutup itu sekaligus menjadi tirai pembuka bagi pementasan selanjutnya.
Belum berhenti di situ, penonton yang khidmat dengan tatapannya di depan, seketika dialihkan untuk berbalik ke belakang, bersamaan dengan sorot lampu pada posisi panggung baru. Alhasil mereka mesti mengalihkan tubuhnya dengan sorak-sorai yang berlalu lalang kepayahan, menggeser kepala dan pangkuan mereka.
Lantas pementasan “Wajah Diri Terbelah” segera dibuka dengan teriakan seorang gadis perempuan yang meminta gawai kepada empunya. Pementasan ketiga ini terbilang cukup jenaka dan mengejutkan, namun yang lebih mengejutkan adalah ketika fragmen “HEL: OS DES” dan “PANTA REI” mengambil umpan dari fragmen pementasan tersebut. Alhasil penonton dibuat beralih kembali dari belakang dan depan tubuhnya. Jelas, dengan sorak-sorai yang tak kalah menjengkelkan dari sebelumnya.
Momen beralihnya panggung, menjadi momen yang sama melelahkannya dengan posisi digital kita hari ini. Di mana setiap waktu, kita dibentuk menjadi publik digital yang instan, beralih dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya, dari satu konten ke konten lainnya. Mungkin beginilah Eska, generasi teater kampus yang lahir dari rahim virtual, serta sinis pada posisi digitalisasi yang menyergap mereka.
Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan yang bisa digunakan sebagai tawaran bagi model pengucapan Eska selanjutnya. Catatan ini merupakan respon saya sebagai penonton, serta respon saya terhadap generasi baru Eska yang akan menghadapi pencemaran virtual nan lebih masif.
Mubazir Artistik
Sebagaimana konsep toserba (toko serba ada), generasi virtual hari ini juga tak luput dengan “serba adanya” konsumsi medium dan konten yang ditawarkan. Konsep toserba tersebut turut meluber ke ruang kerja generasi teater hari ini. Teater jadi tak seromantik dramaturgi kolosal. Bahkan lebih dari itu, mereka meretas dramaturgi untuk merespon ruang keseharian mereka yang telah diintervensi.
Meskipun demikian, menjadi “serba ada” turut berisiko pada mubazirnya penggunaan artistik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Eska, medium artistik jadi etalase toserba yang penggunaanya dirasa tak perlu-perlu amat. Eska berupaya menerapkan dan memaksimalkan potensi artistik yang mereka miliki, namun luput bahwa artistik mestinya diberlakukan setara aktifnya dengan bagaimana premis dituturkan.
Keluputan ini dapat dibaca melalui beberapa fragmen pertunjukan yang penggunaan artistiknya hanya sebatas pelengkap, bahkan sama sekali tak diperlukan oleh premis. Sebagaimana etalase barang yang dipajang pada fragmen “PANTA REI”, seperti headset, ponsel, hingga lampu-lampu yang merespon keberadaanya. Apakah etalase tersebut dapat menuturkan keberadaanya yang terkungkung pada dampak produksi teknologi yang berlebihan? Lantas mengapa kehadirannya hanya sebatas ditekan? Bahkan ketika mereka tak ada sekalipun, sang aktor akan tetap berbicara mengenai kemajuan teknologi serta bahaya yang ditimbulkannya.
Meskipun demikian, fragmen “Wajah Diri Terbelah” nampak menyadari potensi keluputan yang dialami oleh fragmen sebelumnya. Pada fragmen tersebut, etalase artistik jadi punya daya untuk menuturkan kisahnya. Hal tersebut sangat kentara, ketika sebuah komputer berdimensi besar yang awalnya stagnan, seketika bergerak dan mengejutkan perhatian penonton.
Di dalamnya berisi seonggok wajah, bukan wallpaper melainkan manusia yang merepresentasikan kecerdasan buatan/AI. Alhasil komputer tersebut memiliki daya untuk untuk membicarakan bagaimana dirinya diproduksi, serta bagaimana dirinya dapat menciptakan ketergantungan bagi manusia. Pada fragmen ini, etalase artistik jadi punya tawaran penting untuk dihadirkan.
Sumpek Dialog
Jika kita masih mengamini teater sebagai peristiwa, maka aktivitas keseharian tubuh adalah teater itu sendiri. Namun bagaimana jika teater sebagai peristiwa justru diwakilkan oleh kubangan kata? Jika demikian, maka tubuh jadi tak punya daya ungkap yang setara pentingnya dengan kata-kata. Bahkan kita tak lagi bisa berempati pada tubuh, lantaran kata-kata tak pernah memberi kesempatan bagi tubuh untuk berbicara.
Pun juga pada “Pentas Tiga Bayangan 5.0” yang ditawarkan oleh Teater Eska. Kita sebagai penonton nampak dibuat bergantung pada kata-kata, bahkan setiap fragmennya amat bergantung dengan bagaimana kata dan dialog diungkapkan. Kata-kata jadi lebih penting, ketimbang tubuh lelah seorang Hel yang terkungkung oleh sistem kecerdasan yang ia ciptakan sendiri. Bahkan ia dipaksa untuk tertawa pada peristiwa yang menuntut ia untuk bernafas sejenak.
Pun juga sebagai penonton, kita disodok dengan maki-makian pada peristiwa yang seperti gak perlu-perlu amat untuk marah. Alih-alih hanyut terhadapnya, penonton dibuat tegang setiap saatnya, bahkan dibuat kelelahan pada dialog yang berlalu-lalang begitu cepat serta sumpek. Alhasil, pesan moral diobral begitu murah dan berlimpah layaknya etalase toserba.
Jika demikian jadinya, maka syarat menjadi penonton Teater Eska adalah memahami bahkan mengamati setiap detail kata yang dilontarkan oleh sang aktor. Kata-kata yang berlalu cepat bahkan tertimbun oleh berbagai dialog minor lainnya, menuntut kejelian dan pengawasan yang ketat pada dialog. Jika tidak, penonton berisiko lepas dari konteks yang hendak dibicarakan oleh Eska.
Sudah baca yang ini?:
- Dramaturgi Toserba: Catatan atas “Pentas Tiga Bayangan 5.0”–Teater Eska UIN Sunan Kalijaga. - 10 November 2023
- Bagaimana Duka Ekologis Diungkapkan? : Catatan atas “Waktu Batu – Rumah yang Terbakar” — Garasi Performance Institute di Artjog 2023 - 17 Juli 2023
- Merajut Kembali Robekan Baju Siti Rukiah Melalui Performatif Mirat Kolektif - 21 Mei 2023