Turangga (Perjalanan, Tunggangan, dan Pecahan Gagasan) : Catatan atas “Turonggo Nggo Tur” oleh Citrus Studio dan Swara Prana.
[Polanco S Achri].
I: Pertunjukan
Akhir pekan, dan kau datang ke sebuah performans yang masih jadi satu rangkaian dengan sebuah pameran; kau datang ke pertunjukan bertajuk “Turonggo Nggo Tur” pada pameran Tur Berbisik di Rumas Das, datang ke pertunjukan yang dimainkan oleh Citrus Studio dan Swara Prana. Dan sesampainya di sana, kau merasa begitu senang, sebab tak terlambat; sehingga bisa menyaksikan pertunjukan dari awal. Sebuah teks-dinding, yang ada di kanan pintu masuk, kau baca dengan teliti—sembari menanti pengunjung-penonton lain menulis nama di daftar hadir. Di teks itu, kau mendapati catatan kuratorial kegiatan; mendapati Tur Berbisik mencoba merespon “tur” dari Condongcatur (tempat kejadian dan ruang berpijak), pitutur, literatur, multikultur, struktur, dan tur (perjalanan); serta mencoba untuk merespon “berbisik” sebagai kerja mawas diri, pelan-perlahan, dan tidak tergesa-gesa sehingga tak membawa pada keteledoran. Setelahnya, setelah puas membaca teks yang tak terlampau panjang itu, kau pun masuk dan menulis namamu yang bagi kebanyakan orang terkesan lucu dan unik itu di daftar hadir; dan lekas duduk lesehan pada tempat yang telah disediakan, duduk pada karpet hangat yang digelar-dibentangkan.
Salah satu kurator pameran-kegiatan, Ahmad FWD, menjelma pembawa acara dan moderator, dan mempersilakan untuk performans lekas dimulai-dimainkan. Setelahnya, ruang pun jadi hening; dan tak lama kemudian, setelah hening yang tak terlampau panjang, terdengarlah lembut suara gending mengalun. Alam magis tercipta; atmosfir pertunjukan pun lekas mengisi ruang yang sebelumnya terasa mendiami kata hampa. Lalu, muncullah empat sosok: empat sosok yang membawamu pada citraan roh atau arwah. Dan sepasang matamu lekas saja mendapati topeng dan kain putih, yang digerak-tubuhkan oleh para pemain, memperkuat semacam kemagisan dan kegaiban. Dan tak lama kemudian, tampillah sosok lainnya, sosok yang memakai pakaian yang tercipta dari rajutan daun-daun bambu kering, sosok bertopeng keramik yang membawa kuda atau jaranan-turangga dari anyaman bambu. Ada lonceng yang terus menggema; lonceng yang terpasang di kuping sang kuda, di kuping jaranan! Lonceng berbunyi, digoyangkan sosok bertopeng-berkuda yang bermain di tengah; gamelan dan gending mengiringi, dan empat sosok tadi pun mengitari panggung: mengeksplorasi.
Kemagisan dan kesan kepurbaan pun terus tercipta—
Sepasang matamu yang tenggelam pada kata menonton, dan sepasang kupingmu yang hanyut pada kata menyimak, juga tubuhmu yang terbawa pada ruang pertunjukan, lekas memanggil ingatan di kepalamu yang tak berambut gondrong lagi itu; memanggil ingatan pada sebuah kejadian di masa silam, pada sebuah percakapan dengan salah seorang kawan: Ahmad Hayya. Kepalamu mengingat percakapan itu, mengingat serangkaian pernyataan, bahwa suara dan musik, termasuk kesunyian, memang batiniah dan mistik, sehingga begitu piawai menciptakan semacam keimanan di dalam dan atmosfir kegaiban di luar diri seseorang; dan betapa gerak ataupun tarian yang ditampilkan, termasuk juga diam-tenang, begitu piawai menjelma suatu ritus keagamaan-kepercayaan. Dan saat menonton “Turonggo Nggo Tur”, kau pun terbawa pada kesan itu! Sepasang mata dan tubuhmu kian mendapati pertunjukan yang terasa purbawi, tetapi juga terlampau berpijak di masa kini. Dan sambil menonton adegan-adegan yang terus berjalan, sepasang matamu, yang ada di bawah tebal alis itu, kembali meminta kepalamu untuk mengingat kembali serangkaian relasi-relasi di masa silam . . . , tetapi juga tetap memintamu untuk berpijak pada masa kini.
Semacam babak pun berganti! Sang sosok berkuda mendekat ke tiap-tiap sosok putih bertopeng keramik, semacam menenangkan. Empat sosok pun seperti halnya kucing yang dielus dan tenang: meringkuk terdiam. Sang sosok berkuda yang juga bertopeng pun kembali ke tengah, kembali memainkan kudanya yang berlonceng, memainkan dengan pengulangan-pengulangan yang ritmis dan kian terasa mencekam; dan musik pun menciptakan aura yang terus saja menghisapmu ke dalam ruang performatik yang magis. Suara suling menyahut, terdengar lembut, dan membawamu pada perasaan yang lain lagi, yang lain lagi. Suling yang berbeda-beda: suling dari berbagai kultur terdengar! Ah, betapa kupingmu awas benar. Adegan dan pembabakan pun berganti, keempat sosok dan sang penunggang kuda bertopeng pun bergerak-menari bersama-sama: mencipta suatu harmoni. Musik pun membersamai dan mencipta ruang-adegan dengan lebih magis lagi. Bergema! Bunyi kendang masuk; dan semacam babak pun berganti lagi. Dan sepasang matamu yang menikmati performans itu mendapati semacam tangga dramatik yang lumrah, tangga dramatik yang menggunung dan pecah, lalu sedikit menurun sebelum habis; tetapi tetap mencuri perhatianmu. Setelah serangkaian tarian bersama, sang sosok bertopeng yang membawa kuda pun mengantar keempat sosok tadi kembali ke balik layar, kembali menuju hilang.
II: Perbincangan setelah Pertunjukan
Meski berpijak pada jathilan maupun jaranan sebagai ekspresi kerasi, tetapi sepasang matamu mendapati bahwa performans yang dibawakan oleh Citrus Studio dan Swara Prana tidaklah hanya mendiami kultur Jawa; tidaklah hanya bergerak pada ranah Jawa. Pemakaian topeng keramik dan bukannya topeng kayu, setidaknya, sudah membuatmu bercuriga pada apa yang kau tonton itu sedari awal. Adapun, sebagai sebuah studio seni yang berkreasi dan berekspresi dengan dan bersama keramik, kau jelas memahami, tentulah lumrah ketika Citrus Studio memakai keramik untuk tujuan performatik—terlebih topeng keramik tadi adalah hasil residensi dan riset untuk pemeran tersebut. Akan tetapi, ketika menilik kembali performansnya, ketika menilik sebutan turangga, jathilan, reog, maupun pertunjukan sejenis, akanlah tampak bahwa lumrahnya pertunjukan-pertunjukan tersebut memakai topeng kayu berukir: dan bukannya keramik. Sepasang matamu yang memandang itu lekas saja meminta kepalamu mengingat beberapa hal yang lalu dan apa yang pernah kau tonton atau baca di buku-buku. Pemakaian topeng keramik itu setidaknya membawamu pada drama-drama tragedi di Yunani Kuna: membawamu pada pementasan Oidipus-nya Sofokles maupun drama-drama tragik sejenis karya Aiskhilos dan Euripides.
Dan pada sesi dialog setelah pentas, kau mendapati, pemilihan topeng-topeng untuk empat sosok yang melambangkan sifat manusia dengan tidak memakainya di kepala, seperti selumrahnya topeng, adalah pilihan artistik dan suatu strategi perfomatik; adalah suatu cara kompromi—sebab bobot topeng yang berat! Akan tetapi, kau menyadari, pilihan yang tampak sederhana dan hadir sebagai suatu cara berkelit itu malah telah membuka ruang estetika lain, ruang tafsir yang lain lagi. Sebagai salah satu contoh, bagimu, dengan dipegang memakai tangan, dan bukan dikenakan di kepala, khususnya pada empat sosok tadi, betapa topeng malah jadi lebih hidup: sebab jari yang dimasukan ke lubang mata topeng malah mempertegas sifat si topeng, seperti nafsu amarah dengan mata melototnya. Pemilihan untuk memegang topeng juga membuat empat sosok tadi tidak terlampau memanusia, tetapi tetap hadir sebagai personifikasi sifat manusia. Betapa, pada sepasang matamu yang sedari tadi betah menonton itu, dan melalui catatan-karya yang kau baca setelah pertunjukan rampung, kau jadi mendapati, bahwa empat sosok tadi melambangkan empat nafsu manusia dalam kosmologi Jawa, yaitu Mutmainah, Lauwamah, Amarah, dan Supiyah; dan empat sosok tadi tampil pula seperti halnya Barongsai dalam kultur Tionghoa ataupun Leak pada kultur Bali. Diisinya kostum sosok Mutmaninah dengan dua orang, bagimu, juga menjadi ruang tafsir tersendiri; bahwa nafsu Mutmainah tersebut punya daya yang lebih. Akan tetapi, kau cukup menyayangkan, sebab keempat sosok tadi memakai kain yang sama. Andai saja empat sosok tadi memakai kain penutup yang berbeda, keluhmu, dan bukan putih semua; pastilah kian menegaskan empat nafsu manusia dalam kosmologi Jawa tadi: Mutmaninah dengan putih, Lauwamah dengan hitam, Amarah dengan merah, dan Supiyah dengan kuning.
Dan betapa kupingmu, yang mendengar musik alunan itu juga terkagum. Betapa musik yang dihadirkan pun menarik; sebab memadukan rekaman dan musik yang dimainkan langsung; memasukan musik gamelan Jawa, lonceng kecil-kecil, suling dari berbagai kultur, dan bunyian kendang, serta instrumen bersenar. Ada musik dari logam, kayu, nilon, dan kulit hewan! Dan hal demikian kian menunjukkan, meski berpijak pada jathilan atau jaranan, performans “Turonggo Nggo Tur” juga berpijak pada kultur-kultur lainnya. Dan ini menegaskan bahwa tanah, kain, maupun kayu-bambu, atau kulit hewan, memiliki relasi yang multikultur . . . Dan betapa setelah kau timbang kembali, pemosisian pemusik yang diletakkan di lantai dua, tetapi tetap bisa menonton performans adalah hal yang menarik juga: sebab relasi gedung berlantai dua menjadi dramaturgi tersendiri. Di samping itu, terbuka juga dialog lanjutan dalam kerja pembandingan: Di jathilan tradisonal, pemusik ada di dekat pemain-jathilan, sedang di “Turonggo Nggo Tur” ada di lantai dua atau di atas-depan pemain turangga. Dan betapa pemosisian penonton yang biasanya melingkar-berdiri ketika pertunjukan Jathilan tradisonal, tetapi kini malah dibuat duduk lesehan, menjadi menarik pula menurutmu; sehingga membuka dialog di dalam kepalamu, dan mungkin kepala penonton yang lain, bahwa mereka tengah menonton sejenis jathilan yang lain. Ah, kau teringat pula pada catatan yang pernah kau baca:catatan arsip atas pertunjukan Kuda Binal dari Heri Dono!
Di sesi dialog setelah pementasan itu, setelah tanya-jawab dan kerja mengapresiasi-mengkritisi, kau mendapati semacam gurauan yang mengasyikan. Ahmad bertanya kepada kawan-kawan Citrus dan Swarna Prana: Tidak ada pemain yang kesurupan, ya? Penonton yang hadir tertawa—termasuk juga kau. Jawaban yang menghibur keluar dari Abdul, dari pemeran sosok berkuda itu. Akan tetapi, setelah jawaban yang menghibur itu, kau jadi bercuriga sendiri: Apakah sebenarnya yang kerasukan atau kesurupan adalah para penonton, dan bukannya para pemain, sebab terjejali sejenis gagasan dan hasil riset dalam bentuk performatik? Kau tersenyum geli setelah mendapati kecurigaan itu.Dan kau pun membayangkan, andaikan saja ada kemungkinan dipentaskan lagi, kau tentu ingin menyarankan warna kain tadi kepada mereka; meski pemilihan kain putih yang sama untuk empat sosok tadi juga telah membuka ruang performatik tersendiri. Kau pun juga berharap durasi performans yang lebih panjang; sebab kau, dan beberapa penonton lainnya yang kau tahu, membutuhkan ruang pembacaan dan penikmataan yang lebih—sehingga lebih masuk ke dalam, di samping tetap membuka ruang untuk eksplorasi sosok bertopeng-berkuda tadi.
Dan setelah puas berbincang dan memandang, selepas mentari genap tenggelam dan hari mendiami pengertian malam, kau pun pulang ke kontrakanmu, menaiki Astea hitammu; dan kau pun teringat pada Gagak Rimang milik Arya Panangsang . . . ! []
Dukung dan semangati platform ini dengan saweran / donasi Anda.
SCAN QR CODE atau KLIK TAUTAN berikut :