Jumat, Februari 14, 2025
ULASANLintas DisiplinPanggung Teater

Stroberi, Metonimi, & Upaya Karangdunyo Mencari Dunia Selain Sini dengan Ruter Wifi

[Polanco S. Achri]. Hari yang cerah, kau datang awal untuk menyaksikan pertunjukan Karangdunyo pada Festival Minikita di IFI-LIP, pertunjukan berjudul Strawberry, Trayek: Reruntuhan Melankolia dan Dunia-Dunia yang Tidak Pernah Ada. Kau takut tertinggal, takut tak menyaksikan dari awal—sebab amat sering Karangdunyo telah memulai pertunjukannya sebelum pertunjukan dibuka. Di depan, sembari menanti pembukaan, kau berbincang dengan beberapa kawan dan kenalan. Sambil duduk, kau  memandang langit; merasa langit itu tak jauh beda dengan sepuluh tahun silam saat kau masih duduk di bangku sekolah menengah atas: saat kau dengan sedikit lugu bercampur tolol memutuskan untuk masuk ke dalam dunia seni-senian. Dan ketika telah waktu, masuklah kau dengan penonton lain. Beberapa menukar tiket, beberapa yang lain baru membeli tiket di tempat; dan kau pun menggenapi dengan menulis nama di daftar hadir. 

Klasifikasi dan Kenyataan bahwa Stroberi Bukanlah Bagian dari Keluarga Beri

Di ruang registrasi, ada semacam pameran kecil-kecilan; ada rangkaian benda-benda yang menjelma instalasi dan menyuguhkan sejenis gramatika di sepasang mata. Di sana, ada ranting pohon dengan daun-daun kering—yang menghalangi tulisan “IFI”. Adapun, benda-benda itu berjejer dari pintu, dan ada pula benda-benda di atas meja panjang. Di sana, ada tumpukan terpal, serok, dan keranjang sampah dari anyaman bambu dengan isi kardus-kardus; dan di atas meja ada barcode dan teks pengantar pertunjukan, plastik, stroberi yang hancur, dan juga foto-foto. Di sisi lain, ada minuman yang disediakan Karangdunyo bagi para penontonnya; dan kau memutuskan meminum minuman itu sebelum masuk. Ah, pop-ice stroberi, batinmu; dan kau yakin andai pernyataan itu diucap, kawan-kawan Karangdunyo pastilah akan menyangkalmu dengan gurauan.

Setelah mencicipi minuman, kau masuk: mencari posisi yang nyaman untuk menonton—meski tak genap di tengah. Dan sebab hadir di muka festival Minikita, ada serangkaian pembuka yang berdiam sebagai seremonial. Dan setelah pembawa acara mempersilakan, Karangdunyo pun memulai pertunjukannya. Tak lama, Darryl masuk, memberi sejenis pengantar pertunjukan; dan kawan-kawan lain, yang memakai kemeja hitam, turut masuk ke area: menata tiga buah meja panjang berjejer sedemikian rupa, sehingga menjelma sebuah meja yang lebih panjang melintang. Kemudian, serangkaian benda-benda diletakkan di atasnya. Ada papan monopoli beserta pion dan dadu-dadunya, pohon di dalam pot yang daunnya hijau tapi tanahnya kering, bongkahan batu reruntuhan, juga foto Fukuyama yang mengingatkanmu pada beban penelitian Posthuman, serta jaket Maxim yang berwarna kuning dan membuatmu bertanya-tanya sendiri kenapa bukan Gojek atau Grab; juga ada galon air dan ruter wifi.

Darryl mengizinkan para penonton maju menyaksikan lebih dekat—sebelum nanti diberi jarak kembali. Darryl pun bercerita; memunculkan serangkaian latar belakang, biografi, histori, dan narasi-narasi dari benda-benda. Ia menjelaskan asal-usul pohon di dalam pot itu, menjelaskan sejarah batu reruntuhan, menjelaskan sosok Fukuyama, dan bercerita cukup panjang tentang air dalam galon yang dikumpulkannya ketika mudik. Kepalamu, seperti biasanya, tergoda, dan berhasil digoda, untuk menghubung-hubungkan benda-benda itu dengan benda-benda lainnya: membawamu pada serentetan lain. Penonton diizinkan untuk menyentuh, bahkan menghirup benda-benda itu. Setelahnya, masuklah salah satu aktor berpakaian serba putih, Dede, dengan memakai sepeda listrik, sambil mengklakson-klakson memecah fokus penonton. Dan penonton yang berkerumun pun mulai memberi dan mencipta jarak. Dede sejenak berkeliling sebelum memarkirkan sepeda listrik di tengah-tengah depan meja panjang. Dan setelah genap kembali duduk para penonton, termasuk dirimu, genaplah dimulai trayek itu!

Tiga aktor masuk (Adit, Diana, dan Dede); membawa banner lantas memasangnya menutupi kaki-kaki meja. Sepasang matamu sedikit berhasil membaca kata-kata itu: “Setelah Lima Ratus Dua Puluh Tahun…” Layar bergeser dari Image 1 ke serangkaian video—dengan pembuka gundukan sampah. Ketiga aktor duduk di atas kursi lipat, dan memandang para penonton untuk beberapa lama; dan kau merasa sedikit sebal sebab kepalamu menghubungkan komposisi itu dengan lukisan “Perjamuan Terakhir”. Lalu, Adit dan Dede membaca kata-kata bergantian: kata-kata dari apa-apa yang kini terjadi. Di telinga dan sepasang matamu, yang mereka ucapkan seperti riwind lini massa internet. Silih berganti mereka berucap. Dan Diana mengambil ruter wifi lantas menjelmakannya serupa topeng—dengan dua antena yang menjelma tanduk. Diana seperti kerasukan kata-kata; atau kata-kata yang dibaca Dede dan Adit menjelma mantra. Diana naik ke atas meja dan mulai mengeksplorasi meja dengan segala bendanya. Meja pun menjadi panggung! Sepasang matamu melihatnya seperti jathilan; dan yang menggerakkan sang aktor, bagimu, adalah keinginan mencari dan tak jatuh dari meja. Adit dan Dede masih membaca dan membaca, merapal dan merapal; dan Diana masih menari bersama ruter wifi. Layar di belakang mereka terus memutar video dan video, gambar dan gambar. Sepasang matamu mendapati riuh; tapi tak genap ingin berpaling. Apakah ini media massa ketika dibawa ke atas panggung teater?

Sesudah kata-kata habis, ketiganya melepas banner, merapikan benda-benda dan merapikan pula ketiga meja ke tempat semula. Diana seperti sembuh dari kesurupan data internet. Dua orang berkemeja hitam masuk kembali; membawakan kardus berisi benda-benda lagi. Sepeda listrik ditengahkan, dan direspon sedemikian rupa. Diana mencoba kembali kerasukan dengan bertopeng ruter pencari sinyal! Dede menjadikan sepeda listrik sebagai sejenis pijakan untuk menjadi Superman; dan Adit mengambil batu reruntuhan yang ada di mula, lantas menjebakkan dirinya sendiri pada permainan menyeimbangkan diri dengan tangan kiri yang berpegang pada sepada listrik dan tangan kanan yang berpegang pada foto dari tokoh pemikiran. Di sepasang matamu, komposisi semacam itu begitu bergema: benda-benda jadi berbunyi. Dan layar yang lebar itu kembali menampilkan video; video astronomi, antariksa yang tak genap kau mengerti. Dan setelah komposisi itu, Diana yang telah terbebas dari kerasukan topeng wifi—atau malah tak berhasil kerasukan sebab tak bisa mengakses kata-kata dan internet(?)—mengambil plastik yang di dalamnya ada sebutir stroberi; lantas menghancurkannya dengan sepasang tangan, dan menyimpannya kembali ke belakang, ke dalam kardus yang besar.

BACA JUGA:  Mayadrama Project 2: Dongeng Pengantar Tidur

Ketiganya seperti terbebas dari sesuatu; dan mencoba menjebak diri ke sesuatu yang lain lagi. Adit memakai jaket Maxim dan helm, lantas menggeser sepeda listrik dengan cukup kesulitan; dan kau tak genap tahu, mesti bersyukur atau sebaliknya, sebab adegan itu membawamu pada serangkaian keluhan yang sering kau curi dengar ketika ngopi di angkringan atau warmindo di mana jadi tempat nongkrong driver-driver ojol. Layar memunculkan ban motor yang berputar; dan terdengar audio keluhan-keluhan driver ojol—tentang pembatalan pesanan dan sejenisnya. Adit menyalakan sepeda listrik: lampu menyala, sesekali mengklakson, dan tampaklah dirinya yang berkisar antara menikmati perjalanan atau terkekang rutinitas pekerjaan. Di sisi lain, Dede mengambil galon yang lain, yang bukan air yang dikumpulkan Darryl; lantas memasukkan air ke dalam botol plastik bermerk Pelangi, dan meminum air itu dengan begitu gandrung. Diana membawa setumpuk buku; melemparkan satu demi satu, menjelmakannya jadi jembatan dan batu loncatan. Saat melihat komposisi yang demikian, matamu terbuka lebih lebar; serangkaian hal yang ada di depan matamu menjelma sejenis puisi, dari benda-benda dan gerak. Sepasang matamu, sebab tak genap bisa menangkap seluruh, bergeser dari satu orang ke lain orang.

Kemudian, barang-barang pun kembali disimpan. Adit melepas jaket kuning dan helm; kembali berpakaian putih-putih. Dede memindahkan sepeda listrik, dan memicu tawa; sebab tak perlu kesusahan seperti Adit. Adit membawa cobek dan mengulek stroberi di kursi belakang sepeda listrik. Diana membawa sekantong beras; menginjak-injaknya—dengan sepasang mata yang menatap depan amat tajam-menikam. Dede sibuk menata benda-benda, mengeksplorasi sepeda listrik. Semua itu dilakukan dengan mengikuti tempo dari lagu “DJ Papa Lihat Aku Bernyanyi” yang diputar audio. Di layar, ada video seorang yang tengah bersantai: menyaksikan aksi dari ketiga aktor—dan para penonton. Komposisi demikian mencipta sejenis narasi: tengah menjadi tontonan dari seorang di layar proyektor itu! Penonton telah jadi tontonan…, dan terjebak pada sejenis gawai: terjebak blackbox pertunjukan. Di sepasang matamu, yang terkadang berjarak dekat dengan kelaparan dan kesulitan makan, adegan menginjak beras itu begitu horor, begitu horor… Dan sekali lagi, seperti Jedaj Kedug Method, adegan horor disuguhkan Karangdunyo dengan musik Jeje yang riang dan mengasyikkan: di mana kau bergoyang lirih. Sial, batinmu. Dan setelah serangkaian adegan itu, beras kembali disimpan di belakang; cobek dimasukan ke keranjang depan sepeda listrik; semua benda kembali ke tepi. Di akhir, Dede mengambil plastik berisi stroberi: dan menghancurkannya dengan sepasang tangan pula!

BACA JUGA:  Postpartum: Institusi Keibuan dalam Perut Negara

Image 2… Meja kembali ditata memanjang seperti mula. Benda-benda di atas meja kian penuh dan bermacam—lain dengan Image 1. Komposisi kursi diganti; Adit dan Diana di sisi kiri dan kanan, sedang Dede di tengah menghadap penonton. Setelah duduk, Adit dan Diana mengambil bendera dari banner dan berjalan mengikuti bunyi. Audio memutar “The Adult Are Talking”. Layar menyuguh visual buah-buahan. Dan Dede mengambil kertas yang tertempel di mejanya, dan mulai membaca tebak-tebakan—yang mengandung beban filosofis: “Buah buah apa yang ada tapi juga tak ada, buah buah apa yang teater tetapi juga tidak teater . . .” Seiring dengan rangkaian pertanyaan yang abstrak tapi menggelitik itu, Adit dan Diana pun terus berjalan dan berjalan, merespon ruang yang tersedia; bahkan atas meja pula. Serangkaian benda-benda, yang baru maupun lama, kembali direspon. Lampu mencipta bayang dan siluet, dari Diana dan Adit. Tebak-tebakan terus digulirkan, dan digulirkan; makin sulit guna menjawab. Layar tak bosan-bosan menyuguhkan buah-buahan yang menolak jadi jawaban atas tebak-tebakan yang disampaikan Dede. Adegan itu rampung dengan Adit dan Diana yang bertukar posisi kursi; dan bukannya duduk, melainkan berdiri—sambil memegang erat bendera. Ah, akhirnya layar itu lelah juga memutar video buah-buahan.

Kau merasa belum cukup, dan belum rampung; tapi Darryl telah muncul dan berkata: hendak melanggar satu aturan pertunjukan: memakan sesuatu. Aktor-aktor pun bergeser mengambil keranjang penuh stroberi; dan Darryl berkata asal-muasal stroberi itu dari mana dan bagaimana: dipetik dari daerah Magelang. Dan layar, secara samar, memunculkan Image 3; memutar video perkebunan stroberi tempat Karangdunyo memanen-memetiknya. Penonton pun dipersilakan mengambil stroberi dan memakannya; dan Darryl pun melanjutkan dongengannya. Dan setelah dongengan, setelah stroberi habis dimakan, Darryl dan kawan-kawan Karangdunyo pun genap menyudahi pertunjukan Strawberry, Trayek: Reruntuhan Melankolia dan Dunia-Dunia yang Tidak Pernah Ada. Dan diskusi paska-pertunjukan pun digulirkan oleh Minikita—

Stroberi di Atas Panggung Inkubasi: Buah Majemuk dan Upaya Mencari Bentuk

Setelah keluar dari ruang pertunjukan, kau ke depan; kembali duduk-duduk memandang langit; dan kembali terjebak pada sejenis nostalgia. Beberapa kawan berbincang dan kau hanyut pada perbincangan: tentang pertunjukan yang sudah dan akan. Dan ketika telah agak sunyi, sambil menepi, kau teringat bahwa stroberi bukanlah keluarga beri-berian; sedang pisang malah iya. Sebab diawali meminum dan diakhiri dengan memakan, kau menyadari, pertunjukan yang kau saksi-alami bukan hanya menawarkan untuk dinikmati mata-telinga: tapi juga indra perasa dan peraba. Sambil melihat langit yang kian menggelap, kau teringat pada perbincangan di FKY setahun silam tentang pangan; teringat jagung, kopi, dan tembakau bukan dari Indonesia, tapi berhasil hidup-berkembang di Indonesia: bahkan mengidentik dengan Indonesia. Pernyataan Darryl tentang stroberi yang ditanam di Magelang, dengan cara penanaman yang memiliki perbedaan dengan tanah asalnya di Eropa, membuatmu berpikir: Apa stroberi itu adalah juga tetap stroberi, atau malah stroberi yang lain?

BACA JUGA:  Sajian Imaji Kebudayaan Anak-anak Zaman Now

Dan sambil duduk menikmati suasana dari tepi, kau teringat, tadi, di belakangmu ada kawan Teater Braille yang menonton: ada kawan netra dan kawan lain yang menyampaikan tentang apa yang terjadi pada pertunjukan. Awalnya kau kikuk; tetapi lama-lama kau menikmati—dan menjadikannya satu bagian dengan pertunjukan. Pengalaman yang mengasyikkan, pikirmu. Situasi demikian membuatmu sadar, bahwa benda-benda yang kau saksikan dalam pertunjukan Karangdunyo tadi memang berbunyi, memang memunculkan sesuatu yang lain lagi. Darryl muncul, dan duduk di dekatmu; dan dengan sedikit malu-malu, kau katakan bahwa pertunjukan itu kali kurang panjang, dan ada yang nanggung. Ia hanya tertawa, sambil memberi beberapa pernyataan. Amat kau pahami, pertunjukan Strawberry itu adalah suatu penelusuran. Kau ingat, naskah itu telah dipentaskan dengan bermacam; dengan grup yang berlainan dan tempat yang berlainan, bahkan sempat pula bukan Darryl yang menyutradarai. Akan tetapi, jujur, kau mengalami hal yang hampir puncak tapi dibatalkan. Meski demikian, suatu perasan ganjil kau anggap berhasil dititip Karangdunyo: bahwa pertunjukan masih belum rampung dan penonton diizinkan melanjutkan sendiri—sembari menanti Strawberry dipentaskan kembali.

Kau bangkit, memutuskan sejenak meninggalkan IFI-LIP. Beberapa bertanya hendak ke mana; dan dengan santai kau jawab hendak menepi mencari makan agar lambung tak nyeri, dan akan kembali lagi nanti untuk pertunjukan kedua. Sambil berjalan, kau masih memikir pertunjukan; merasai perasaan yang tertinggal membekas. Di sebuah belokan, kau merasa, stroberi dalam pertunjukan tadi bukanlah metafora, tapi lebih menjelma sebagai metonimi. Dan kau kembali berjalan menuju tempat makan—sambil sepasang telingamu masih dihantui “DJ Papa Lihat Aku Bernyanyi” dan “The Adults Are Talking” . . . []

Polanco S Achri

Polanco S Achri

Polanco S. Achri lahir di Yogyakarta, Juli 1998; dan menetap pula di kota tersebut. Seorang pengajar bahasa di sebuah SMK di Sleman. Menulis puisi, prosa-fiksi, dan esai-esai pendek; serta sesekali menulis naskah pertunjukan dan memproduksi film. Mengelola Pendjadjaboekoe dan juga Majalah Astro. Bergiat di Komunitas Utusan Negeri Dongeng, sebagai penulis naskah dan pemusik; dan memimpin Sindikat Muda Liar Ngantukan. Sempat menjadi penulis untuk pameran Black Symptoms #2: Aksi/Re/Aksi (2023) dan pameran Jogja Ceramic Fest: Clayboration (2023). Beberapa tulisannya tersiar di beberapa media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi di FB: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.