Sebuah Tur dalam Blur, Leu Wijee dan Telusur Tekstur
Perihal Penonton dan Menonton
Belakangan, saat mendapat undangan menonton pertunjukan, kau cukup betah bertanya-tanya: tubuh seperti apa yang mesti disiapkan, sebagai penonton, ketika menonton? Bagimu, kesenian adalah perkara keterampilan; dan keterampilan memijakkan diri, salah satunya, pada latihan. Karenanya, meski masih betah percaya bakat, kau percaya seni, apa pun medianya, bisa dilatih, bisa dipelajari. Dan sebab demikian, kau percaya, kerja penikmatan, membaca, menonton, juga menyimak adalah keahlian, suatu yang juga bisa dipelajari-dilatih. Ya, kau percaya, membaca, menyimak, dan menonton adalah bakat, adalah juga kutukan. Sebab demikian pula, belakangan kau jadi iseng bertanya: Apa latihan bagi penonton, apa penonton juga mesti menyiapkan tubuh sehingga bisa menerima pertunjukan secara penuh-utuh? Apa penonton juga mesti berperan jadi penonton? Sesekali, kau dapati jawaban; tapi kau masih betah merawat tanya itu—
Memberi Judul dengan Tak Menjuduli
Setelah merampungkan dan menggenapi beberapa hal, kau pun memutus untuk berangkat ke Sakatoya Collective Space guna menonton pertunjukan dari Leu Wijee yang berjudul Untitling. Dan sebelum berangkat, seperti biasanya, kau membaca semacam pengantar, yang itu kali disuguh akun Komunitas Sakatoya; dan kau mesti mengakui, kau cukup terkejut, pengantar itu tak selumrahnya pengantar: tapi tetaplah masih bisa kau terima sebagai pengantar. Ah, sesekali kau juga iseng tak membaca teks pengantar; menerka apa yang terjadi pada dirimu! Menonton tanpa pengetahuan apa pun tentang apa yang ditonton. Namun, dalam kasus tertentu, jelas, kau lebihlah memilih membaca panduan; terlebih bila jelas tujuan dan kapan mesti sampai. Sebab itu pula, kau memutus untuk berangkat awal, agar tak dihantui magi ketergesaan; dan bila mesti tersesat, kau masih ada di batas yang bisa diantisipasi. Dan seperti yang kau duga, itu malam, kau sedikit tersesat; untunglah ada warga yang menunjuk arah. Hal itu, bagimu, jadi pernyataan tersendiri: satu pengetahuan kecil atau kata kunci akan sangat membantu: terlebih bila hal yang ingin dicapai adalah pemahaman, kemengertian.
Syukur, kau tetaplah dapat terbilang datang awal. Di sana, kau berbincang dengan kawan dan kenalan; sejenak ngopi lagi. Sebab masihlah terhitung awal, dan belum ramai, kau berkenalan dengan Leu, dan mendapatinya berbagi kisah sambil merokok. Dan dirimu iseng saja bertanya-tanya sendiri: Jika rokok yang ia rokok adalah merek lain apa pertunjukannya juga akan lain? Kau menyambut kawan yang lain, berbagi kisah dan kabar, sambil menanti pertunjukan genap dimulai. Jam menunjukkan pukul 20.00; dan mundur 30 menit dari undangan. Dan pembawa acara, kalau ia bisa dibilang begitu, lekas mempersilakan hadirin jadi penonton, mempersilakan hadirin untuk naik ke lantai dua: masuk ke ruangan presentasi, ke ruang pertunjukan. Sebab tangga yang tak terlampau lebar, para penonton yang hadir pun mengantri perlahan. Sesampai di dalam, di sebuah ruang, kau pun mendapati suatu ganjil—
Saat masuk, kau diizinkan duduk di mana pun; senyamannya. Dan kau jadi penasaran: tatapan seperti apa yang memungkinkan penikmatan maksimal, atau memang mau dibuat serangkaian kemungkinan? Kau duduk di tepi: melihat dari suatu sudut. Dan tanpa genap sadar, kau dapati pertunjukan sudah mulai-berjalan. Sepasang matamu terpukau pada benda-benda dan instalasi yang dimunculkan di atas panggung. Di sana, ada tivi besar, layar tablet; yang mana keduanya memutar video; ada pula tiga pot berisi benih-benih, tas besar dengan isi yang sukar kau terka, dan seperangkat sound-system yang ditampilkan kasar dan jadi bagian area panggung Leu. Di sana, juga terbentang karpet biru, karpet berbulu; juga ada sebutir mik merah. Dan semua itu disorot lampu berwarna ungu. Itu kali, kau dapati Leu memakai kaos putih dan celana longgar yang setahumu biasa dipakai penari atau untuk memungkinkan gerak-gerak yang luwes.
Dari posisimu duduk-menonton, kau tak dapat melihat apa yang tivi besar itu putar; dan hanya dapat melihat samar video dari tablet, video acak-mozaik. Kau lihat Leu mulai menggerakkan sepasang tangannya dalam suatu komposisi: gerak yang masih berkisar pada langan bawah dan pergelangan tangan. Sepasang matanya melihat tivi besar itu; dan kau tergoda menerka, jika ia merespon yang tampil-ditampilkan tivi. Ya, kau boleh berpindah; tapi memutus untuk tidak—atau lebih tepat belum: sebab kau menunggu sesuatu, dari Leu atau dirimu sendiri. Sepasang matamu tercuri gerak tangan itu, tangan yang bagimu tampil untuk meraba sesuatu. Kepalamu, yang sialnya betah berpikir itu, mencari asosiasi: seperti orang sembahyang atau suatu ritual mula. Namun, kau juga menyadari, gerak itu nyaris robotik; tak genap mekanik. Ia duduk, dan melakukan gerak berulang. Sesekali, dalam komposisi itu, kau lupa wajah Leu: lupa menyaksi ekspresi: begitu tercuri gerak tangan itu. Akan tetapi, sesekali, tatapanmu tetap berhasil dicuri oleh layar tablet itu…!
Suara gema berulang, yang menjadi pengiring, kalaulah boleh dikata begitu, bagimu, memberi atmosfer tersendiri. Dan kau masih hanyut pada kesibukan Leu yang mencari itu. Ah, apa ia memang mencari? Kepalamu lekas saja menerka-mengasosiasi, ia seperti tengah mencari kutu di antara karpet biru berbulu. Dan entah kenapa, kata “mencari” begitu tebal bagimu. Kepalamu lekas memberi seperti-seperti yang lain: seperti orang buta yang meraba, seperti seorang yang mencari sinyal agar terhubung, seperti…. Dan sebab melihat dari sisi itu, kau dapati gerak Leu seperti gerak bibit pohon di sebelah. Atau, sebab bersebelahan, pikirmu, kedua hal itu tampak terjalin-berjalin, menjalin. Pararel! Bahkan, bagimu, dua hal itu lebih terhubung dibandingkan dengan tivi, mik, dan hal elektronik lainnya, yang dilihat dan disentuh Leu, apa sebab organik? Ah, apa manusia, dan tubuh kini, adalah suatu organik?
Di titik itu, meski tetap hanyut pada gerak meraba dan menerka, yang kini bukan hanya karpet, tapi meraba-menerka tubuh sendiri, tangan dengan tangan, kau mulai bertanya-tanya: Apa yang ada di layar itu? Dan kau, akhirnya, seperti yang lain, lebih tergoda melihat selain tubuh Leu, selain gerak Leu. Ya, itu kali, kau melihat penonton yang menonton. Dan setelah kembali sadar dan fokus itu, kau pun melihat tubuh Leu bergerak, menerka. Apa yang membentuk tubuh itu—sampai bisa dan mau bergerak seperti itu: di sini dan kini? Dan kau dapati ia mulai meraba luar karpet biru, meraba lantai hitam yang tampak lebih beku. Lalu, sepasang matamu mendapati Leu, dengan tangannya, membuat gerak tari, gerak liris-mendayu. Aduh, apa yang sebelumnya bukan tari—meski terkomposisi dan terkoreografi?

Setelah gerak liris-mendayu itu, kalau boleh kau sebut begitu, ia menghantam mik; dan tentu, mencipta bunyi “duk” yang mengejutkan dan mengagetkan! Ia ambil mik itu dan memunculkan siluet seperti bernyanyi, berorasi, atau yang berkisar di antara itu. Namun, ia tak bersuara; dan kau bertanya-tanya: Apa penonton lain juga menerka-nerka? Dan, saat itu, kau kembali tergoda pada apa yang dilihat para penonton lain, dari sudut lain. Kau dapati satu-dua penonton bangkit melintas berpindah tempat: untuk menonton dari sisi lain, dari sudut lain. Dan bagimu, itu hadir sebagai bagian dari komposisi, dari koreografi. Dan ketika kau kembali fokus kepada Leu, kau dapati mik itu tak genap jadi mik. Ah, memang apa pula yang menjadikan mik itu mik? Mik itu jadi tuas, jadi perluasan tubuh tapi di bagian tertentu tampak juga membelenggu. Dengan mik yang dijelmakan tuas, kau dapati siluet Leu yang seperti mengendarai karpet. Di layar tablet, muncul menitan! Menitan atas apa? Kepalamu pun memunculkan tanya kepada dirimu sendiri: Kenapa aku tak bisa fokus ke bergerak itu, ke tubuh Leu? Lalu, tubuh Leu, di matamu, seperti tengah mengukur; dan tanya tentang apa yang ia ukur dan dengan satuan apa pula ia mengukur mulai muncul di kepalamu di benakmu. Ia berdiri; dan tangannya seperti mula: menerka tubuh sendiri. Dan, pada suatu titik, ia kembali menggerakkan tubuh yang kau pahami sebagai tubuh tari: meski jelas kau pertanyai lagi. Dan dari sudutmu, pararel tubuh Leu dan bibit-bibit pohon itu makin menggema, makin menjelma, makin pararel adanya; bahkan, meski jelas berlebihan, tampak tak genap beda! Di layar kecil, tampillah iklan sampo; rambut hitam yang panjang. Ah, kembali tercuri fokusmu. Namun, kenapa aku harus fokus?
Saat ia berdiri, dan kembali menerka, kau merasa ada suatu yang lepas tapi juga tertahan. Otot dan tenaga, dugamu. Dan kau baru sadar, pada bagian itu, kau baru menimbang dengan otot-tubuh dan suatu perasaan. Dan kau kembali iseng bertanya: Tubuh macam apa yang sebenarnya kau tonton, kau saksi? Dan kau akhirnya tergoda untuk berpindah posisi: melihat dari belakang tubuh Leu, melihat apa yang ada di layar tivi besar itu. Dan saat melihat, kau dapati tubuh yang menjelma mozaik; pararel tubuh Leu dan potongan videografi di tivi. Dan kau kembali melihat tubuh itu, tubuh Leu yang begitu mencoba mengenal-merasa sesuatu. Lalu, semacam puncak; dan pertunjukan pun rampung! Tepuk tangan—yang terdengar canggung: dan kau bercuriga penonton tengah menerka apa yang dilihat, dipikir, dirasa, bahkan dialami. Kemudian, sekalian acara pun dilanjut dengan diskusi kecil-kecilan, silih-berganti. Dan, meski rampung, di bawah, sekalian percakapan masihlah bergulir.
Setelah serangkaian obrolan, yang ngalor-ngidul, kau pun pulang; dan menikmati angin malam dengan tubuh yang tak genap dipeluk dari belakang oleh gadis yang betah bertanya kenapa kau betah mengerjakan catatan-catatan. Dan sesampai di kontrakan, sepulang pertunjukan, kau ingin lekas menulis impresi dan catatan; tapi tubuhmu, yang mulai ingin kau percaya, berkata kau mesti rehat, mesti mencukupkan untuk sesaat. Dan setelah beberes sejenak, kau pun tidur…
Setelah Jalan Pagi Sebelum Pergi Kembali untuk Acara Seni
Selepas jalan pagi, dan sarapan nasi, kau pun mengambil kertas buram dan membuat catatan atas apa yang kau saksi dan alami semalam dalam dan melalui itu pertunjukan. Ya, sepanjang jalan dan ketika kau berjalan dan menimbang; dan mendapati serangkaian kesadaran pula. Di kertas-kertas buram itu, yang nanti akan kau pindah ke laptop, kau pun menulis… Salah satu pernyataan Leu yang cukup membekas di kepalamu, di sesi diskusi dan bincang-bincang adalah bahwa ia menyamakan kerja dan pertunjukan semalam sebagai dan seperti orang yang menulis sekaligus menghapus. Entah dari mana dan kapan, kau merasa pernah mendengar ucapan itu; tapi bagimu, itu kali tak genap penting. Betapa, ketika menimbang apa yang kau saksi, kau tak melihat jarak yang jauh antara kerja dan itu pernyataan. Akan tetapi, kau tetap menaruh curiga: Apakah ia memang menulis dan menghapus, atau malah menulis dengan penghapus? Meski demikian, gema yang masih membekas di kepalamu, juga di dalam dadamu, adalah pertanyaan yang membersamai itu: Di mana posisi dan peran penonton?
Sambil membuat catatan, memindah impresi dan menimbang kembali, kau meningat kembali percakapanmu dengan Adit di kantin Fakultas Ilmu Budaya—yang juga mengingatkanmu pada percakapan dengan Hayya di depan kelas salah satu gedung Fakultas Seni Budaya. Setidaknya, dari percakapan itu, kau punya semacam simpulan, pertunjukan adalah suatu yang dipertunjuk-tontonkan; dan sebab itu mensyarat penonton, bukan hanya pelakon; sebab pertunjukkan, maka tentulah ada yang dipertunjukan, dan itu bisa apa pun…
Karena itu, kau pun membayang, jika Leu memang menulis dan menghapus di saat yang sama, penonton mestinya juga bisa melakukan hal yang setara: menambah dan mengurang, misalnya. Dan ketika kau menimbang pernyataan, dan jawaban, dari Leu, atas sebuah tanya itu malam, kau makin ingin berkata, atau seminimalnya membayang, jika penonton dapatlah juga menulis dan menghapus. Indikasi itu, bagimu, sepengamatanmu, bahkan kau sendiri melaku, sudah ada. Berpindahnya penonton dari satu sisi ke lain sisi, setidaknya, bagimu, sudah mengamini premis pertunjukan Leu sendiri, baginya atau penonton. Bagaimana tidak? Leu menyatakan, jika tubuh bisa bergerak sendiri tanpa berpikir, meski kau jelas tetap menaruh curiga ada pikiran ataulah rangsang tertentu. Betapa kau amat yakin, bahwa penonton-penonton itu ingin berpindah sejak detik atau menit awal, tapi masih menimbang-nimbang: seminimalnya: Apa perpindahan saya akan mengganggu pertunjukan? Andaikan itu malam para penonton riuh bermobilisasi, bisa berpindah-pindah lebih natural dan jujur, juga masif, bahkan bisa memangkas jarak pandang, dengan menonton lebih dekat ambillah, kau cukup bisa berkata, premis pertunjukan Leu bukan hanya diujudkan oleh Leu—tapi berhasil merambat-ditangkap penonton. Meski begitu, kau tak genap membayang jika pertunjukan itu jadi partisipatoris. Bagimu, berpindah atau memangkas jarak pandang, sudahlah cukup menggarisbawahi reflek tubuh yang hendak ditawarkan Leu.
Pada semacam pengantar, yang kau baca sebelum menyaksi pertunjukan, kau dapati pernyataan bahwa pertunjukan yang hendak ditawarkan Leu tak hendak menjanjikan makna; tak hendak menggubah teks atau merangkai pesan. Tubuhnya adalah, sesuatu yang hendak dijadikan, suatu lanskap di mana segala hal berlalu-lalang. Akan tetapi, bagimu, dan kau lumayan bercuriga penonton lain juga iya, bahkan sebab tanggapan beberapa penonton di sesi diskusi, Leu malah menyuguhkan semacam makna, semacam pesan. Ia tak sekadar mengada. Bagimu, tubuhnya menawarkan serangkaian tanya; bahkan juga kisi-kisi “jawaban” dari sesuatu. Dan setidaknya, bagimu, meski tubuhnya berhasil jadi lanskap, tapi kau masih belum melihat tubuh itu memicu lalu-lalang dalam pengertian fisik, seperti lalu-lalang penonton misalnya. Meski demikian, kau paham: jugalah ada serangkaian lintasan lain, serangkaian lalu-lalang lain.
Pada alinea selanjutnya, dari itu pengantar, meski memang hanya dua, kau dapati Leu memijak dirinya pada soal reflek dan kesadaran; seperti napas yang tercekat, dan upaya meraba dinding ketika gelap. Dan kau masih berkeyakinan, reflek dan kesadaran itu, semestinya, dapat pula tersalur ke penonton. Rasa penasaran pada layar tivi, rasa penasaran pada sisi menonton yang lain. Atau, bila memang bukan soal penasaran, mestinya tubuh penonton bisa pula dibuat lebih jujur: di mana ada penonton yang meluruskan kaki atau bahkan mau menonton sambil rebahan. Dan betapa, sudut pandang penonton, atas yang Leu dan ruang itu suguhkan, malah membuat garis bawah penegas: tubuh manusia tak benar-benar bebas, bahkan saat menonton pertunjukan yang menawarkan kebebasan. Kuratorial Sakatoya, dalam hal ini, mendapat pengaminan; tapi, belum penggerakan.

Sekali lagi, saat memijak dan menimbang antara pertunjukan dan pernyataan, bahkan kerangka kuratorial, pernyataan Leu bahwa tangan yang meraba dinding atau hanya menggenggam jari-jemari sendiri saat listrik padam bukan genap merapa untuk mencari arah, tapi untuk mencoba meyakinkan diri bahwa tak ada yang hilang: meyakinkan diri masih ada. Dan kau mengamini hal itu: sebab kala listrk padam atau kala memati lampu untuk terpejam, kau meraba tanganmu, entah mengapa. Upaya untuk meyakinkan diri ada, setidaknya, sudah ditunjukkan Leu: bahkan ia berani menyampai, ia hendak-dan-telah berdialog dengan diri sendiri. Lalu, ketika Leu ingin dan menjalankan pernyataan bahwa ia ada, lantas di mana penonton dan keberadaan penonton? Apa penonton ada hanya untuk menonton Leu—yang ingin menyadari dirinya sendiri itu ada? Apa tak semestinya, keberadaan Leu, dan segala upaya itu, memicu ada penonton; membuat penonton dapat berkata, merasa, atau menyadari, dirinya juga ada? Ah, namun, kau tak genap tahu juga: semesti itu tepat atau tidak.
Kemudian, sambil meregang badan dan kembali membuat catatan, ada tanya lagi yang hinggap di kepalamu: Apa Leu sadar ditonton? Meski tengah asyik berbincang dengan dirinya sendiri, mencoba mendialogkan biografinya sendiri, bagaimana kala ia menyadari ada penonton, ada biografi penonton—bahkan biografi Sakatoya dan ruang di mana ia memijak guna berbincang dengan dirinya sendiri? Ketika melihat sepak terjang Leu, sepengetahuanmu, kau bercuriga ia sudah tak dihantui oleh keinginan terlihat bagus. Akan tetapi, kau lebih penasaran bagaimana ia berhadapan dengan biografi para penonton. Bukankah ada kemungkinan gerakan yang ia munculkan, sebenarnya, bukan murni percakapannya dengan diri sendiri?
Dan sebab yang demikian, kau malah tergoda menimbang satu hal ke belakang, yaitu perihal posisimu yang awal; dan kenapa ingin berpindah posisi. Instalasi yang disuguhkan oleh Leu, bagimu, telah berhasil memicu penonton memilih posisi menontonnya sendiri—bahkan refleks memilih posisi dari yang ingin ditonton. Ah, bagaimana orang menatap suatu dan membentuk lanskapnya mencermin apa yang jadi dasar diri… Akan tetapi, kau masih betah memikir ulang: kenapa gerak Leu malah belum membuat penonton bergerak? Apa sebab kekikukan Leu atas biografinya merambat ke penonton, hingga penonton juga kikuk terhadap biografinya sebagai penonton? Dan sebab serangkaian itu pula, kenyataan bahwa kau mengingat kembali dengan membuat nota, kau menyadari, selama menonton, kau lebih sering memakai mata-telinga dan kepala—dibandingkan tubuh dan hati. Akan tetapi, jelas, kau tetap memakai tubuh dan hati itu; dan itu baru kau rasai dan sadari kala berpindah posisi, atau kala mendapati tubuh Leu yang tegas mencipta siluet pula. Dan betapa pertunjukan itu membuatmu sadar, ada beberapa waktu; ada waktu pertunjukan, waktu nyata, bahkan waktu irisan antara. Bahkan, di sesi diskusi, ketika Leu berkata, ia memijak selesai pertunjukkannya pada cukupnya sendiri, dan ternyata tak jauh beda dari waktu yang disedia Sakatoya, kau mendapati keterpukauan ganjil. Ia merasa bahwa pertunjukannya lama; tapi, di titik tertentu, kau merasa lekas; dan entah pula penonton lainnya.
Menonton pertunjukan Leu, itu malam, bagimu, adalah menonton hal-hal yang selama ini luput disadari, luput ditimbang kembali, luput dirasai dan dialami dengan lebih penuh seluruh. Meski jelas ada serangkaian soal, kau merasa, pertunjukan itu malam adalah pertunjukan. Dan ketika, juga sesudah, kau menulis catatan atas pertunjukan Leu itu malam, kau menyadari, kau menulis dengan tangan pula, kau menonton itu malam dengan tubuh pula; dan melakukan itu semua dengan sadar, dengan merasa, sekaligus reflek juga…
Sebuah N.B. yang Ditulis selepas 19 Mei
Ruang Dalam Project, yang digagas Komunitas Sakatoya, hadir sebagai platform pertunjukan intim yang mempertemu seniman dan penonton yang terbatas—dengan tujuan menumbuhkan diskusi padat, menumbuhkan hubungan makna, dan menghasilkan pemikiran dan pengetahuan yang kaya antara seniman dan pemirsa. Demikianlah tulis Komunitas Sakatoya—yang dirimu baca malah dua hari setelah pertunjukan. Pertanyaan yang muncul di kepalamu adalah apakah hal itu masih memungkinkan; atau mesti bersiasat. Kau, saat membaca tawaran “An Ecology of Blur”, amat tertarik; juga ide bahwa pertunjukan adalah kejutan, suatu yang tak genap ditahu, bahkan senimannya sendiri, penyelenggara sendiri, meski ada premis dan juga pijakan mula. Lalu, pertanyaanmu adalah apa yang dimaksud intim di tujuan projek. Apa intim berarti dekat, yang berarti cukup dengan menghadirkan ruang yang tak lebar, rapat? Atau intim yang berarti penonton tak harus melimpah banyak? Soalan intim, yang membawa konsekuensi diksusi dan penciptaan lanjutan, bagimu, layak untuk ditimbang kembali; terlebih ketika menilik relasinya dengan “An Ecology of Blur”. Bukankah ekologi pertunjukkan juga blur; dan layak ditimbang? Semacam tawaran atas dan untuk melihat diri sendiri pula. Ya, di dunia yang diselimuti kabut, tanyamu, entah kepada apa, apakah manusia harus jadi hantu yang lembut? []
Sudah baca yang ini?:
Amanat World Dance Day 2020
Tumbuh dan Mekar dari Ceruk tak Berdasar : Catatan atas “Ra Hina” — Kinanti Sekar ...
TubuhDang TubuhDut: Ada Siapakah di Sana?
SEEKING W, Jalan Bersama untuk Menyatakan ADA
Jogja, Geliat Koreografer Perempuan
Catatan dari Next Generation Producing Program dan Menonton TPAM 2017
- Sebuah Tur dalam Blur, Leu Wijee dan Telusur Tekstur - 29 Mei 2025
- Semoga Tak hanya Satu Kali : Catatan untuk pentas “Hanya Satu Kali” – Sasmita Teater UNY - 4 Maret 2025
- AUSADHA : Dari Jampi sampai Sejarah Keluarga Sendiri - 2 November 2024