Sabtu, Desember 14, 2024
ULASANPanggung Teater

Spektakel Un-Loading: Repertoar Bongkar-Muat Naskah

[Syahruljud Maulana] Un-Loading (UL) adalah sebuah filosofi. Selama ini kita telah disuguhkan oleh sekian banyak “Teater Lakon”, sehingga hadirnya program Actors UL yang berdikari pada “Teater Aktor-Kreator” ini menyegarkan dan perlu dipelihara. Sentrum teater itu manusia dengan segala kompleksitas karakter dan tipologinya. UL berupaya mendedah ragam materi serta peristiwa aktual di tengah masyarakat sebagai bekal penciptaan. UL terus teguh mengolah metode penciptaan itu dengan tendensi agar “teater aktor-kreator” itu nampak. Keberagaman itu kemudian malih menjelma naskah-naskah yang tumbuh dalam “work in progress”, lalu berkomplot dalam pertunjukan blackbox—yang membukakan diri di pentas sebagai peristiwa transenden teater. Itu artinya UL pengejawantahan aktor-kreator di atas panggung; di mana ada aktor, di situ ada teater. Masing-masing aktor mendapatkan dua sesi bermain: waktu sore dan malam, 20-23 Juli 2024, di Komunitas Utan Kayu.

“Proposal Kota” Yang Mengalami

“Proposal Kota” terinspirasi dari cerpen “Jalan Sunyi Kota Mati”-nya Radhar Panca Dahana, yang kemudian menjadi ide karya pertunjukan oleh Permana. Sebuah potret buram perkotaan itu mengawali pertunjukan dengan adegan permenungan mendalam. Kota yang ia tinggali, seolah perlu dipertanyakan lagi apa makna kita berdekatan? Kenapa kita bisa bahagia? Ia tak mau hidup cuma percuma, meski segalanya kini telah ditaksir dengan nominal dan deret angka. Ia menyadari bahwa semua proses pertumbuhan akan mengalami syok. Dan syok itu dibutuhkan, syok adalah alat tumbuh yang mungkin efektif. Karenanya pula, ia merasa perlu mengambil tanggung-jawab terhadap kotanya, setidaknya hal itu yang dapat membuat hidupnya lebih bermakna.

Foto Proposal Kota | Spektakel Un-Loading: Repertoar Bongkar-Muat Naskah
Proposal Kota.

Pada sekuel lain, ia mengalami hidup di perkotaan dengan mengeksplorasi tubuh dan ruang. Pemeranan ini dilakukan dengan pendekatan mime. Sehingga ia mengandalkan aktivasi atau penggunaan ruang untuk menciptakan ilusi. Gestur untuk menyampaikan cerita. Ekspresi wajah yang jelas dan dramatis sedemikian penting dalam pertunjukannya. Dan yang tak kalah penting, ia harus mampu mengisolasi gerakan tertentu dan mengoptimalkan seluruh tubuhnya untuk menciptakan aksi yang meyakinkan.

Karena yang ia mainkan seperti keseharian kita, setiap hari berangkat kerja dengan berjalan kaki—yang langkahnya itu mengingatkan saya pada gerak jalan Chaplin—menempuh kepadatan dan kesemrawutan lalu lintas tiap waktu tertentu. Di mana emosi dan kesabaran bisa spontanitas saling berebut muncul sebagai ekspresi. Itu baru di jalanan. Ditambah lagi ia harus mengantri dan berdesakan di tempat-tempat transportasi umum. Peristiwa yang digerakkan oleh mime terus ia gulirkan hingga sesampainya di kantor, ia dimarahi oleh bosnya, kemudian tetap harus melanjutkan pekerjaannya. Sesudah seharian bekerja, ia kembali pulang, dan mendapati peristiwa pada suatu dukanya, bahwa istrinya telah meninggal. Ia meratap meski hanya sekejap. Seperti tak ingin menetap dalam kesedihannya itu, ia melanjutkan hidup dengan menyibukkan diri: berolahraga, belanja di mall, ngopi di kafe, mabuk di pantai, lalu tiba-tiba ia menemukan sebuah tas, tapi berujung naas karena ia dituduh sebagai pencuri, yang kemudian ia dihakimi oleh massa.

Begitulah tragikomedi yang ia hadirkan lewat elemen teater, gerak mime, dan komedi. Plus musik dan seni visual untuk menabalkan adegan sebagai suatu peristiwa yang tergantung pada keadaan masing-masing. Dalam sekuel ini, ia bermain sedikit kata, atau bahkan bisa dibilang tanpa kata-kata. Hanya ada keluwesan gestur, ekspresif, kekuatan kaki, lekukan ketubuhan, mata yang bicara, mimik muka yang mengisyaratkan, dan motivasi seluruh gerak yang meruang dengan keketatan tubuh.

Dan sekuel penutupnya, ia menjadi sebagai pemimpin kota, menghadiri acara “malam akrab warga”, memberi sambutan dan mengapresiasi kebaikan (dengan penghargaan) sederhana yang pernah dilakukan oleh orang-orang kecil. Inilah impian dari apa yang telah ia renungi sebelumnya dalam hal mengelola dan menata perkotaan. Ia memainkan sekuel ini dengan pendekatan improvisasi. Orang Jawa menyebutnya ngomyang. Seperti menceracau. Ngomong ngalor-ngidul. Sehingga pertunjukannya partisipatoris. Interaktif dengan penonton. Cair. Lelucon dan parodinya klop. Sudah itu selesai. Tapi kehidupan terus berjalan, menjalani rutinitas seperti sediakala, merenung, dan terbayang lagi wajah impian di masa datang. Seterusnya begitu. Mungkin.

“Sohibul Bait” Yang Ilusif

Saat memasuki ruangan, seluruh penonton (dalam sekuel ini berarti para tamu) dipersilakan berdiri, sebentar. Sambil menikmati hidangan yang ditawarkan oleh segenap kolaborator yang lalu-lalang. Bersamaan dengan itu, doa penolak bala juga sedang dikidungkan. Dan pertunjukan ini merupakan adaptasi bebas naskah “Kursi-Kursi” Eugene Ionesco, ide karya Ale Utsman. Sebagai sohibul bait, ia ingin mengadakan pesta pernikahan, segala kebutuhan telah ia persiapkan, tinggal menunggu seorang penghulu dan kekasih yang tidak pernah benar-benar muncul. Fantastis.

Foto Sohibul Bait | Spektakel Un-Loading: Repertoar Bongkar-Muat Naskah
Sohibul Bait

Repertoar ini dipersembahkan di tengah-tengah fenomena pernikahan yang sempat menggegerkan, seperti misalnya: kawin kontrak, pernikahan beda Agama, bahkan sampai pernikahan sesama jenis. Absurd memang. Sebagaimana juga pertunjukan ini, ia ingin menikahi seorang kekasih yang sosoknya hanya melekat dalam bayang-bayang. Upaya keras untuk menghilangkan memorinya itu, justru malah membuatnya semakin didera habis-habisan oleh kesunyian. Ia terjebak dalam situasi antara harapan dan tidak masuk akal, itupula yang mencampakkan dirinya ke dalam ketidakberartian hidup. Sia-sia. Tak ada yang bisa ia jangkau. Sempurnalah kesepiannya itu.

Dengan latar belakang setting panggung yang digarap menyerupai pelaminan. Agaknya aneh bila properti seperti kursi yang seharusnya bisa berlaku untuk kedua mempelai. Seperti pada umumnya kursi pengantin; mempelai pria dan wanita duduk bersamaan. Tapi dalam pertunjukan ini, kursi yang dihadirkan hanya khusus mempelai pria, layaknya kursi raja seorang. Hal ini justru mengguratkan kesan di benak penonton, bahwa kekasihnya itu, sang pengantin itu memang benar-benar tidak ada, ia hanya ingin menikahi bayangannya sendiri. Mungkin karena ia belum sungguh-sungguh mempersiapkan segala kebutuhan pernikahannya itu, sampai-sampai kursi untuk mempelai wanitapun tak disediakan. Terasa ganjil karena kurang meyakinkan penonton bahwa pengantin wanita yang diharapkannya itu akan datang, padahal jelas tidak mungkin datang. Andaikan saja kursi untuk kedua mempelai itu dihadirkan, tentulah mungkin akan memberikan pula kecemasan yang lain, di samping secara tata artistiknya lebih klik. Kesan yang timbul dapat memberi efek yang kaya akan pemaknaan, meski tetap saja tragis.

BACA JUGA:  Param Kotjak: Suara-Suara yang Mendarat, Suara-Suara yang Melesat

Naskah yang bertolak dari adaptasi bebas ini bersahaja, jelas, tapi juga sangat membutuhkan teknik performatif yang luwes di samping keaktoran yang intens, karena yang dibidik aktor-kreator itu adalah, seperti apa yang telah dibubuhkan dalam konsep pertunjukannya, prosesi atau upacara ini semacam arus transaksional. Memang erat sekali kaitannya dengan relasi prestise dalam terminologi sosial. Kalau pestanya megah, maka amplopnya kudu tebal. Kalau resepsinya sederhana, maka amplopnya tipis boleh saja.

Secara penafsiran atas “kursi-kursi”, sajian ini tentu menggembirakan. Plus pertunjukannya juga interaktif. Humornya santai. Komedinya dapet. Tragiknya kena. Meskipun secara teknis performatif pada adegan-adegan tertentu kerapkali terasa gagap sebagai ucapan yang melakukan suatu tindakan. Beruntunglah di situ hadir satu-dua dari penonton sebagai wali serta penghulu, sekalian juga melibatkan seorang penonton untuk menyampaikan khotbah pernikahan. Permainanpun seketika menjadi cair kembali. Rekayasa atau simulasi menjelang pernikahannya itu justru menghadirkan keunikan tersendiri, meski di dalam kebalauan dan kekelaman atas bayang-bayang kekasihnya itu senantiasa ingin menampakkan dirinya seolah-olah kehadirannya nyata.

Beberapa paket yang berulang-kali datang itu seakan menegaskan pengalamannya, bahwa ia sudah lama tidak terhubung dengan dunia luar, hal itulah yang memberi arti tentang ketidakmampuan manusia untuk berkomunikasi secara efektif. Peristiwa ini menyiratkan keadaan isolasi dan terasing. Ia secara tragis menjadikan dirinya representasi korban “ilusif” dalam absurditas keberadaan manusia di sekelilingnya. Mungkin orang mengira ia sinting, padahal menurutnya ia tidak sinting. Di situlah yang menarik justru yang implisitnya, ia memukau meski tidak mengemuka, ia merenungi apa prosesi ini cuma percuma, ia ingin berkomunikasi dengan kau yang banyak tinggal di masa lalu, bahkan ia merdeka pada setiap batas antara realitas dan ilusinya sendiri. Dari segala keliaran harapan dan kehampaan, ia telah mengusung naskah yang menantang penonton untuk mengidentifikasi dirinya sendiri. Juga segala hal menyangkut kejiwaannya sendiri. Betapapun absurdnya, itulah memang caranya sohibul bait. Sebagaimana bunyi pasase pamungkasnya: alpa, fana, durjana.

“Meminjam Tubuh Victoria” Yang Teralienasi

Dalam perang, orang yang tidak bersalah selalu menjadi yang terluka. Luka secara fisik maupun batin. Luka yang berdarah maupun yang mendalam. Sebagaimana tersembul dalam “Meminjam Tubuh Victoria” yang juga merupakan adaptasi bebas naskah “Sampar” Albert Camus. Ide karya pertunjukan ini dimainkan oleh Holifah Wira bersama kolaboratornya Liswati. Tokoh Victoria yang kehilangan kekasihnya itu mengawali pertunjukan dengan bersenandung lirih sambil menggendong bayinya.

Foto Meminjam Tubuh Victoria | Spektakel Un-Loading: Repertoar Bongkar-Muat Naskah
Meminjam Tubuh Victoria

Di hadapannya kini, ia harus mengemban amanah kematian dan kesengsaraan. Seperti dalam ilmu epidemiologi, para tokoh yang terluka akibat perang, akan menarik diri dan berhadapan dengan isolasi. Awalnya ia akan diliputi kesedihan, tak mampu menatap orang-orang yang mati, tak sanggup melihat orang-orang yang teraniaya, meski ia tidak sendirian dalam hal penderitaan kolektif atas kehilangan orang tersayang, tapi kemudian ia harus memikirkan sendiri tentang banyak hal yang telah menyakitinya dan merampas hidupnya. Laiknya seorang Ibu, ia harus membesarkan anaknya sendirian. Sebagai pengganti kepala keluarga, ia harus berjuang mati-matian demi menghidupi keluarganya. Dan dalam masa perang, ia akan lebih banyak menerima luka daripada korban perang itu sendiri.

Ruangan dibiarkan menjadi atau tidak menjadi apa-apa tergantung pada peristiwanya yang dibantu secara visual. Meski tidak terlalu menghadirkan setting panggung khusus, tampaknya ruangan yang juga tidak terlalu besar itu kian terasa menyusut, karena hanya memberi peluang sedikit saja bagi seluruh eksplorasi gerak memindahkan maupun menata properti secara repetitif. Itulah mengapa kalau tanpa siasat yang cerdik, pengulangan itu menjadi melelahkan dan monoton. Andaikan eksplorasi gerak itu didukung oleh katakanlah penghayatan lewat kata-kata atau isyarat-isyarat tertentu yang meyakinkan bahwa itu sebuah peristiwa. Meskipun di sisi lain, pengulangan itu mungkin juga berarti suatu kekacauan.

Yang jelas ketika ide karya itu ditampilkan, pemaknaan kita tak lepas dipengaruhi pula oleh cara bagaimana pertunjukan itu dimainkan dan divisualkan. Hal ini seperti tergambarkan ketika salah seorang tokoh sibuk melemparkan benang terpilin ke arah penonton secara acak. Ia seolah sedang menjahit relasi, ingin menjalin komunikasi di tengah keterasingannya itu. Tapi di sekelilingnya itu, yang kelihatan cuma daging berserakan. Ia menjahit daging demi daging seolah-olah bisa mengutuhkan hidup kembali, padahal kematian itu lebih pasti. Dan untuk mengeksplorasi geraknya, ia terus melilit tubuhnya dengan benang.

Sedang tokoh lainnya merupakan aktualisasi diri dari kehidupan sehari-hari, ia memasak di dapur, sekaligus juga menjaga anaknya, dan sesaat kemudian, ia menjadi sosok lain laiknya seorang orator yang menyerukan perlawanan terhadap situasi, kondisi, serta penderitaannya. Ia bertindak atau berlaku menuruti keadaan. Tapi saya tidak tahu ke mana ia akan bergerak dan untuk apa ia bergerak ke sana. Pun dalam pertunjukan yang durasinya kurang-lebih 30 menit itu, berulang-kali saya gagal membaca arah, demikian mungkin karena yang memegang kendali atas alur ceritanya itu hanya milik para tokoh. Sehingga tak terjelaskan dalam tubuh yang seperti apakah yang dimainkan. Yang kelihatan justru tubuh yang tak membicarakan apa-apa. Tubuh yang kehilangan bahasanya sendiri. Tubuh yang digarap kurang berhasil menggali seluruh potensi daya pikatnya.

BACA JUGA:  Jazz dan Teater Itu

Mungkin begitulah tubuh yang mulai mengkhianati dengan sendirinya, ia akibat dari sugestif buruk mengenai keadaan, serta kecemasan-kecemasan yang timbul dalam masa perang. Betapapun keadaannya itu, para tokoh penyintas terus berjuang menghadapi segala penderitaan, secara mandiri maupun kolektif. Ia menggugah refleksi tentang nilai-nilai kemanusiaan serta kebersamaan hidup. Dan yang berharga dari pertunjukan singkat ini ialah upaya memainkan dan memperkenalkan suatu metode yang berbeda, di samping proses pemaknaan yang penting bagi aktor-kreatornya.

“Sebelum Bunga Hitam” Yang Tragis

Macbeth, ya, Macbeth. Namanya disebutkan hingga 418 tahun kemudian. Sosoknya mengilhami ide karya Sir Ilham Jambak. Persembahan puitik ini terinspirasi dari tokoh “Macbeth” William Shakespeare dengan segala kekayaan artistiknya. Ia mendayagunakan Macbeth sebagai wahana rekreatifitas aktor ke dalam maupun ke luar, ke dalam karakter maupun ke luar sifat. Aspek politik dalam pertunjukan ini menjadi acuan, di mana segalanya terarah demi tercapainya kekuasaan, atau setidaknya kalau dikondisikan dalam oligarki politik saat ini, terbaca sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan tanpa tedeng aling-aling. Dan pertunjukan ini menjadi diagnosis transparan dari peristiwa itu.

Foto Sebelum Bunga Hitam | Spektakel Un-Loading: Repertoar Bongkar-Muat Naskah
Sebelum Bunga Hitam

Setting panggung yang digarapnya tampak sedemikian elegan dan anggun. Properti seperti bantal, kasur, dan selimut itu bukan sekedar mengilustrasi adegan keseharian. Melainkan justru agar penonton dapat mengerahkan imajinasi sesuai visinya. Selain sebagai penanda adegan dimulai, kasur justru mengisyaratkan kalau Anda berminat masuk politik, dan ingin dapat kekuasaan, syaratnya cukup dengan tidur seranjang. Itu artinya harus menjadi bagian yang sah secara keluarga, agar politik kekeluargaan berskala nasional tetap terjaga. Di lain sisi, penataan itu seakan hendak menegaskan kembali kewajaran hidup bersama tanpa menutup kemungkinan hadirnya beragam imaji dan pemaknaan.

Di kasur, ia mengucapkan kata-kata yang kedengarannya seperti puitisasi yang subtil sekaligus sublim. Sesudah itu ia bangkit dari tidurnya, ia memakai setelan jas trendi, dan dengan digerakkan oleh bayang-bayang Macbeth, ia mengilustrasikan sebuah adegan pesta. Diberikannya satu-dua penonton minuman laiknya anggur, lalu ia bilang: “minumlah!” Begitu terus berulang-ulang. Agar supaya ia bisa membunuh ketika seseorang tertidur karena mabuk. Ia membunuh ketika seseorang sedang tidur pulas di kamar. Ia membunuh tanpa diketahui oleh siapapun. Hampir seluruh tubuhnya berbicara atas bayang-bayang Macbeth, tatapan matanya durjana dan penuh selidik. Bimbang kalbunya membuat ia terperosok ke jurang nafsu yang amat bejat. Sesekali ia ragu, seketika ia bisa murka. Ia kejam tapi mudah diliputi rasa bersalah dan penyesalan. Ia menjadi seorang paranoid. Itupula yang seringkali membuatnya kehilangan kendali atas dirinya dan keadaan di sekitarnya.

Di luar bayang-bayang Macbeth, ia memangil-manggil nama Wiji, Munir, dan nama-nama seseorang yang mengingatkan kita pada seruan perlawanan. Ia menyerukan nama-nama yang telah dibunuh. Nama-nama itupula yang membangkitkan gairah pemberontakannya.  Tetapi ia, yang bergerak di dalam maupun di luar bayang-bayang Macbeth, kendati berhasil merepresentasikan ambisi, ia luput dalam menorehkan ragu yang dituntut dari bayang-bayang Macbeth. Dan dari segi keaktoran antara ia memerankan bayang-bayang Macbeth atau ia yang memainkan tokoh lain seperti tidak ada bedanya, meski tetap saja performanya terbilang ciamik.

Melalui pertunjukan ini, agaknya penting untuk kita menjaga kejernihan plus kemurnian kalbu, agar tidak mudah tergelincir di jalan hawa nafsu yang licin. Karena membayangkan Macbeth, yang datang ambisi, yang timbul degradasi moral. Bahwa orang baik bisa menjadi sedemikian kejam, hal ini bertolak dari betapa rapuhnya manusia terhadap godaan nafsu maupun kekuasaan. Inilah penyakit yang sangat sukar untuk disembuhkan. Inilah saatnya untuk kita mengidentifikasi diri agar nyala api nafsunya itu bisa dikelola dan dikendalikan. Karena kalau tanpa kesediaan plus kerelaan waktu untuk membaca diri masing-masing secara intens, kita semua bisa dengan mudah tergoda untuk menjadi Macbeth-Macbeth yang merasuk-rusakkan sifat hidup manusiawi.

Langgam Lab Teater Ciputat

Sesudah tunai menonton persembahan empat rasa aktor-kreator selama empat hari berturut-turut. Pertunjukan itu tampaknya terasa cair, namun makin kelam pada intinya. Tidak satupun peristiwa transenden teater dapat melegakan hati saya ketika menonton seluruh pertunjukannya itu. Tetapi dari semua bahan bakar pertunjukan yang pahit, dengan demikian juga tidak bisa kita katakan bahwa itu penyerahan, juga bukan suatu kesia-siaan atas apa yang dilakukannya. Dan melewati kesemuanya itu, mereka (empat aktor-kreator itu) ingin menyampaikan pada kita bahwa ada sesuatu yang harus diperjuangkan, sekalipun itu lewat pertunjukan yang sederhana. Itulah mengapa formula yang mungkin mereka pakai, setidaknya juga mungkin mereka percayai ialah, bahwa seharusnya setiap orang bisa berbahagia. Mereka juga telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh yang dimainkannya itu tidak pernah kehilangan visi hidupnya dalam keadaan apapun penderitaannya.

Bukankah seharusnya “kebahagiaan” dan “kedamaian” yang diidamkan setiap orang itu, tidak hanya bisa dimiliki oleh sebagian orang yang sehari-harinya sibuk bermain-main dengan penderitaan banyak orang, gemar menumpuk-numpuk kekayaan, hingga sedemikian rajin mengeskploitasi alam padahal seumur hidupnya tidak pernah berjalan masuk ke dalam hutan sendirian. Pun juga tidak mengerti bahwa seharusnya kebahagiaan-kedamaian bisa dinikmati oleh setiap orang. Tetapi pada kenyataan hari ini, keadaan telah membuat kebahagiaan-kedamaian menjadi tidak sederhana, dan sukar sekali dijangkau. Ia seperti sesuatu yang jauh. Karena siapapun yang tidak memiliki sesuatu (apapun itu baik secara barang mewah, jabatan, kekuasaan, maupun harta) yang bisa membuatnya dihormati, dipandang, dan berharga di mata sosial.

BACA JUGA:  Li Tu Tu: Peristiwa Estetis?

Itulah mengapa seluruh pertunjukan di atas hanya mengungkap serta menanggapi apa yang sedang terjadi, dan tidak sedang mengumumkan, apalagi mencari kambing hitam siapa yang patut disalahkan atas semua ini. Memang kita semua begitu gampang dalam hal menyalahkan siapapun atau apapun. Karena ketika kita menderita, keteledoran bisa membuat kita mudah menyalahkan situasi kehidupan perkotaan, pekerjaan di kantor, dikhianati kekasih di penghujung pelaminan, ditinggalkan oleh orang yang tersayang, bahkan terbuai oleh nafsu yang kacau balau. Di samping itu juga kita bisa menyalahkan kekuasaan, politik, masa lalu, harapan, masyarakat, keluarga, bahkan pun Tuhan bisa kita salahkan atas penderitaan yang kita alami bersama. Tapi repertoar empat rasa itu telah memberi tahu kita, bahwa tidak ada yang perlu disalahkan. Bahwa setiap orang perlu kesunyian agar berani menghadapi dirinya sendiri. Bahwa setiap orang membutuhkan rasa sakit bila ia ingin tumbuh dan berkembang. Bahwa setiap orang akan tetap menderita sebagaimana manusia juga harus menderita. Karena dengan begitu, ia akan belajar memahami bahwa penderitaan seakan-akan menjadi karakter hidup itu sendiri. Tidak peduli apakah kita pekerja kantoran, orang yang ingin melangsungkan pernikahan, Ibu yang berusaha keras mengatasi hidup demi membesarkan anaknya, hingga seseorang yang terang repot mengejar kekuasaan, dan pada akhirnya, penderitaan akan mendatanginya juga.

Apa yang mereka tawarkan dalam pertunjukan penderitaan itu tidak lantas menjadikannya cengeng, meskipun kalau dibilang memangnya kurang apa menderitanya mereka, akan tetapi mereka merasa bahwa orang-orang yang banyak mengalami penderitaan lebih menderita daripada dirinya sendiri. Pun mereka juga tidak sedang memberikan konsep kebahagiaan, tidak sedang mempresentasikan sejumlah kiat atau motivasi diri agar semua orang bahagia, tetapi mereka telah menggarap sejumlah pertunjukan yang mendekatkan penonton agar lebih dekat lagi berkenalan dengan sesuatu, lalu memberi perhatian pada apa yang sebenar-benarnya sedang terjadi. Secara berkomplot dalam pertunjukan, mereka sedang melakukan kritik yang terselubung terhadap lingkungan dan kebudayaan hidup bersama.

Bahwa sebagian orang yang hidupnya bergelimang harta telah membuat kebahagiaan-kedamaian menjadi mewah, sehingga lupa untuk berbagi. Sebagaimana kita semua terus mengambil apa saja dari hidup ini, tapi lupa memberi. Dan tak ada pilihan lain selain mencoba pertunjukan yang mengingatkan kita untuk berbahagia dalam situasi yang amat sulit. Mereka tidak sedang membujuk spektator yang hadir untuk berpura-pura tidak menderita. Tetapi mereka mengajak kita untuk terus teguh menjalani hidup dengan intens. Tak ada alasan bagi kita merasa kehilangan harapan, sebab kegembiraan setiap hari masih bisa kita rasakan. Bersama penderitaan, masih banyak hal yang patut disyukuri, yang seharusnya membuat kita berbahagia, dan janganlah itu diabaikan.

Sebagai bidan bagi kelahiran UL, Lab Teater Ciputat (LTC) seperti sedang menolong, setidaknya mungkin merawat paradigma seni pertunjukan kita—yang bukan hanya sekedar bermutu—secara artistik-literer, melainkan juga memberi nilai pada suatu proses dan kerjasama. Kelompok teater ini nampaknya menyadari betul akan pentingnya riset. Ia selalu berusaha menampilkan suatu prosedur produksi teater, yang menempatkan perihal pentingnya riset sebagai metode atau referensial kerja kreatifnya.

Dengan demikian UL juga dapat bermakna penghayatan akan nilai-nilai universal dan kontekstual, sedangkan spirit akan kebaruan dan eksperimentalnya harus menjadi dasar dari disiplin setiap aktor-kreatornya. Itulah dua sifat nilai yang senantiasa berpasangan dan tidak bisa diceraikan sebagai elemen dari penciptaan pertunjukannya. Karena memang program UL ini selalu mengarah pada kemungkinan lahirnya naskah baru dan pertunjukan. Jadi UL memberi kesempatan setiap pribadi untuk terus mencoba disiplin berlatih menelisik terhadap ragam materi agar bila memainkan suatu pertunjukan harus bertolak dari nilai-nilai universal dan kontekstual. Selebihnya, tergantung pada pengalaman aktor-kreator itu sendiri dalam lingkungan sehari-hari, serta pengamatannya terhadap berbagai masalah di dalam kehidupan, akan tetapi adapula elemen lain yang dapat memperkuat kehadiran aktor-kreatornya, ialah keunikan. Karena di situlah totalitas kesadaran dikerahkan hingga kepribadian yang terpancar dari nilai itu kelak akan menjadi sumber paradigma pertunjukan teaternya.

Syahruljud Maulana

Syahruljud Maulana

Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, ulasan pertunjukan, dan naskah drama. Tinggal dan berproses di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.