Rabu, Oktober 9, 2024
ULASANLintas DisiplinPanggung Teater

(Un)becoming: Zoom In dan Zoom Out Relasi Ibu dan Anak Perempuannya

[Nia Agustina]. Sore itu setelah maraton rapat online, saya menyiapkan makan malam di dapur. Orak-arik buncis, ikan dan tempe goreng akhirnya siap pukul 18.10. Belum tuntas makan malam saya, pengingat smartphone berbunyi, tanda untuk segera menonton salah satu pertunjukan daring. Judul karya “(Un)becoming” tertulis dalam pengingat smartphone tersebut. Saya bawa piring dengan makanan yang tinggal setengah porsi di depan laptop dan mengirim permintaan masuk ke ruang Zoom. Pertunjukan belum dimulai, teaser diputar sembari penonton menunggu. Pesan melalui chatbox dari host tentang bagaimana cara menonton pertunjukan ini beberapa kali dikirim dalam jarak waktu setiap beberapa menit, untuk memastikan setiap penonton yang baru masuk juga mendapatkan pesan ini. Saya menunggu sembari menghabiskan makanan di piring. 18.30 WIB admin mengirim pesan lain bahwa pertunjukan sebentar lagi akan dimulai. Saya lari sebentar ke dapur menaruh piring kotor dan menyeduh kopi.

(Un)becoming merupakan pertunjukan daring yang diproduksi dalam rangkaian Festival of Women N.O.W, T:>works, Singapura . Karya ini dipresentasikan melalui platform Zoom pada tanggal 14-17 Juli 2021 sebanyak enam kali presentasi di waktu yang berbeda. Diciptakan bersama oleh Sim Yan Ying “YY” dan Nabilah Said, pusat cerita dalam karya ini adalah pergulatan hubungan antara ibu milenial dan anak perempuannya yang gen Z yang terhubung dengan cerita-cerita tokoh lainnya.

Akhirnya sekitar pukul 18.39 WIB pertunjukan dimulai. Di awal, karakter bernama Eggkeykey (Chanel Ariel Chan) muncul dan menceritakan narasi darimana manusia berasal. Ada bagian yang mengingatkan saya dengan kisah lahirnya Bathara Kala yang bermula dari Bathara Guru yang terangsang dan menjatuhkan air maninya ke laut ketika berjalan-jalan dengan Lembu Andhini bersama istrinya, Dewi Uma. Adegan kemudian berganti dengan video yang diputar dari akun Zoom bernama Elaine (Isabella Chiam), di suatu kamar adegan menelpon seseorang sepertinya menanyakan kondisi ibunya. Cerita silih berganti muncul dari setiap akun Zoom tokoh. Selain Eggkeykey dan Elaine, akun lainnya bernama Rina (Arielle Jasmine Van Zuijlen), anak Elaine, juga Dewi (Suhaili Safari) serorang pendamping kehamilan dan persalinan (doula). Ada satu cerita yang terjalin melalui keempat akun Zoom tersebut, hubungan ibu dan anak antara Elaine dan Rina yang beririsan hidupnya dengan Dewi juga pertemuan tidak sengaja dengan Eggkeykey. Meskipun ada satu jalinan cerita, namun masing-masing tokoh juga punya ceritanya masing-masing. Jadi seakan hadir cerita 4 perempuan, namum ada jalinan cerita yang menghubungkan satu sama lain. Bahkan empat cerita pengalaman spesifik para perempuan ini menjadi bagian yang kuat untuk mendukung mengapa jalinan ceritanya berjalan demikian. Ada unsur sebab akibat yang jelas tergambar, sehingga penonton dapat memahami alasan masing-masing perempuan ini mengambil keputusan dan sikap dalam kesehariannya.

Screenshot Unbecoming 1 | (Un)becoming: Zoom In dan Zoom Out Relasi Ibu dan Anak Perempuannya
Tangkapan Layar Pertunjukan Daring (Un)becoming. courtesy T:>works

Secara efektif karya ini menggunakan fitur-fitur Zoom. Misalnya ketika adegan video call antara dua tokoh, mereka akan melakukannya dengan melalui masing-masing akun Zoom. Bukan dalam bentuk video kolase yang dipresentasikan, tapi memanfaatkan fitur Zoom, jadi terlihat alami seperti ketika kita melakukan pertemuan melalui Zoom saja. Fitur lain yang digunakan adalah swap, jadi dalam waktu yang bersamaan empat akun Zoom tokoh menayangkan adegannya masing-masing, lalu penonton dapat memilih tayangan dari tokoh mana yang akan ditonton. Interaktif dan seperti yang disampaikan salah satu co-creatornya Nabilah Said, “Fitur swap ini digunakan untuk membuat perhatian penonton kembali kepada pertunjukan. Karena pertunjukan daring memberi peluang distraksi yang besar, misalnya ketika bosan lalu memutuskan membuka smartphone, ngobrol dengan orang di rumah, dsb.” Di diskusi akhir pertunjukan, ada penonton yang menanyakan apakah ini pertunjukan langsung atau rekaman. Namun pertanyaan ini tidak mendapatkan jawaban yang gamblang. Bagi saya pribadi liveness dalam karya ini tidak dapat diindikasikan dari apakah pertunjukan ini live streaming atau bukan. Karena bagaimanapun dengan mediasi melalui teknologi perekaman dan editing, kita sangat mungkin memanipulasi pendekatan ini. Justru logika bahwa selama 1,5 tahun pandemi yang membawa realitas sehari-hari kita yang bergeser pada pertemuan-pertemuan online melalui Zoom dan platform lainnya inilah yang kemudian saya observasi berpengaruh membawa perasaan bahwa pertunjukan daring kali ini terasa hidup. Misalnya, ketika dalam pertunjukan ini diperlihatkan bagaimana dua tokoh saling berinteraksi melalui Zoom dengan akun mereka masing-masing sebagaimana Zoom biasanya kita gunakan, maka muncul keterkaitan yang kontekstual dengan hidup kita hari ini. Maka, dengan kondisi tersebut, tubuh kita dengan mudah akan menerima energi yang muncul dari ruang yang sudah tidak asing ini.

BACA JUGA:  Oh, Ternyata Pantomim Bisa Digituin, ya? | Catatan atas Pertunjukan Opinion #2 — Andy SW di Tasikmalaya

Beberapa kondisi memang membutuhkan adaptasi untuk saya pribadi, misalnya ada beberapa instruksi soal bagaimana menonton pertunjukan ini, seperti penonton harus mengaktifkan hide non-video participant, instruksi soal CC/subtitle, dan instruksi lain terkait fitur swap yang dapat membuat penonton memilih adegan yang diinginkan. Meskipun sudah sering menggunakan Zoom untuk rapat daring, namun tetap ada kegagapan mengejar instruksi tersebut, walaupun instruksinya tidak banyak dan tidak terlalu sering. Belum lagi ketakutan salah menginterpretasikan instruksi karena keterbatasan bahasa. Meskipun ada sedikit kerumitan dalam akses pertunjukan ini, namun tim pertunjukan sangat peka untuk menyertakan nomor Whatsapp yang dapat dihubungi jika ada penonton yang kesulitan.  Kepekaan ini diperlukan karena tidak semua orang cukup mampu dengan mudah mengakses platform-platform daring, baik karena keterbatasan pengetahuan, kebiasaan, atau kegagapan berhadapan dengan teknologi.

Eggkeykey: Distraksi yang Dibutuhkan

Jalinan cerita yang hadir antar tokoh terasa sangat realistis dan secara personal saya merasa terhubung dengan realita semacam ini. Seperti yang saya sampaikan pada saat diskusi, bahkan beberapa menit sebelum adegan berakhir, ketika adegan Dewi memberi instruksi untuk mengambil nafas kepada Elaine, saya juga secara otomatis mengikuti instruksi Dewi. Keseluruhan cerita ini ternyata berdampak secara emosional dan fisik terhadap tubuh saya. Dengan keterhubungan yang selekat itu dengan cerita di dalam karya ini, saya merasa terbantu dengan hadirnya tokoh Eggkeykey. Konteks Eggkeykey yang terasa asing dan tidak cukup logis kemunculannya, menjadi titik-titik pengingat untuk berjarak dengan rangkaian pertunjukan ini, juga pengingat bahwa apa yang sedang kami tonton adalah cerita tentang realitas, bukan realitas itu sendiri.

Screenshot Unbecoming 2 | (Un)becoming: Zoom In dan Zoom Out Relasi Ibu dan Anak Perempuannya
Tokoh Eggkeykey dalam (Un)becoming. courtesy T:>works

Tubuh kita yang akhir-akhir ini terbiasa dengan realitas pertemuan melalui Zoom juga memberi andil atas mudahnya kita terhanyut pada pertunjukan yang memanfaatkan platform ini. Sehingga sekedar menyadari bahwa suatu karya kita tonton dalam layar kaca tidak serta merta membuat kita terus berada dalam kesadaran bahwa apa yang kita tonton bukan realitas. Memang diperlukan alienasi melalui tokoh yang asing seperti Eggkeykey atau strategi lainnya yang dapat membuat penonton mengatur jarak untuk tetap kritis terhadap apa yang terjadi di layar. Hal inilah yang memungkinkan karya menjadi lebih dialektis dengan pengalaman personal maupun pengetahuan penonton.

Pengalaman Khas Perempuan dan Motherhood

Cerita adalah hal yang esensial dalam karya ini. Di luar usaha untuk mengeksplorasi platform Zoom sebagai ruang pertunjukan daring yang layak dan aksesibel. Naskah karya ini benar-benar terasa dipikirkan dengan kepekaan atas pengalaman-pengalaman khas perempuan terutama kaitannya dengan hubungan relasi antar perempuan, baik dalam hubungan antara ibu dan anak, hingga hubungan pertemanan antar perempuan. Dari membaca cerita-cerita dalam pameran online mereka di akun instagram @unbecomingstories meskipun tidak semua cerita terwakilkan dalam karya ini, namun ada satu benang merah yang menjahit keseluruhan cerita dalam pameran dengan karya ini. Pertanyaan tentang, apa yang membuat kita terpisah dari ibu, apa yang membuat kita dekat dengan ibu, apa perilaku atau sifat yang kita warisi dari ibu, semuanya tergambar baik dalam karya maupun cerita-cerita di ruang pamer. Sehingga kita dapat melihat secara relasi antar perempuan ini secara holistik. Pengalaman masing-masing tokoh disandingkan dengan setara, yang membuat kita dapat memahami bahwa ada kebenaran yang tidak tunggal dalam satu hubungan, terutama ibu dan anak. Misalnya ketika sesi dimana penonton dapat memilih peristiwa di akun siapa yang akan dia tonton, saya mencoba membuka secara bergantian akun Elaine dan Rina. Akun Elaine memperlihatkan aktivitasnya membuka mesin pencarian di internet dengan kata kunci Alzheimer, yang mana sangat beralasan, karena ibu dari Elaine mengidap Alzheimer, sehingga Elaine harus bernegosiasi dengan situasi itu. Di sisi lain, Rina, anak perempuan Elaine menunjukkan banyak tab-tab yang dibuka di laptopnya berisi pencarian tentang isu lingkungan dan isu perempuan. Dari scene singkat ini saja kita sudah dapat melihat perbedaan konsumsi pengetahuan dari internet, yang pada akhirnya menunjukkan perbedaan prioritas, dan tentu jika perbedaan konsumsi ini berlanjut maka kedua perempuan ini akan tumbuh dengan cara pandang yang berbeda pula. Dalam satu adegan Elaine sangat marah dengan Rina karena ketika dihubungi Rina seperti sedang ada dalam satu pesta. Marah di sini tentu adalah manifestasi dari kekhawatirannya terhadap Rina, yang di situasi itu tentu dibanding merefleksikan bahwa ibunya khawatir atas keselamatan anaknya, Rina lebih menangkapnya sebagai gangguan yang menjengkelkan. Namun dalam adegan lain, ketika Eggkeykey menghubungi Rina tengah malam dan terlihat dalam situasi yang membahayakan, ada perwujudan kekhawatiran Rina yang sangat kentara terhadap keselamatan Eggkeykey. Detail-detail plot semacam inilah yang membuat karya ini terasa melihat secara menyeluruh satu situasi, tidak dikotomis dan timpang.

Screenshot Unbecoming 3 | (Un)becoming: Zoom In dan Zoom Out Relasi Ibu dan Anak Perempuannya
(Un)becoming. courtesy T:>works

Setiap tokoh tergambar dengan manusiawi, masing-masing hidup dengan kompleksitasnya. Dewi yang bekerja sebagai doula (pendamping kehamilan dan persalinan) tergambarkan sebagai seorang perokok, terkesan tidak peduli dengan keteraturan, dan cuek. Namun di dalam dirinya ada naluri perawatan yang sangat kuat, dia dapat memahami Rina, dekat dengannya,  meskipun mereka tidak dalam satu generasi. Ada trauma yang melekat dalam dirinya atas hubungan dengan ibunya. Meskipun trauma itu menghantui namun di sisi lain ada kesadaran dalam diri Dewi mengapa ibunya melakukan berbagai hal yang tidak nyaman untuk dirinya. Ada kesadaran atas rantai kekerasan yang dialami ibunya, sekaligus ingatan-ingatan indah atas hubungannya dengan ibunya. Belum lagi stigma dari para klien yang meragukan keahliannya dalam pekerjaan menjadi doula hanya karena dia belum pernah berkeluarga dan menjadi orang tua. Dia harus berdamai dengan semua situasi ini. Selain itu, keseluruhan latar belakang ini kemudian juga menjadi relevan dengan keputusan-keputusan dan sikap-sikap yang ditunjukkan Dewi dalam keseharian, termasuk ketika dia harus berhadapan dengan klien-kliennya.

BACA JUGA:  Upaya Kreatif Tak Berpadu Konsep : Dua ujian akhir Teater SMK 12 Surabaya

Karya ini terasa dibangun untuk memihak pada keberagaman pengalaman khas perempuan, bukan untuk menghakimi benar dan salahnya pengalaman tersebut. Bagi saya karya dengan sudut pandang semacam ini menjadi penting, memiliki keberpihakan namun bukan keberpihakan yang hitam putih dan dikotomis. Pengalaman-pengalaman khas perempuan ini pula yang menjadi logika sifat-sifat keibuan yang muncul dari para tokoh, sifat melindungi dan merawat misalnya, muncul dari semua tokoh, bahkan pada diri Eggkeykey. Tentu ini bukan mencoba melekatkan dan membakukan bahwa perempuan harus memiliki sifat keibuan. Namun bukannya justru sifat keibuan ini penting dan perlu dirangkul oleh manusia apapun jenis kelaminnya? Memang sayangnya di masyarakat kita hari ini masih ada yang meyakini hierarki yang melekat pada sifat-sifat, misalnya, sifat kepemimpinan lebih tinggi hierarkinya dan fungsi perawatan dianggap subordinat. Padahal kita dapat merasakan sendiri bahwa kepemimpinan yang tanpa fungsi perawatan justru lebih banyak menimbulkan kerusakan. Maka sebenarnya tidak ada hierarki di antara sifat-sifat ini. Semua setara dan sama pentingnya.

Motherhood  di sini juga dibicarakan melalui narasi dari Eggkeykey dengan cerita-cerita yang tersedia di konteks alam semesta seperti keibuan dalam dunia binatang dan juga urban legend Singapura, yang tentu ada beberapa kesamaan dengan Indonesia. Misalnya cerita tentang hantu-hantu perempuan yang selama ini dikisahkan dalam film-film kita sebagai teror, namun dalam karya ini ada narasi lain yang coba disandingkan. Narasi bahwa hantu-hantu perempuan seperti pontianak (kuntilanak) dan hantu tetek (kolong wewe) yang biasanya digambarkan menculik anak-anak, disandingkan dengan kesaksian Eggkeykey bahwa hantu tetek pernah menyelamatkan dia dari situasi yang berbahaya. Hantu tetek memeluk dan menyembunyikan Eggkeykey di antara payudaranya dan melepaskannya ketika situasi sudah aman. Ada sifat keibuan yang digambarkan muncul di dalam jiwa para hantu ini. Yang tentu menjadi narasi sandingan yang penting di antara stereotype hantu perempuan yang terkadang juga berpengaruh pada stereotype perempuan di kehidupan sehari-hari. Mungkin kita beberapa kali mendengar, jika ada perempuan yang memiliki sifat tegas, maka orang-orang akan menganggap ketegasannya ini semengerikan teror hantu-hantu perempuan ini.

BACA JUGA:  Mahabarata 3 : Kurusetra War

***

Pertunjukan ini berlangsung selama 100 menit dan dilanjutkan dengan diskusi santai. Usai keluar dari ruang Zoom, saya segera mengambil smartphone dan mengirimkan pesan Whatsapp kepada ibu saya yang tinggal terpisah jarak 104,4 km dari saya dan suami. “Sudah makan belum? Sehat selalu ya ma.” pesan saya malam itu.

***

Link pameran cerita ibu dan anak “(Un)becoming Stories” masih dapat dinikmati melalui: https://www.instagram.com/unbecomingstories/?hl=en

Nia Agustina

Nia Agustina

Producer dan pendiri Paradance Festival di Yogyakarta. Bekerja sebagai kurator Indonesian Dance Festival 2017-2020.