Buto: Sebuah Lakon Satir Keserakahan Manusia
Indar Sabri.| 20 Juli 2019 pukul 19.30 WIB di gedung pertunjukan Soedjono Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, digelar pertunjukan teater berjudul “Buto” karya Fery Hawe. Pertunjukan berdurasi 90 menit ini mengisahkan tentang persoalan perilaku antara manusia, buto dan punokawan. Tema yang diangkat adalah tema kritik sosial mengeni perilaku mahluk yang ada di muka bumi ini. Pementasan yang syarat dengan makna filosofi ini dikemas dengan sederhana dan estetik sehingga mudah dicerna dan dikonsumi oleh para pelajar Lumajang yang terlihat sangat antusias menyaksikan pertunjukan malam itu sebagai bahan apresiasi seni mereka.
Pertunjukan malam itu terlihat sangat meriah. Gedung yang berkapasitas 500 orang penuh dipadati penonton yang sebagian besar merupakan siswa-siswi sekolah, namun juga hadir para seniman, guru dan beberapa orang tua yang mendampingi putra-putrinya. Naskah yang berkisah tentang sekelompok buto meminta persetujuan kepada Semar agar diberikan legalitas memakan daging manusia. Buto yang berdasarkan filosofi orang Jawa merupakan wujud raksasa dengan ciri asumsi berbadan besar dan berwajah seram tidak tampak pada pertunjukan malam ini. Buto Lumajang malam itu ditampilkan berbadan kurus dan bahkan ada satu orang buto yang ditampilkan dengan tubuh kecil, penonton menyebutnya “buto mini”. Para buto menggunakan kostum yang mencirikan identitas guru, kontraktor, pegawai pemerintah, pegawai bank dan seniman. Ini memang merupakan teks satir yang diciptakan penulis naskah dan sutradara untuk mengajak penonton berfikir bersama perihal sifat-sifat buto yang sebenarnya ada di sekitar kita, bahkan mungkin pada diri kita.
Kisah dimulai dengan para buto menghadap Semar dan mengaku bahwa mereka telah lama menyamar sebagai manusia, hidup bersama manusia bahkan sudah berada di sendi-sendi negara, namun akhir-akhir ini mereka mersa terganggu dengan adanya peristiwa manusia makan manusia. Kegelisahan tersebut mereka sampaikan pada Semar dan meminta legalisasi agar mereka diperbolehkan kembali untuk bisa makan manusia.
Semar yang dalam filosofi Jawa merupakan tokoh pewayangan dengan karkter penasehat bijaksana dalam situasi dan kondisi apapun, kali ini ditampilkan sebagai sosok yang temperamental. Bahkan bersama anak-anaknya Petruk, Gareng dan Bagong, Semar merencanakan untuk membunuh para buto agar mereka tidak mendapatkan hak untuk memakan manusia. Siasat pun disusun dan dijalankan oleh ketiga anaknya dengan cara berpura-pura mengesahkan permintaan para buto. Surat pengajuan dari buto ditandatangani oleh Semar. Ketika surat tersebut diserahkan kepada para buto oleh ketiga anaknya, mereka juga menyampaikan usulan Semar untuk mengadakan pesta perayaan atas dikabulkannya permintaan buto tersebut. Maka ketika malam perayaan itu terlaksana, ketika para buto tidak sadarkan diri karena minuman keras maka Petruk, Gareng dan Bagong pun membunuh semua buto tersebut. Adegan pembunuhan ini tentu saja distilir dan dilakukan dengan piawai oleh sutradara dengan cara yang kocak, yakni hanya mencabut sehelai bulu yang ada di badan masing-masing buto, maka buto tersebut mati lemas. Pemilihan cara pembunuhn yang lucu ini dipilih sebagai edukasi agar tidak mengekspos perilaku kekerasan dan menyadarkan bahwa pertunjukan adalah dua hal yang menyatu yakni tontonan sekaligus tuntunan. Di akhir cerita, ketiga anak Semar melaporkan bahwa mereka gagal membunuh seluruh buto. Kemarahan Semar menjadi dan meminta penjelasan pada ketiga anaknya kenapa bisa gagal. Pengakuan Petruk, Gareng dan Bagong inilah yang menjadi puncak amanat dan kritik sosial dalam lakon ini, yaitu bahwa ternyata para buto itu sejatinya adalah adalah tetap MANUSIA.
Secara umum, pertunjukan ini berjalan lancar dan cukup bisa dinikmati oleh penonton. Konsep pertunjukan yang diterapkan pada lakon ini adalah dengan mengaplikasikan pendekatan Bertolt Brecht yakni teknik alienasi (pengasingan) yang justru dilakukan dengan mendekatkan area panggung dengan penonton. Didukung oleh permainan para aktor yang cukup baik, v-effect ala Bertold Brecht dalam pentas inipun terasa berhasil.
Lakon ini ditulis dan disutradari oleh Fery Hawe, seorang seniman muda dari Lumajang yang juga pengurus Komite Teater di Dewan Kesenian Lumajang. Fery saat ini juga sedang menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Pertunjukan “Buto” malam itu adalah presentasi karya tugas akhir Fery untuk meraih kelulusannya. Meski kampusnya berada di Surabaya, tetapi pertunjukan karya tugas akhir malam itu sengaja digelar di Lumajang sebab Fery juga ingin memanfaatkan moment itu untuk memotivasi seniman muda dan para pelajar di Lumajang dalam menggeluti seni pertunjukan teater. Pertunjukan malam itu juga dihadiri oleh para dosen penguji dari STKW yaitu Dr. Koko Hari Purnomo, M.Pd., Indar Sabri S.Sn, M.Pd., Mujib Alfirdaus, M.Pd., dan Roci Marciano, M.Sn.
Sudah baca yang ini?:
Dari Sampakan ke Mantradisi di Parade Teater Yogyakarta
Membongkar Kubur Pentas Sagaloka : Keluarga Yang Dikuburkan
Tubuh Pantomim Milan Sladek dan Catatan-Catatan dari Berbagai Pertemuan
Kembali ke Simbol, Kembali ke Alam: Catatan Untuk Teater The Pooh-pooh Somatic
Kepuasan Estetis Saja Belum Cukup : Catatan atas monolog “Ibu Bumi” – Teater Hampa Indon...
Benda-Benda yang Menggerakkan Tubuh: Pertemuan Dua Migrasi
- Kahanan: Pertunjukan Inspiratif Penyandang Achondroplasia - 27 November 2019
- Buto: Sebuah Lakon Satir Keserakahan Manusia - 25 Juli 2019
- Belajar Kritik Sosial a la Milenial Melalui Drama Musikal - 4 Mei 2019
Terharu saia