Rabu, Januari 22, 2025
ULASANPanggung Teater

Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam

[Muhammad Ichsanuddin Adnan]. Masa depan kita adalah kepingan masa lalu atas perenggutan tanahnya sendiri, masa lalu atas perbudakan dan kebijakan tanam paksa, masa lalu atas mentalitas dan identitas yang diangkut demi memenuhi kebutuhan kerja kolonial. Lalu kemanakah mereka? Kemanakah masa lalu itu? Sejak kapan memori tersebut berhenti dibicarakan? Mungkinkan telah hilang, seiring dengan merembesnya banjir informasi yang telah membuat kita mengalami amnesia? Atau barangkali telah hilang, surut bersama konten-konten FYP yang menyuapi bunga tidur terhadap beban hidup yang makin runyam belakangan ini? Jika sudah kadung demikian, lantas bagaimana kita memposisikan ulang sejarah dari beban amnesia?

Serangkaian pertanyaan di atas merupakan endapan yang coba saya resapi ulang, ketika mendapati tawaran sebagai aktor dalam pertunjukan “Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia)” yang peristiwanya telah diangkut menuju Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta, pada 7 Desember 2024 lalu. Pertunjukan tersebut merupakan satu dari serangkaian pertunjukan “Soejopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok” yang diinisiasi oleh Komunitas Sakatoya bersama Kementerian Kebudayaan.

Gambar WhatsApp 2025 01 02 pukul 07.55.12 0ce4fc88 | Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam

Entah perkara macam apa yang pada akhirnya menjatuhkan saya untuk kembali bermain di atas panggung, setelah tiga tahun lamanya terisolasi dari medan pertunjukan. Namun pada akhirnya, saya pun menyanggupi tawaran tersebut, tentu dengan kondisi tubuh yang sudah kadung kaku, serta konversi-konversi pemanggungan yang kadung tercecer tak berbentuk. Di bawah rezim Shohifur Ridho’i, saya berkesempatan untuk menjejali satu panggung bersama Jamaluddin Latif yang pengalaman pementasannya sudah terlampau jauh untuk diragukan. Serta karib teater kampus saya yakni Khuluqul Karim, Muhim Rifqiy Aziz, serta Hamdani yang barangkali pertemuan kami sebatas menggunjing pertunjukan orang lain, kini justru berada dalam satu panggung dan menjadi objek tatapan. Serta dua karib kutu buku saya yakni Raymizard Alifian dan Ragil Cahya Maulana yang baru saja dibaptis sebagai aktor, sehingga proses peresapan panggung mereka dibangun dalam konversi tekstual dan literatur sejarah yang cukup ketat.

Barangkali komposisi di atas menjadi menarik—setidaknya untuk saya, untuk bersama merebut sejarah yang kadung dimapankan oleh institusi tekstual. Khususnya sejarah intelektual kita yang telah lama tertimbun, bahkan telah menghasilkan gejala-gejala amnesia yang kadung menjangkiti kita secara nasional. Melalui komposisi di atas, serangkaian definisi terhadap awam, kompeten, intelektual, bahkan mentah sekalipun nampak sengaja dibenturkan, guna merumuskan bersama serangkaian definisi baru terhadap sejarah, pertunjukan, bahkan publik sekaligus. Lantas bagaimana komposisi di atas, berupaya mengungkapkan posisinya sebagai aktor, hingga bagaimana kemudian aktor-aktor tersebut merebut alat-alat produksi sejarah yang selama ini hanya dimiliki oleh institusi tekstual?

Gambar WhatsApp 2025 01 02 pukul 07.55.06 6bcaab59 | Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam

Spekulasi Terhadap Amnesia Massal

Sebelum berbicara panjang perihal peramuan peran sebelum dirinya hadir ke medan pertunjukan, perlu kiranya membaca ulang Soerjopranoto yang kiprahnya telah menjadi sorotan tebal dalam serangkaian pertunjukan ini. Kemunculannya sebagai pemikir, ditandai dengan munculnya zaman mogok yang mengepung masyarakat Jawa di bawah kedudukan kolonialisme, pada periode 1919 hingga dekade awal 1920-an. Semangatnya terhadap ide-ide dekolonisasi, telah membawa Soerjopranoto mempertaruhkan gelar kebangsawannya, serta terlibat aktif dalam mengorganisir para buruh untuk melakukan pemogokan terhadap sendi-sendi kapitalisme di tanah Jawa.

Dalam beberapa forum yang melibatkannya, Soerjopranoto kerap kali menyoroti perihal aksi-aksi pemogokan dan bagaimana pemogokan tersebut berhasil menekan para pemilik modal, melalui organisasi yang telah ia bantu dirikan pada tahun 1918 bernama Personeel Fabrieks Bond. Sebagaimana ketika ia menghadiri Kongres Sarekat Islam ke-IV yang berlangsung di Surabaya, Soejopranoto mengungkapkan bahwa “Kemenangan perjuangan dan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata, tetapi dengan paksaan batin (moral), protes, perundingan di muka ramai, dan jika perlu dengan pemogokan.” Ungkapan tersebut telah membawa menempatkan Soerjopranoto sebagai tokoh penting dalam Sarekat Islam yang kedudukannya tak kalah pentingnya dengan H.O.S Tjokroaminoto sebagai pimpinan tertinggi SI.

BACA JUGA:  Membongkar Kubur Pentas Sagaloka : Keluarga Yang Dikuburkan

Melalui serangkaian data sejarah di atas, Shohifur Ridho’i berupaya menaruh marka tebal pada keterlibatan Soerjopranoto dalam Kongres Sarekat Islam yang berlangsung di Surabaya pada tahun 1919. Membawa beban spekulatif, ia mencoba mereka ulang apa-apa saja yang terjadi dalam situasi kongres tersebut. Serta bagaimana jika tokoh-tokoh penting seperti Tjokroaminoto, Sosrokartono, Haji Misbach, Darsono, Samaoen, serta Agus Salim bertemu dalam satu ruang dan waktu yang sama, memaparkan ketegangan ideologis yang memicu terpecahnya tubuh organisasi Sarekat Islam.

Gambar WhatsApp 2025 01 02 pukul 07.55.10 f6e5e7e7 | Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam

Menggunakan spekulasi, masing-masing dari kami berupaya mereka ulang situasi kongres Sarekat Islam (SI) melalui pertemuan dan perdebatan tokoh-tokoh kunci SI. Pertunjukan ini menampilkan presentasi Soerjopranoto, yang dikenal sebagai pejuang hak-hak buruh, dengan fokus pada isu feodalisme dan perjuangan buruh. Kongres SI, yang menjadi latar imajinatif pertunjukan ini, merupakan momen penting dimana ketegangan ideologis muncul dalam tubuh organisasi. Dengan berlandaskan pembacaan atas notulensi kongres serta data biografis pemikiran para tokoh, pertunjukan ini berupaya menghidupkan kembali dinamika perdebatan dan kompleksitas gagasan yang mengiringi era pergerakan nasional.

Rangkaian spekulasi tersebutlah yang kemudian diangkut menuju Amphitheater TBY dengan judul “Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia)”. Sebagaimana “Sebelum Indonesia”, merupakan garis tegas untuk membedakan antara ide-ide nasionalisme yang coba dimapankan oleh institusi tekstual di bawah kendali Orde Baru, dengan ide-ide nasionalisme yang berlangsung tanpa embel-embel “Indonesia”, namun membawa spirit kebangsaan yang sama yakni membawa jejaring global guna melawan kolonialisme. Spirit pra-Indonesia tersebutlah yang coba diungkapkan sebagai upaya menggugat ulang gejala amnesia massal kita. Konon sprit tersebut jauh lebih relevan, ketimbang spirit nasionalisme yang telah berlangsung hingga ratusan tahun setelah masa temporalnya.

Melalui pemapanan pancasila, nasionalisme di bawah kendali resmi Orde Baru adalah komoditas yang kadung dimapankan, serta terkurung dalam teritori Indonesia. Sehingga sulit kiranya membayangkan bagaimana gagasan nasionalisme yang dibawa oleh Soerjopranoto serta kaum intelektual generasinya, terhubung secara global sebagai basis kesadaran kolektif membangun gerakan rakyat. Maka dari itu, spekulasi digunakan untuk merebut kembali gagasan nasionalisme yang sengaja ditimbun, serta telah mengalami pelembagaan resmi oleh institusi tekstual di bawah rezim Orde Baru. Lantas bagaimana rekayasa spekulatif tersebut, berupaya diramu oleh para aktor, sebelum dirinya hadir ke medan pertunjukan?

Gambar WhatsApp 2025 01 02 pukul 07.55.09 f45800f3 1 | Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam

Peran dan Kontaminasi Tekstual

Di belakang dapur teater yang berkepul, sejarah mengalami peramuan yang tak kalah peliknya dengan yang dilakukan oleh institusi tekstual. Sebagai bagian dari pengetahuan, sejarah tidak lagi dimonopoli oleh disiplin metodologi yang ketat, arsip-arsip teks yang terperiodisasi, maupun interpretasi baku yang kerap kali keluar dari mulut akademisi. melainkan dibiarkan meluber dalam kerja-kerja pengaktoran yang coba menghubungkan dirinya dengan tubuh-tubuh masa lalu. Masing-masing dari mereka merupakan varietas kontaminatif yang menolak takluk terhadap masa lalu, namun juga tak mengamini secara mentah hari ini dan masa depan. Dampaknya adalah identitas yang mengambang, terapung, dan hanyut dalam posisi antara. Barangkali inilah sejarah yang coba dibangun dalam pertunjukan ini.

Menggunakan dramaturgi kongres, pertunjukan ini berupaya menyoroti ketegangan ideologis dalam tubuh Sarekat Islam yang memicu benih-benih keterbelahan, antara poros putih dan poros merah. Keterbelahan tersebut menjadi premis imajiner untuk mengorkestrasikan poros putih seperti Soerjopranoto, Agus Salim dan Sosrokardono yang cenderung moderat, matang, dan serba terencana. Sedangkan di poros merah sendiri diorkestrasikan oleh Samaoen, Darsono, dan Haji Misbach yang cenderung revolusioner, reaksioner, dan ambisius. Serta tidak lupa posisi Tjokroaminoto yang tampaknya tidak berpihak, namun memiliki beban ideologis yang dibawa oleh poros putih.

BACA JUGA:  Sandilara dan Bagaimana Manifestasi Hari Rayanya: Catatan Atas “Ana sing Ra Ana” — Teater Sandilara

Meskipun membawa beban realis, namun pertunjukan ini tidak berupaya menduplikasi kenyataan aktual terhadap situasi kongres yang barangkali tidak sesederhana dua poros di atas. Melainkan berupaya mengkonversi representasi atas poros ideologis yang dapat diserap dalam ruang dan waktu yang cukup sempit. Selain itu, konversi realis digunakan untuk memantik sensasi motorik dan stimulus emosional yang tidak mampu dihadirkan oleh koridor tekstual, sehingga memungkinkan bagi sejarah diserap dan dikonsumsi bersama oleh para aktor sekaligus penonton itu sendiri.

Berbekal konversi di atas, masing-masing dari kami berupaya memperlebar wilayah kerja keaktorannya yang tidak hanya berfokus pada bentuk, melainkan melibatkan keterampilan kognitif dan emosional untuk menyerap dan merangkai data-data sejarah ketika berhadapan langsung dengan medan pertunjukan. Masing-masing dari kami yang kadung terkontaminasi oleh teks-teks digital, serta kiprah Soejopranoto yang mengalami penimbunan berlapis oleh wacana dominan, berupaya menyembur kontaminasi tersebut sebagai bagian dari kerja-kerja peramuan peran.

Sebagaimana ketika saya memerankan sosok Agus Salim, tubuh saya yang kadung terkontaminasi oleh jargon-jargon gerakan kampus, serta populernya kesadaran politik yang mengepung beranda digital kita, berupaya saya gunakan untuk membangun sosok Agus Salim yang sinis, sarkas, serta lebih skeptis ketika berhadapan dengan gagasan perubahan. Serangkaian kontaminasi tersebut tentu cukup kontras dengan realitas yang mengepung Agus Salim, ketika menghadapi jargon-jargon revolusioner di dalam tubuh SI.

Gambar WhatsApp 2025 01 02 pukul 07.55.06 1915ec81 | Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam

Sebelum diangkut menuju medan pertunjukan, kami hanya diberi waktu dua belas kali latihan untuk menghafal naskah dan meramu peran. Dalam waktu yang relatif singkat tersebut, proses latihan lebih banyak dilakukan dengan dialog dan diskursus, ketimbang meramu bentuk, olah tubuh dan vokal. Dramaturgi kongres yang relatif tidak membutuhkan komposisi gerak, memungkinkan bagi masing-masing dari kami lebih banyak mengkonsumsi wacana ketimbang bentuk. Sementara teks yang dihafal adalah peristiwa yang berlangsung di luar latihan. Ia berjibaku dengan jalanan kota dan klakson-klakson motor ketika pulang latihan, bahkan berjibaku dengan sisa makanan ketika sedang khidmat boker di kamar mandi.

Meskipun demikian, teks tersebut bukanlah teks instruktif yang telah mengalami pembakuan oleh penulisnya. Di bawah rezim Shohifur Ridho’i, teks tersebut adalah jenazah yang sudah resmi dinyatakan mati, bahkan disiarkan oleh penulisnya menggunakan toa. Sebagai jenazah yang mati, maka tugas masing-masing aktor adalah mempreteli dan menyulam organnya satu persatu agar dapat dihidupkan kembali. Maka peristiwa menghafal teks adalah ritus pembangkitan jenazah yang berlangsung secara kontaminatif, baik di WC maupun di jalan-jalan paling keruh. Ia melibatkan kemampuan kognitif dan emosional dari para aktor untuk menyulam dan mempreteli organ tubuh jenazah. Hingga kemudian menghidupkan kembali seorang subjek yang barangkali amnesia dengan masa lalunya, namun memiliki urgensi untuk merespon hari ini.

Namun ritus pembangkitan jenazah tidak hanya berlangsung dalam koridor penghafalan teks, melainkan terjadi pula ketika mengkomposisi adegan. Berbekal dengan memori dan kemampuan tubuh, proses latihan lebih banyak dihabiskan dengan komposisi-komposisi pengadeganan yang berlangsung secara dialogis. Masing-masing dari kami menawarkan sekaligus menyepakati secara bersama subjek macam apa yang relevan untuk diangkut ke atas panggung. Bahkan dalam proses yang pelik tersebut, posisi sutradara tak memiliki andil banyak untuk mengintervensi ataupun memapankan komposisi tunggal. Dalam amatan sekilas, sutradara beroperasi untuk memfasilitasi dan mengorkestrasi terjadinya dialog, sehingga tugas dari masing-masing aktor adalah mengeksekusi jalannya dialog tersebut.

Gambar WhatsApp 2025 01 02 pukul 07.55.07 74af1741 | Merebut Sejarah Dari Gejala Amnesia: Resepsi Keaktoran Dalam Pertunjukan Vergadering Sarekat Islam

***             

Sebagai resapan akhir atas pengalaman saya dalam pertunjukan “Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia)”, saya menggunakan pertunjukan tersebut sebagai upaya eskapisme dari serangkaian kontaminasi yang kadung mengepung saya hari ini. Namun secara bersamaan, adalah upaya untuk mengevakuasi sejarah dari kontaminasi-kontaminasi tekstual yang kadung menjadi teks hegemonik.

Sebagaimana cara kerja sejarah dalam institusi tekstual, terdapat linieritas temporal dimana sejarah sebatas diletakan pada peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Sejarah telah menempatkan kolonialisme dan para pemikir intelektual kita, sebatas peristiwa usang yang tak perlu digugat. Hal ini kemudian membawa sejarah justru menjebak dirinya pada linieritas waktu yang mengekang “masa lalu”. Jika kolonialisme gagal dianggap sebagai siklus, maka konsekuensi logisnya akan banyak masyarakat terjajah yang mengalami pembungkaman total terhadap suara mereka sendiri. Dengan kata lain, kita sebagai subjek terjajah, sudah tidak berhak dan layak terhadap sejarah kita sendiri. Bahkan tindakan untuk menulis tentang dunia terjajah—termasuk seni dan pengetahuan—merupakan sesuatu yang dianggap usang dan mustahil dilakukan oleh subjek terjajah itu sendiri.

BACA JUGA:  Dari Sampakan ke Mantradisi di Parade Teater Yogyakarta

Terdapat kontras tajam yang berusaha disematkan pada kita. Kepercayaan masyarakat terjajah seperti kita dianggap mengejutkan, menjijikan, barbar, sehingga layak menjadi target utama penulisan sejarah yang memperadabkan. Kepercayaan tersebut kadung mengurat dalam bahasa dan ingatan kita selama ini. Mungkin beginilah cara institusi tekstual untuk merusak dan mengubah kita selama ini. Bahkan membuat kita, tidak berhak terhadap sejarah kita sendiri. Dalam upaya evakuasi tersebut, menggunakan medium teater adalah upaya merebut sejarah dari institusi tekstual dan pelembagaan masa lalu, serta menjadi peristiwa dialog yang mengalami renegosiasi dengan hari ini dan hari entah kapan datangnya.

Jika institusi tekstual berhasil memapankan sejarah sebagai pelembagaan atas masa lalu. Maka menggunakan teater sebagai platform adalah upaya untuk menunda serangkaian konklusi terhadapnya, serta membuka spekulasi atas kemungkinan-kemungkinan baru yang barangkali luput untuk kita bayangkan hari ini. Sejarah menjadi pulang pergi, diresapi dan dibaca dalam konteks multitekstual yang kemudian menghasilkan model bertutur baru. Model yang berupaya menunda konklusi atas masa lalu, namun juga sebagai subversi atas masa kini dan masa yang menjelang.

Mohamad Ichsanudin Adnan

Mohamad Ichsanudin Adnan

Lahir dan besar di Yogyakarta, saat ini sedang menjalani karir sebagai penulis di tirto.id. Basis wacana dan kepenulisannya dibangun melakui kerja-kerja kepenulisan lakon di UNSTRAT, jurnalisme kampus di Ekspresi, hingga membangun ekosistem alternatif di LSS Arungkala. Selain itu, satu tahun belakangan ini sedang terlibat dalam proyek kesenian pinggiran di daerah Temanggung, serta mengumpulkan pengetahuan lokal di daerah Wonosobo dan Kebumen. Korespondensi IG: @a_suddeen