Tumpang Tindih: Tewur
[Ekwan Wiratno]. Pertunjukan yang digelar di Universitas Islam Malang pada tanggal 21 Desember 2021 ini diharapkan menjadi penutup yang manis untuk tahun yang penuh drama. Pertengahan tahun yang hiruk-pikuk oleh hantaman Covid varian Delta telah menghancurkan optimisme yang digaungkan sejak awal tahun 2021. Kemunculan pertunjukan kelompok independen seperti Forum Aktor Jawa Timur ini diharapkan akan memberikan semacam oase dalam kerontangnya pertunjukan teater saat ini, khususnya di Jawa Timur.
PENTAS KEDUA DAN JANJI-JANJI KUALITAS
Bagaimana pun, sebuah karya yang telah dipentaskan lebih dari satu kali pasti telah melalui berbagai evaluasi yang harusnya menghasilkan karya yang lebih baik. Semakin banyak pentas, semakin sempurna sebuah karya. Hal inilah yang menempel pada pertunjukan kedua Forum Aktor Jawa Timur yang untuk kedua kalinya mementaskan sebuah pertunjukan teater berjudul Kantil, Tumpang Tindih: Lahirnya Kematian.
Sebagai penonton pentas kedua ini (dan tidak menonton pertunjukan pertamanya yang digelar dalam Jatim Art Forum pada 10 November 2021), saya tentu mengharapkan sebuah kematangan yang “enak” dinikmati. Tapi apa yang saya dapati? Itulah persoalannya. Pertunjukan yang membawa semangat proses kolaborasi ini menyisakan berbagai persoalan utama, baik itu terkait konsep, keaktoran, hingga harmonisasi. Dalam bab berikutnya akan saya uraikan satu persatu secara lebih detail.
POSISI NASKAH LAHIRNYA KEMATIAN
Pertunjukan Kantil, Tumpang Tindih: Lahirnya Kematian merupakan hasil pembacaan pada naskah Lahirnya Kematian karya Yusril Ihza. Keterangan ini ditulis secara nyata di poster pertunjukan. Dan karena inilah masalah muncul.
Naskah Lahirnya Kematian memotret peristiwa-peristiwa di seputaran kematian: pemakaman, penggali kubur, mereka yang berharap kematian datang. Selain topik seputar kematian, ada topik lain yang kaitannya agak jauh yaitu drama percintaan Kantil, tokoh transpuan yang menjadi selingkuhan seorang suami. Sebuah naskah yang menjadi pemenang ketiga dalam Sayembara Naskah Lakon Dewan Kesenian Jawa Timur 2018. Dan pada kisah inilah pertunjukan disandarkan.
Naskah Lahirnya Kematian terkesan hanya dibaca sinopsisnya dan dibuang ke pojok ruangan Ketika para aktor dan fasilitator melakukan Latihan-latihan. Naskah yang kompleks dan tersusun atas berbagai sudut pandang ini disederhanakan menjadi satu topik saja. Usaha “kekerasan” tidak berhenti di sini. Pertunjukan ini sebagian besar justru berangkat dari luar naskah. Aktor-aktor berpentas dengan dunia mereka sendiri dalam penafsiran sebuah tema besar: Kematian.
TUMPANG TINDIH: TEWUR
Saya rasa tidak berlebihan memberikan judul tulisan kritik ini sebagai Tumpang Tindih: Tewur. Saya akan secara perlahan memberikan argumen-argumen.
Sebelum ke sana, saya perlu menjelaskan sedikit tentang arti kata “Tewur.” Tewur adalah kata yang diejak secara terbalik. Tradisi membolak-balik kata ini memang menjadi kebiasaan orang Malang, Jawa Timur. Konon cara ini sudah dilakukan sejak jaman perjuangan merebut kemerdekaan, saat para pejuang dan masyarakat pendukungnya menggunakan cara wolak-walik (bolak-balik) ini untuk mengelabuhi penjajah-penjajah. Sementara sebagai sebuah kata terbalik, kata tewur adalah kebalikan dari “ruwet”, yang secara jelas menunjukkan suatu kondisi kusut; kalut; sulit; rumit (KBBI).
Kondisi inilah yang muncul di atas panggung Forum Aktor Jawa Timur. Keruwetan yang terjadi akibat tumpang tindih aktor dan peristiwa. Penggambaran tokoh Kantil yang mencari pacarnya menjadi selingan saja di tengah hiruk-pikuk aktor lain yang sedang mendemonstrasikan peristiwa-peristiwa kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Aktor-aktor masuk dan keluar panggung seenaknya sendiri, tanpa harmoni. Akibatnya apa? Tentu saja penonton menjadi kebingungan untuk menyimak dan menikmati suguhan. Akting-akting tumpang tindih dalam medan dua dimensi. Ada yang asyik di depan, di tengah dan di belakang area panggung. Semua seakan berebut perhatian penonton. Fenomena yang jangan-jangan manjadi disalahartikan sebagai bentuk narsisme aktor yang berebut perhatian penontonnya.
Peristiwa ruwet semacam ini tentu saja tidak terjadi sepanjang pertunjukan. Ada beberapa waktu di mana penonton dibiarkan fokus pada satu atau dua aktor, tapi selanjutnya kemudian semua kembali “berebut” spotlight. Hal ini menunjukkan bahwa upaya kolaborasi yang dilakukan belum sepenuhnya mampu menghasilkan harmonisasi. Sebuah harmonisasi yang umumnya menjadi tugas seorang sutradara. Sialnya sosok sutradara dibunuh dalam pertunjukan Kantil, Tumpang Tindih: Lahirnya Kematian ini.
Fenomena ini tentu saja unik di tengah teater Indonesia yang selama ini disebut sebagai teater sutradara. Sutradara menjadi pusat gravitasi, dimana segala ide dan proses kreatif bermula dan diputusakan. Setiap anggota komunitas merupakan orang-orang yang hanya memberikan masukan, sementara keputusan kreatif tetap ada di tangan sutradara. Hal ini dapat kita lihat di hampir semua teater Indonesia. Sialnya, sistem kerja model ini menghasilkan ketergantungan yang absolut pada sosok sutradara (umumnya sekaligus pimpinan kelompok). Apa yang terjadi Ketika sang sutradara meninggal? Maka teater menjadi kehilangan orientasi dan sebagian besar berakhir pada “kematian.” Saya tentu tidak perlu menyebut nama, anda semua saya kira sudah memahami contohnya.
Usaha menafsirkan sebuah naskah teater tentu saja bukan kegiatan yang “haram.” Hal ini sangat mungkin dilakukan karena sejatinya seorang penulis naskah teater tidak lebih hebat dari pada seniman lainnya. Proses penggarapan sebuah pertunjukan sangat bergantung oleh penggarapnya. Sebuah naskah, ketika dipegang oleh si A, maka tentu akan sangat berbeda dengan ketika dipegang oleh si B. Hal ini menujukkan bahwa input yang berbeda, akan menghasilkan output yang berbeda pula (Wilkinson, 2008).
TEATER TANPA SUTRADARA
Pentas Forum Aktor Jawa Timur memang memberikan klaim bahwa pertunjukan mereka tidak melibatkan sosok sutradara, tapi keterlibatan fasilitator tentu saja memberikan input yang tidak sepenuhnya “tanpa sutradara.” Beberapa fasilitator merupakan seniman-seniman yang relatif lebih dulu berkesenian dibandingkan dengan para aktor. Setiap saran dan koreksi dari fasilitator pasti akan dianggap bermakna melebihi celoteh semata. Hal inilah yang kemudian menyebabkan sebuah asumsi dasar bahwa sutradara memang tidak ada, tapi pseudo-sutradara mungkin saja hadir dalam bentuk pada fasilitator.
Konsep semacam ini tentu berbeda konteks dengan sistem tanpa sutradara yang banyak di kaji selama ini. Ketidakhadiran sutradara harusnya memberikan kesempatan bagi aktor-aktor untuk mengajukan ide, mendiskusikan, menyajikan perdebatan, hingga proses penerimaan untuk kepentingan sebuah sajian kolektif. Sajian kreatif harus melalui berbagai kajian yang matang secara bersama dan umumnya membutuhkan waktu yang sangat panjang serta intensif. Sistem yang tidak melibatkan sutrdara harus digelar secara efektif dan efisien agar tidak hanya berakhir pada wacana bersama dan perdebatan tanpa akhir. Dalam hal ini, segala “sampah” harus dihindarkan.
Sebuah kerja mandiri semacam ini tentu sangat sulit dilakukan oleh budaya kerja teater Indonesia. Keharusan paling berat adalah bahwa aktor harus mengasah insting kreatifnya bukan hanya sebagai pelaku atau aktor, tapi juga sekaligus menjadi pencipta dan pengarah (yang selama ini banyak tertumpu pada sosok sutradara) (Loxton, 2013). Contoh kerja teater tanpa sutradara tercermin justru pada teater tradisi Noh. Keberadaan sutradara dalam pertunjukan Noh sama sekali tidak dikenal. Sebuah pertunjukan Noh dipimpin oleh seorang aktor utama atau shite-kata. Shite-kata bertugas dalam hampir seluruh aspek pertunjukan, mulai dari akting, produser dan public relation. Selain itu, dia juga mengatur segala perlengkapan, termasuk topeng, kostum dan properti panggung lainnya (the-noh.com, 2008). Tentu saja melebihi tanpa sutradara, pada tahun 2019 digelar sebuah pertunjukan White Rabbit Red Rabbit yang dihadirkan tanpa penulis naskah, tanpa sutradara dan tanpa skenografer. Sebuah pertunjukan yang hanya dimainkan oleh satu aktor dan hanya duduk sepanjang pertunjukan dengan segelas racun di sampingnya (Allen, 2019).
FORUM AKTOR JATIM: SEBUAH USAHA
Usaha yang dilakukan oleh Forum Aktor Jatim harus mendapatkan apresiasi yang sesuai. Usaha mereka menyatukan waktu dan tempat, dan yang lebih penting, adalah penurunan ego kreatif. Sekelompok aktor yang dilahirkan dan dididik dalam berbagai disiplin ini rela meletakkan ego masing-masing untuk menghasilkan suatu karya kolaborasi. Sebagai individu-individu kolaborator, usaha mereka patut mendapatkan tepuk tangan.
Meski demikian, usaha semacam ini perlu mendapat penekanan pada proses bersama yang harusnya mendapatkan porsi yang banyak. Diskusi-diskusi perlu digelar secara lebih intensif dan mendalam agar intuisi dan “keakraban” tubuh terjadi. Dan tentu saja, tidak ada pisau yang selamanya tajam, dia perlu terus diasah dalam berbagai latihan dan berbagai pertunjukan.
Beberapa orang tentu saja mengaitkan pertunjukan Kantil, Tumpang Tindih: Lahirnya Kematian dengan gaya pertunjukan Teater Garasi. Bahkan dalam beberapa saat, beberapa aktor tampak berusaha men-copy-paste salah satu aktor terbaik Teater Garasi: Cindil alias Gunawan Maryanto. Perasaan semacam ini tentu saja tidak selayaknya penonton rasakan. Tapi perasaan yang demikian jujur yang dirasakan oleh penonton ini harus ditanggapi sebagai sebuah kritik tajam bagi Forum Aktor Jatim. Usaha-usaha untuk mencapai originalitas menjadi hal paling berharga di dunia seni, dan ketika itu dilanggar maka runtuhlah seluruh “martabat” seniman.
Menutup tulisan singkat ini, saya secara pribadi menyambut baik usaha Forum Aktor Jatim: terutama usaha untuk berkumpul. Sebab tanpa itu, sulit bagi seniman teater menghasilkan karya yang cukup. Ketika ego dan keinginan menjadi pusat perhatian berhasil ditanggalkan, maka perkumpulan ini akan memberikan contoh baik dalam upaya-upaya kolaborasi selanjutnya. Saya yakin, apabila gerakan ini sukses, maka tidak mungkin bila unsur-unsur lain seperti sutradara, skenografer, penata musik dan lainnya juga dapat berkolaborasi menghasilkan karya yang luar biasa.
REFERENSI
Allen, K. 2019. “Play calls for no director, no set, and no script until aktor is on stage.” https://tucson.com/entertainment/play-calls-for-no-director-no-set-and-no-script-until-aktor-is-on-stage/article_e00ee5ed-ee93-5fbc-ba0b-e3fbcfd921cc.html
Loxton, H. 2013. “Doing Without a Director – That’s Grassroots Shakespeare’s Choice.” https://www.britishtheatreguide.info/features/doing-without-a-director-t-57/3
The-noh.com. 2008. “Is it true that there is no stage director for Noh plays?” https://www.the-noh.com/en/trivia/020.html
Wilkinson, C. 2008. “Noises off: Must directors stick to the script?” https://www.theguardian.com/stage/theatreblog/2008/aug/23/noisesoffmustdirectorssticktothescript
- DUKUN-DUKUNAN DAN MATINYA KEPAKARAN - 1 Agustus 2024
- MANA SOLIDARITAS SENIMAN TEATER UNTUK GAZA? - 25 Januari 2024
- Perempuan-Perempuan di Pangkuan Sang Ratu : Catatan atas Temu Teater Monolog Indonesia Bertutur 2023-2024 - 18 November 2023