AUSADHA : Dari Jampi sampai Sejarah Keluarga Sendiri
[Polanco S. Achri]. Di depan, di samping meja registrasi dan pembelian tiket, tersedia potongan-potongan kunyit dan kencur di atas tampah; dan para hadirin, yang akan menjadi penonton, diminta membawa ke dalam ruang pertunjukan. Di dekat pintu, ada sepeda ontel yang pada bagian belakangnya terpasang keranjang penuh botol-botol jamu. Kemudian, setelah masuk ke ruang pertunjukan, kau memutuskan duduk di depan; sebab didorong keinginan menyaksikan dari dekat. Layar yang besar menampilkan tulisan “Ausadha”; dan di area yang jadi panggung pertunjukan, ada sepasang kursi kayu di sisi kanan dan meja berisi perlengkapan jamu serta kebaya-jarik di sisi kiri. Penataan dan komposisi yang demikian telah memicu serangkaian imajinasi di kepalamu: membayangkan apa-apa yang mungkin terjadi dengan lingkup atmosfer Ausadha sebagai judul dan sejenis tema. Dan seperti dua hari sebelumnya, sebab hadir di awal acara, ada seremonial kecil pembukaan kembali. Kemudian, barulah pertunjukan yang ditulis dan disutradarai, juga dimainkan, oleh Gilbo dimulai—


Sebuah Perjamuan: Dari Meramu ke Menjamu
Senyap. Hening dan sunyi lekas mengisi ruang. Dan itu semua bisa dikata cukup lama sampai kau tenggelam dalam magi keheningan. Kepalamu tergoda tanya dan pembayangan apa yang terjadi di belakang panggung; tapi sesuatu di dalam dadamu lebih jujur menyaran: menikmati hening itu, senyap itu. Semacam lirisme berhasil menghinggapi dadamu; dan kau tak tahu apa itu akan bertahan atau lenyap nantinya. Pengeras suara memutar suara; memecah hening dan sepi. Ada dialog antara Gilbo dan bibinya. Kemudian, setelah suara itu, muncullah Gilbo dan Rizqi: memakai setelan rapi, kemeja-berdasi juga celana kain, seperti pembawa acara di tivi-tivi. Dan kau terkejut, sebab mendapati format penyuguhan yang demikian. Kepalamu tergoda bertanya: Apa yang hendak disuguhkan oleh Kak Gil dengan format pertunjukan semacam ini? Akan tetapi, mesti kau akui, kau terpukau; tenggelam pada apa-apa yang tersuguh. Gilbo dan Rizqi membuka acara dengan riang, dengan semboyan yang begitu menancap di kepala: Jamu sehat anti mlarat. Mereka pun menyebut nama-nama tokoh-tokoh pejabat fiksional dalam jagat Instansi Jamu Kemenju. Dan bagimu, itu begitu lucu!

Setelah semacam pembuka, Gilbo dan Rizqi menepi; layar menampilkan video bibinya Gilbo, cerita-cerita yang dialaminya, juga serangkaian nama jamu beserta manfaatnya. Layar kembali semula, kembali memunculkan tulisan “Ausadha”. Gilbo menyampaikan, ia dan Rizqi hendak mengundang bibinya sebagai narasumber; dan Rizqi pun berperan menjadi sosok tersebut. Dan seperti pembawa acara pada umumnya, Gilbo mulai berdialog. Bu Daroyah, yang diperankan Rizqi, berkata dalam bahasa Jawa yang kental; dan sepasang telingamu, yang besar di Yogya, cukup berhasil menerka penekanan-medok itu dari Magelang. Dialog begitu cair, dan memecah tawa penonton; dan bagimu, penekanan Candi Borobudur itu bukan di Yogya, ketika berkisah tentang perjalanan berjualan, begitu lucu. Biografi Bu Daroyah muncul, mengalir; memberi kesaksian atas biografi dan sejarah Bu Daliyem, ibunya, nenek dari Gilbo. Bu Daroyah, atas pantikan tanya Gilbo, mulai bercerita tentang persentuhannya dengan jamu; dan percakapan itu seolah menghadirkan suatu pernyataan bahwa definisi diri, ibu, dan jamu begitu tumpang-tindih—saling mengisi dan melengkapi. Bu Daroyah menjelaskan tentang bagaimana ia belajar membuat jamu: yaitu berpijak pada melihat-amati dan mengalami hingga menyatu dengan diri. Adegan itu lekas membawamu pada nenekmu sendiri, nenek dari jalur ibu yang tukang pijat-urut itu: yang mendapat ilmu dari bibinya, juga dengan melihat-amati dan mengalami. Dan kau juga teringat pada bagaimana bapakmu, yang piawai memasak itu, mendapati pengetahuan dari ibunya, dengan metode yang demikian pula. Ah, bagaimana pengetahuan itu diwariskan?


Adegan pun bergulir, berjalan. Rizqi kembali sebagai Rizqi, dan memandu acara lagi bersama Gilbo. Di bagian itu, Gilbo meminta hadirin, yang tadi telah membawa kunyit dan kencur untuk mengamati dengan teliti; meminta meraba potongan itu dengan saksama. Lalu, Gilbo meminta hadirin dan penonton memejamkan mata; meminta menghirup aroma kunyit dan kencur dalam-dalam—setelah mengawalinya dengan mengolah napas seperti meditasi dan oleh tubuh pada teater dan tari. Bahkan, Gilbo juga meminta hadirin dan para penonton bergantian, bila hanya membawa sepotong dari dua jenis itu. Tawa kembali pecah dan riuh. Gilbo kembali berkata: “Semoga dengan mencium aroma itu, teman-teman bisa terus teringat pada pertunjukan ini dan momen ini.” Pernyataan itu sederhana; tapi serangkaian gerak yang membawa pada pernyataan itu membuatnya bergema. Dan saat itu, kau cukup berani bercuriga, nanti, ketika para penonton pulang dari pertunjukan, ketika menyentuh kencur dan kunyit, bahkan empon-empon lain, akan teringat pada pertunjukan Ausadha…
Gilbo dan Rizqi kembali hendak menghadirkan putra Bu Daliyem, yaitu Bu Daromi. Rizqi pun kembali berperan; menjadi Bu Daromi. Serangkaian gurauan mengalir, dan kembali gelak tawa terdengar. Soalan sebelumnya, tentang Bu Daroyah, kembali muncul: usia dan soalan kapan lahir: lahir ketiga tapi jadi anak kedua—sebab saudara atasnya tak genap berusia. Bu Daromi tinggal di Sleman; dan Gilbo bertanya soalan. Bu Daromi pun berkisah tentang bagaimana bapaknya mencipta peta Magelang-Sleman dari kertas rokok dan bolpoin; dan bagaimana jamu telah membawanya berjodoh dengan Pak Rumidi. Dan di semacam akhir sesi, dimunculkanlah lokakarya menumbuk. Gilbo melempar sukarelawan; dan seorang penonton pun menyambut. Adegan lucu kembali bergulir natural. Aktor, partisipan, dan penonton lain begitu menikmati adegan dan aksi menumbuk itu. Setelahnya, partisipan mendapat hadiah. Robby pun dipanggil oleh Gilbo untuk menyerahkan: sebab mendapat gelar fiksional sebagai kepala badan Kemenju. Tawa riang kembali terdengar—


Kemudian, Gilbo dan Rizqi kembali menyampaikan bahwa mereka hendak mengundang putra lain dari Bu Daliyem, yaitu Pak Dariyat. Penonton tertawa; sebab telah menerka, dan memang demikian adanya, bahwa yang mesti berperan adalah Gilbo. Dan seperti yang diduga, Gilbo menggenapinya. Kini, ganti Rizqi yang menanyai. Seperti sebelumnya, logat pembawaannya begitu kental; dan memberi suatu dekat. Pak Dariyat bercerita tentang dirinya, ibunya, saudara-saudaranya, dan tentunya juga tentang jamu. Rizqi pun memantik tanya lugu tentang lelaki dan penjual jamu. Pak Dariyat menyampaikan, bahwa sebagai lelaki, dirinya dibesarkan untuk jadi berani melakukan apa pun, asalkan halal, demi keluarga, anak, dan istri. Dirinya juga bercerita, pernah berdagang berbagai hal: dari sapu hingga jamu. Dan seperti saudara-saudaranya, Pak Dariyat pun belajar langsung dari ibunya, dari Bu Daliyem, dari neneknya Gilbo. Pak Dariyat memberi pula pengakuan, bahwa bagi ibunya, bagi neneknya Gilbo, membuat jamu ialah laku, ialah ritus peribadatan; dan seperti yang kau yakini dan amati, serta alami, tiap ritus senantiasa performatik. Dan saat mendengar dan menyaksikan citra Pak Dariyat, kau terbawa pada suami Bu Marsih, tetanggamu, yang membantu sang istri membuat jamu. Amatlah terpukau kau pada sepasang tangannya ketika tengah berjabat tangan: sebab berwarna kuning-kecoklatan dan juga beraroma rempah karena memeras bahan jamu…


Pak Dariyat berkisah pula, bahwa berdagang jamu itu soal langganan: soal bagaimana seorang pedagang menjalin ikatan. Relasi kedekatan menjadi pijakan! “Bahkan,” ucap Pak Dariyat, “ada yang beli sepuluh tapi hanya bayar tujuh biasa, Mbak.” Pak Dariyat menegaskan semacam kebiasaan: membayar ketika pembeli telah genap ada uang. Soalan itu membuatmu ingat pada kebiasaan ibu-bapakmu yang juga pedagang, selain jadi seniman panggung, ketika menjalin relasi dengan kawan pedagang dan pelanggan di pasar. Dan kepalamu, sambil tetap menyimak adegan natural itu, lekas mencari rujukan ingatan silam: Bahwa berdagang itu, Ngger, bukan hanya soal untung-rugi, tapi juga pertemanan dan relasi. Dan pernyataan Pak Dariyat, melalui Gilbo, membuatmu sadar bahwa barter dagangan adalah bentuk komunikasi dan bukan hanya kerja transaksi. Dan kau mengingat ucapan ibumu, bahwa barter semacam itu didasari kerelaan dan ingin saling melengkapi; sebab ketika genap ditimbang, bisa jadi ada selisih yang kontras. Video dari Pak Dariyat yang nyata muncul di layar; dan serangkaian keluguan membuat tawa penonton pecah lagi; kau merasa keluguan dan apa adanya itu telah membawa dekat tersendiri.


Setelah adegan itu, Gilbo dan Rizqi kembali memandu. Gilbo meminta penonton untuk sejenak mengheningkan cipta bagi para pembuat dan pedagang jamu. Hening; doa-doa terpanjat… Dan Gilbo meminta tiga partisipan untuk naik ke panggung: mencicipi jamu buatan bibinya, berupa Beras Kencur, Kunir Asem, dan Cabe Puyang. Tiga partisipan naik, dan ditanyai Gilbo tentang pengalaman meminum jamu. Tiga partisipan diminta memilih jenis jamu; dan sebelum minum, Gilbo memberi teks pada tiga orang itu: berisi bahan dan proses pembuatan, serta efek samping yang berkisar pada jangka pendek, sedang, dan panjang. Adegan itu kembali memecah tawa, sebab Gilbo menyuguhkan teks dalam bahasa Jawa; dan beberapa partisipan kikuk dengannya. Dan seperti sebelumnya, Gilbo dan Rizqi menyaran: memanjatkan doa bagi para pembuat dan pedagang jamu sebelum meminum jamu. Dan lagi, partisipan pun mendapat hadiah—yang diserahkan oleh Robby. Setelahnya, Gilbo dan Rizqi undur diri: dan berpesan bahwa setelah pertunjukan rampung, para penonton bisa menikmati jamu di meja depan, dekat meja registrasi: jamu Beras Kencur dan Kunir Asem dingin. Semboyan itu kembali terdengar, dan memecah tawa: Jamu sehat anti mlarat…


Panggung kembali hening seperti awal. Gilbo keluar, sedang Rizqi bergeser ke area meja penuh pernak-pernik jamu, berhadapan dengan pakaian kebaya-jarik sambil membelakangi penonton. Lampu terang berganti temaram; dan suasana magis tumbuh. Tak ada bunyi pengeras suara; hanya hening dan sepi. Rizqi berganti pakaian dengan perlahan; melepas pakaian formal itu, melipat, dan menggantinya dengan jarik dan kebaya. Ia memasang dengan pelan dan perlahan, seolah memasukkan ruh dari pedagang jamu sepuh ke dalam dirinya dengan tanpa tergesa. Di akhir, ia memakai kerudung langsungan; dan genap sudah ruh itu merasuk. Rizqi menjelma Bu Daliyem; memanggil nama putra-putranya untuk mengecek kesiapan jamu; lantas memakai jarik-iket untuk menggendong tenggok berisi botol-botol jamu. Gilbo masuk dengan menuntun sepeda dan keranjang jamu. Adegan itu hening saja…, tapi bagimu menggetarkan dada. Di satu sisi, Gilbo dan Bu Daliyem bertatapan, tanpa suara. Bu Daliyem berjalan menepi, menjauhi area panggung; dan Gilbo memutari panggung kecil, meletakkan sepeda di tengah instalasi, di antara sepasang kursi dan meja penuh soalan jamu. Gilbo mengikuti, menepi dari panggung. Hening membawa gema, senyap begitu terasa; dan matamu tak bosan untuk terbuka. Suara dari pengeras suara memecah sadar; terdengar riwayat Bu Daliyem: tentang perjalanannya, tentang jamu gendong—yang berganti jadi “jamu sepeda” sebab suatu soal. Tawa liris terdengar, dan kau kembali terpukau pada sensasi yang muncul, liris-sendu tapi riang. Setelah diskusi kecil-kecilan, kau dan penonton lain keluar; menikmati jamu dingin itu. Dan sambil menatap langit, kau menikmati Kunir Asem itu . . .


Di Antara Segelas Jampi: Narasi-Narasi dan Doa yang Menyertai
Setelah makan siang, kau duduk di ruang tamu; menikmati suasana santai sebab tak ada kelas. Ibumu meminum Kunir Asem yang dibeli di pasar, dengan barter dagangan; dan kau mendadak teringat pertunjukan Gilbo lagi! Kau merasa sebal tepi sekaligus geli, sebab pertunjukan itu benar-benar berhasil membekas: membuat jembatan antara jamu dan pertunjukan Ausadha itu. Kau bergeser ke ruang kerja, ke ruang yang dulunya adalah kamar nenekmu sebelum ia istirah menuju Sana; dan kau berkata pada ibumu, hendak merampungkan catatan atas pertunjukan. Dan kau melanjutkan tulisanmu, tulisan tentang apa-apa yang kau rasai ketika menyaksikan pertunjukan Ausadha—yang disutradarai Gilbo sendiri: untuk pementasan Festival Minikita di IFI-LIP. Menuliskan catatan pertunjukan yang dipersembahkan kepada nenek si sutradara dan penampil di ruang yang dulunya ialah kamar nenekmu membuatmu mendapati sejenis lirisme dan haru tersendiri.
Kau pun menulis, bahwa bagimu, menyaksikan pertunjukan Gilbo adalah menyaksikan riwayat jamu dengan lebih dekat. Pertunjukan Ausadha: A Tribute to My Grandma telah membuatmu sadar, selama ini pembuat dan pedagang jamu tak genap dicatat dalam narasi-narasi agung tentang jamu: yang tersemat pada candi-candi, kitab-serat puisi, juga ritus-ritus suci. Biografi, sejarah keluarga, dan narasi muncul dengan lugu, tapi dekat-liris; dan karenanya jadi begitu politis. Apa yang digarap Gilbo dengan Ausadha, tulismu di ruang kecil tapi syahdu itu, adalah pertunjukan yang mencoba menelusuri diri sendiri, sekaligus menawaran kepada penontonnya untuk juga menelusuri, menilik sejarah dan biografinya sendiri. Kau melihat jauh; memandang dinding yang kau cat ulang, tapi tak menutupi apa pun: “Siapa yang mengobati para tabib, siapa yang memijat-urut para pengurut; dan apakah pembuat jamu itu bisa mengobati lelah dan luka-lukanya sendiri?”
Kau kembali tertunduk menatap layar; melanjutkan tulisan. Dan kau masih juga terpukau pada tawaran yang disuguhkan Ausadha; sebab tak hanya menawarkan hal yang bisa dinikmati mata dan telinga, tapi juga bisa dinikmati hidung, lidah, dan indra peraba. Pertunjukan itu, bagimu, kian mempertegas bahwa jamu adalah suatu yang performatik—baik dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Di pertunjukan itu, kau lihat Gilbo menunjukkan, teater atau seni pertunjukan ialah juga obat dan suplemen: baik konotatif maupun denotatif. Dan saat mengingat-ingat, kau menyadari, pertunjukan itu menyuguhkan sejenis pernyataan: Seperti obat atau jamu, kenangan bisa jadi penyembuh—meski tak genap manis dirasa. Dan wejangan di pertunjukan itu, begitu berhasil menancap di kepalamu: “Berdoalah bagi para pembuat dan pedagang jamu sebelum meminum jamu.” Dan kau teringat nenekmu yang selain jadi tukang pijat-urut itu juga sesekali membuat jamu; juga teringat pada adegan di mana ia menunggu simbok penjual jamu gendong yang berkata: “Jampi, jampi, jampine, Bu…” Sambil menulis, kau juga teringat, masa sekolah menengahmu didefinisikan pula oleh jamu paitan.
Dan setelah berjarak, kau cukup bertanya-tanya tentang kenapa Gilbo dan Rizqi menghadirkan Bu Daroyah, Bu Dariyem, dan Pak Dariyat dengan hanya menirukan suara dan gerak-geriknya saja; dan kenapa tak seperti Rizqi saat memerankan Bu Daliyem—dengan berganti pakaian? Amat kau pahami, keterbatasan waktu jadi pertimbangan; tapi menambahkan properti sebagai pembeda agaknya bisa jadi opsi. Namun, kau juga membayangkan dengan kerja demikian, bisa jadi efek tertentu yang telah muncul saat pertunjukan akan berkurang. Kau membayangkan, kebaya dan jarik yang dipakai Rizqi saat menjelma Bu Daliyem tak secerah itu: sehingga memunculkan kesan tua, dan kian mempertegas usia beban makna. Dan andai boleh meminta, sebab Ausadha adalah seri yang berkembang, dan kemungkinan akan dimunculkan lagi, maka kau ingin serangkaian indra kian digarisbawahi; atau ada penegasan pada produksi, distribusi, dan konsumsi. Makanan atau minuman, meski dalam hal jamu jadi samar, senantiasa memicu perbincangan dan relasi kemanusiaan; dan bukankah itu adalah sejenis inti seni pertunjukan? Ah, kau membayangkan ada adegan memeras jamu; membayangkan aroma rempah itu mengisi ruang pertunjukan. Dan saat membayangkan itu, kau sedikit tertawa geli: sebab betapa rempah telah memengaruhi arah laju sejarah…
Kau merampungkan tulisan; dan sejenak berbaring di ruang kerja: memandang langit-langit. Andaikan ada yang bertanya padamu, apa pertunjukan Gilbo berhasil atau tidak, maka dengan mantap kau bisa berkata, pertunjukan itu berhasil. Betapa pengalaman kehilangan, pengalaman haru, dan kenangan ternyata bisa dihadirkan secara riang, tapi tak menghapuskan keharuan dan kelirisan yang romantik: bahkan mempertegasnya. Dan andaikan ada gurauan yang menyaran Gilbo membuat kenduri atau sejenisnya, sebagai bentuk kirim doa, maka kau berani berkata, cara yang dipilih Gilbo, dengan pertunjukan yang demikian, amat berhasil. Kenduri lumrahnya menghadirkan orang-orang yang mendoakan ketika acara itu saja; tapi cara Gilbo, yang mana cukup dogmatis tapi liris, berhasil menancapkan suatu laku: Sebelum minum jamu, berdoalah bagi para pedagang dan pembuat jamu—yang berarti doa untuk neneknya pula. Ah, sore, dan simbok pedagang jamu itu melintas; dan kau memutuskan membeli. Dan seperti pesan Gilbo, kau berdoa bagi para pembuat dan pedagang jamu, berdoa bagi neneknya Gilbo dan nenekmu sendiri. Dan setelahnya, kau mengucap mantra itu, mengucap jampi itu, yang terwaris dari nenekmu pada ibumu, dan juga padamu: Tamba teka lara lunga, lunga kersaning Allah… Wis mari golek pari waras, golek beras urip golek duit. []