Ritual dan “Joker” dalam “Budi Bermain Boal” karya Megatruh Banyu Mili
[Amos]. Helatari Salihara 2023 menampilkan “Budi Bermain Boal”, dengan Megatruh Banyu Mili sebagai koreografer, kemudian Putri Lestari dan Widi Pramono sebagai penampil. Semua penampil memakai seragam sekolah dasar dan hanya ingin dipanggil sebagai “Budi”.
Selama 40 menit pertunjukan, saya merasakan pengalaman melebur dengan gerak dan panggung. Peleburan ini bersumber dari upaya melibatkan penonton dalam aksi performatif para penampil. Akhirnya, panggung itu tak hanya bertempat di depan para penonton saja, tetapi teritorinya melebar jauh ke ratusan bangku di teater Salihara.
Saya cukup terkejut dengan “Budi Bermain Boal”, karena biasanya Helatari Salihara berisi sajian koreografi saja, membuat mata penonton terlalu sibuk menatapnya. Dalam karya ini justru penonton dilingkupi koreografi dan dramaturgi sekaligus. Tubuh penonton bermetamorfosis menjadi spect-actor, dalam kata lain saya si penonton ikut-ikutan menjadi “Budi”.
Saya butuh memahami ulang pengalaman menonton “Budi Bermain Boal”, karena saya terlalu merasuk pada panggung yang dimiliki bersama itu. Dibanding menyajikan pembedahan fragmen, saya lebih tertarik melihat kaitan antara teks-teks Augusto Boal dan koreografi yang disusun Megatruh. Sebab dugaan saya, karya “Budi Bermain Boal” berusaha merespon teknik sistem “Joker” dari Augusto Boal. Pola tersebut terlihat mirip sekali ketika fragmen pertunjukan dibaca sesuai apendiks yang Boal tulis dalam buku “Theater of the Opressed”.
Soal Ritual dan Megatruh sebagai Joker.
Saat saya memilih bangku di teater Salihara, gerak di panggung sudah berjalan. Gerak itu adalah tangan tegak ke atas, siku ditekuk hingga jari sejajar dengan kepala, lalu tangan tegak ke depan, dan tangan dilipat seperti sikap duduk manis anak Sekolah Dasar. Dalam beberapa bagian, ada tambahan gerak setelah lengan dilipat, yaitu senyum lebar menghadap ke arah penonton.
Pola repetitif ini diulang seperti mesin yang mekanis, ia bahkan telah berjalan sebelum ada penonton. Pertunjukan entah dibuka dengan aba-aba atau tidak, yang jelas gerak repetitif itu telah berlangsung. Pertunjukan juga usai dengan gerak dan situasi koreografis yang hampir sama persis dengan pembuka.
Lalu, apakah pembukaan dan penutupan dalam “Budi Bermain Boal” ini benar-benar ada? Atau, ternyata ruang pertunjukan sengaja dibuat gamang dengan fragmen tanpa aba-aba soal mulai dan tamat?
Terlihat gerak repetitif yang selalu berulang itu ingin mendobrak batas waktu dan hadir sebagai ritual. Mendobrak linieritas waktu adalah salah satu hal penting dalam gagasan “Joker” dari Boal, menurutnya ritual perlu dijalankan melampaui kata mulai dan usai, jauh sebelum aba-aba dalam skenario panggung. Batas antara mulai dan tamat kemudian menjadi kabur, sebab ritual di panggung membangun lintasan waktu yang tak linier, bahwa tak ada batas yang jelas antara permulaan dan akhir.
Menyajikan rutinitas itu dalam gerak repetitif adalah ritual sekaligus penyajian topeng sosial (social mask). Menurut Boal, teknik teater yang menyajikan ritual dan topeng berupaya menyingkap suprastruktur dan tatanan sistem nyata pada dunia kita hari ini. Topeng sosial dari laku keseharian tercermin pada ritual yang mengharuskan seorang subjek memainkan peran dalam masyarakatnya, termasuk apa yang wajib ia lakukan dalam topeng sosialnya itu.
Soal duduk manis dan wajib taat untuk menelan omongan guru adalah ritual harian anak SD di bangku sekolahnya. Topeng sosial yang menempel bersama seragam sekolah dan gerak para penampil bukan sekedar aksi panggung. Tetapi, itu semua menjadi potongan kehidupan nyata (slice of life) untuk menyajikan realitas sehari-hari.
Ritual sikap duduk manis ini bisa ditemukan dalam berbagai fragmen lanjutan. Sekalipun ada aksi-aksi performatif lain, tetap ada seorang penampil yang terus bergerak dalam ritual sikap duduk manis ini. Bangku kayu, kemeja putih, celana merah, sepatu hitam, dan suasana ruang kelas mengembalikan ingatan kita semua pada ritual keseharian yang nyata.
Ritual dalam “Budi Bermain Boal” ini begitu kuat terjadi, tetapi ia kemudian diruntuhkan oleh peran salah satu penampil. Dari tiga penampil yang memakai seragam SD dan bertindak sebagai Budi di ruang kelas, satu penampil menjadi sosok guru. Pergantian fragmen dan kemunculan guru ini dilakukan oleh Megatruh, ia keluar lalu masuk kembali ke arena dengan kemeja putih dan celana panjang coklat. Sambil membawa map dan menyapa ruang kelas, ia bermetamorfosis dari anak SD menjadi guru.
Peran Megatruh sebagai guru seakan menunjukkan peran “Joker” yang dibahas Boal. Sebagai guru, ia memiliki otoritas untuk mengatur, memerintah, dan menyuruh siapapun untuk berperan. “Joker” mengambil peran sebagai sang maha tahu, bisa berganti-ganti wajah, magis, dan tampil secara otoritatif.
Sebelum metamorfosis menjadi guru, Megatruh sejak awal tampak menjadi “Joker”. Ia mengatur gerak penampil lain, menginterupsinya, hingga terkadang terlibat dalam perkelahian dan keluguan bersama anak SD yang lain. Hal ini menurut Boal penting dalam pengembangan karakter “joker”, bahwa perubahan karakter perlu terjadi secara perlahan (slow transformation) di mana ada kelanjutan karakteristik, baik sebelum dan sesudah terjadinya momen perubahan. Otoritas “Joker” ini kemudian masuk dalam teritori bangku penonton juga, Megatruh sebagai guru memerintah penonton untuk mengerjakan lembar soal Ujian Akhir Semester. Ia membagikan kertas, pensil, dan menyuruh kami untuk mengerjakan soal dalam waktu lima menit. Sambil melakukan monolog, ia sesekali menegur penonton agar fokus mengerjakan soal.
Terdapat relasi antara “Joker” dengan para penampil, hingga penonton memperlihatkan relasi guru dan siswa. Sebuah relasi tentang sang pemerintah dan si terperintah, sang otoritas dan si penurut, sang penguasa dan si rakyat. Relasi kuasa yang tadinya hanya berjalan pada ritual di panggung, kemudian berpindah juga pada penonton. Subjek penonton dijejali ritual yang sama dengan para penampil, sang Joker menjadi agen performatif untuk memperluas teritorinya.
Spect-actor dan Koreografi yang Dramaturgis.
Tentang kuasa yang masuk pada barisan penonton adalah tawaran menarik, sebab penonton akhirnya melakukan ritual yang sama dan ikut patuh pada perintah sang “Joker”. Terungkapnya relasi yang timpang ini mungkin hal yang ingin dicapai “Budi Bermain Boal”. Bahwa kita semua memiliki topeng sosial yang menempel pada wajah dan baju, sebab semua orang melakukan gerak performatifnya sesuai perintah otoritas.
Penonton yang terlibat dalam ritual ini tak berperan untuk sekedar menonton, tetapi menjadi “Budi” yang lain dari pertunjukan. Dalam istilah Boal adalah spect-actor, di mana sang penonton ikut mengupayakan keterlibatannya bersama pertunjukan. Upaya pelibatan penonton ini terjadi akibat keterpaduan antara koreografi dan dramaturgi. Gagasan Augusto Boal yang lebih sering dipakai dalam teater ternyata bisa digunakan juga dalam koreografi.
Eksperimen lintas batas yang terdapat dalam pertunjukan ini menyajikan cara kerja kuasa dalam praktik keseharian. Kita semua dipaksa memakai topeng sosial dan bergerak sesuai arahan, bahkan dalam tataran yang sehari-hari. Terungkapnya cara kerja dan relasi kuasa yang otoritatif menjadikan panggung sebagai cerminan masyarakat kita hari ini.
Panggung dalam pertunjukan ini tidak menjadi lokasi adiluhung tempat keluhuran estetika bersemayam, tetapi ia menjadi arena performatif tentang banalnya situasi keseharian (true-to-life situation). “Budi” kemudian melampaui nama orang, ia menjadi metafora dari cara kerja kuasa yang nyata dalam politik keseharian.