In Transit: Meminjam Rangkaian Peristiwa
Akhir September lalu, di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, digelar sebuah pertunjukan berjudul In Transit karya S. Sophiyah K. bersama komunitas Tilik Sarira. Beri Hanna Goejarot, salah seorang performer yang terlibat dalam pertunjukan itu, mencatat pengalaman prosesnya untuk gelaran.id. Silakan simak. — Red.
[Beri Hanna]. Ada satu pertanyaan yang cukup menyita pikiran saya jauh sebelum seseorang bertanya secara langsung. Yaitu mengenai lemari. Sebetulnya, saya termasuk orang yang lambat dalam menerima sesuatu, apa lagi bekal berperan. Saat diajak Shopiyah terjun ke lapangan untuk membaca pola kehidupan masyarakat setempat malah membuat saya bingung. Bahan dasar yang dipilih Shopiyah justru jatuh pada “lemari”, jauh dari apa yang saya pikirkan tentang bangunan reruntuhan setengah jadi, atau tenda, atau gubuk.
Kemudian lemari disandingkan dengan benda lain, seperti tabung gas, baskom, pot bunga, kardus, lego, antena, tumpukan baju, kompor, galon, dll. yang juga saya temui di lapangan. Menggabungkan benda-benda ini bukanlah perkara temu-temuan kemudian dicocok-cocokkan untuk menjadi adegan. Tetapi, cara kerja Shopiyah yang mengkurasi benda-benda berdasarkan kedekatan emosional masyrakat dengan benda tersebut, serta kebiasaan yang dilakukan juga kekuatan lain yang muncul secara naluriah pada apa yang tersisa.
Sebutlah sebagai contoh yang ditemukan di lapangan, orang-orang mendadak kreatif. Saya hendaknya bertanya apakah kreatifitas itu muncul pada saat mendesak? Seperti contoh yang dekat dalam kehidupan anak kost memasak mi instan di atas setrika. Hal serupa juga ditemukan di lapangan, bagaimana sesuatu yang tidak wajar dibuat sewajar-wajarnya.
Selain itu, ruang-ruang imajinatif tercipta, seperti dapur condong terbuka, kamar mandi ruang yang memiliki daya magis privasi juga tak berwujud normal (ada jamban, ada bak, ada sikat, berlantai dll.) ruang tengah menyatu dengan ruang tidur, ruang menonton menjadi satu dengan ruang kerja. Ruang-ruang ini bertumpuk-tumpuk seperti dibuat satu kesatuan.
Melihat cara kerja yang seperti ini tentu saja saya tidak akan mengatakan Shopiyah sekadar bermain-main dengan simbol kemiskinan, keterhimpitan, marjinal, kaum lemah, bla-bla-bla. Karena pemilihan barang/wujud benda yang dihadirkan sebagain didatangkan langsung dari lapangan. Memang tak mudah menghidupkannya kembali di panggung teater pada pertunjukan, karena saya pribadi yang tidak merasakan keutuhan emosional keberlangsungan kehilangan ruang pada saat itu. Tetapi, berkat obrolan dan cara pendekatan sebagai teman, sebagai ibu dan anak, sebagai keluarga, pelan-pelan Shopiyah menggiring saya dan teman-teman ke arah sana.
Bila dibutuhkan satu kata yang tepat maka saya hendaknya menulis “meminjam’ rangkaian peristiwa untuk diwujudkan ke atas panggung. Soal simbol bla-bla-bla ialah urusan lain yang semestinya tidak terlalu dibutuhkan untuk dijelaskan tentang mengapa ini, menunjukan apakah galon ini?, lemari ini?, raket nyamuk ini?, dll.
Coba renungkan kembali, betapa kita sudah terjebak. Di mana-mana kita melihat banyak warna, bentuk, ragam benda, potongan video, gambar buruk rupa pada bungkus rokok yang berpengaruh sampai kita lupa pada teks “jangan buang sampah di sini”. Untuk mencari teks abstrak yang tidak terdapat pada sebuah pertunjukan bukankah melalui visual dan bentuk apa yang ditampilkan? Betul. Lantas apa pemaknaan dalam pikiran penonton adalah hal yang benar pada apa yang ingin disampaikan seorang seniman dengan karyanya? Jawabannya betul juga.
Bila kita dari Surakarta hendak berangkat ke Jogja menggunakan kereta, bus, atau kendaraan pribadi, bukankah tujuannya Jogja itu sendiri? Atau tujuan utamanya ialah dengan kendaraan jenis apa? Jika begitu, maka terjebaklah kita—kereta memakan waktu berapa lama, bus, dan kendaraan pribadi, juga kereta digunakan kaum A, B, C, Bus kaum A, B, C, dan kendaraan pribadi bla-bla-bla dan sebagainya.
Penonton pertunjukan seni tak ingin didikte, layaknya kita sendiri yang tengah sadar betul sebelum penuh bertindak. Datang ke gedung pertunjukan tanpa beban apakah kita wajib memaknai satu per satu mulai dari kata, intonasi, gaya, warna lampu, dll. agaknya hal ini serupa pada karya sastra, tentu pembaca tak ingin membaca tulisan yang mendikte. Pembaca adalah orang yang lebih hebat daripada penulis, maka penulis tak perlu mengisi tulisannya dengan barisan khotbah. Andai kata pertunjukan hanya menyajikan fakta-fakta saja tanpa adanya daya imajinasi, ruang waktu yang kita dibawa ke dalamnya, tentulah pertunjukan semacam ini dapat kita lihat di warung-warung kopi, pasar, dll. Orang A bertemu orang B. Ia memulai sebuah cerita dengan gaya dan gestur tubuh serta intonasi suara. Sedangkan kita terlintas sekejap memandang kejadian itu dan menerka-nerka walau tak sungguh keluar menjadi simpulan nyata. Bukankah itu sebuah peristiwa teater yang telah terjadi.
Saya hendaknya bertanya bagaimana cara membunuh kemasifan sebuah wujud benda (lemari) yang tampak agar tidak terlalu mencolok? Andai kata ini pertunjukan pemikiran, apakah tidak sebaiknya penonton disuruh membayangkan adegan di dalam kepala mereka masing-masing? Maka selesailah pertunjukan tanpa perlu menuntun pada adegan-adegan yang telah disusun oleh Shopiyah.
Bila saya diposisiskan sebagai seorang penonton, ketika melihat lemari dibuka dan ditutup dengan perubahan tawaran bentuk peristiwa di setiap adegannya, lalu diobrak-abrik hingga akhirnya bisa dijadikan apa saja (bentuk aktifitas apa saja yang dilakukan), tentu saya pikir (singkatnya) bahwa lemari menjadi multi fungsi.
Tetapi saya tidak ingin terjebak atau berkutat pada lingkaran itu saja. Saya tentu akan mempertanyakan, apakah tanpa kehadiran lemari pertunjukan ini tidak bisa berjalan? Andaikata lemari diganti dengan sebuah tabung atau hal lain? Apakah bisa?
Di sinilah letak keindahan pertunjukan. Seorang seniman memilih betul ragam benda yang akan dibawanya naik ke atas panggung. Di sini, lemari menjadi syarat ruang mewakilkan apa-apa yang telah direnungkan Shopiyah atas bahan dasar risetnya. Tentu saja Shopiyah bisa memilih benda lain berwujud kulkas, atau mesin cuci, akan tetapi sejauh mata memandang selama kurang lebih satu tahun ikut terjun ke lapangan, saya tidak melihat benda semacam itu bergerak-gerak mewakilkan perasaan warga setempat. Andai kata lemari diganti sebuah tabung, saya hendaknya bertanya tabung seperti apa yang terlintas dalam pikiran? Andai kata lemari dihilangkan pun, saya hendaknya bertanya pada kekuatan diri sendiri, sesungguhnya saya belum mampu memantik nyala api ruang imajinasi tanpa adanya wujud benda untuk mengantar pada titik urbanisasi (bukan kota) tetapi menghilangkan daya-daya yang lahir pada kebiasaan (kultural) masyarakat Kentingan. Jika dikatakan lemari sebagai loncatan sebagai pengantar ruang dan waktu, bisa dikatakan begitu, sederhananya. Layaknya sebuah tulisan yang dipagari judul—merangkup isi.
Sedikit menanggapi komentar seorang teman pada twitter-nya menulis Semalam ntn pentas TA titer S2, terus sepanjang ntn kaget banget. Hampir semua simbol yg dipakai sama dengan yg ada pada pentas TA teman saya (tahun lalu). Misalkan pentas semalam itu lulus dengan nilai bagus, saya beneran ndak percaya sama kualitas pendidikan kampus seni.
Sa salah 1 yg nulis teks utk TA teman saya. Sa hafal di mana sutradara (teman saya) meletakkan Mars PKK, senam ibu-2 di pagi hari, daster ungu pd garapannya. Dn smlm sa lihat semua itu pda pentas ujian mahasiswi lain.
Jika pentas teman saya selang 10 thn dan jadi rujukan karya pada proposalnya. Itu masih masuk akal, ini pentas yang selang satu tahun! Saya ndak habis pikir, ini terjadi pda karya S2, kau bisa bayangkan! Bagaimana bisa pola-2 kerja begini tumbuh subur di kampus seni?
Andai kata saya seorang seniman menggambar pemandangan segitiga sejajar dengan matahari di tengah dan garis ‘m’ sebagai burung-burung terbang kemudian sawah memanjang ke bawah dengan sebatang pohon dan pondok juga aliran sungai. Andai kata saya seorang seniman yang ingin membicarakan koruptor, saya melukis tikus. Tetapi, simbol rupa-rupanya telah bergeser. Pemandangan tak lagi serupa garis segitiga sejajar, juga koruptor tak lagi sama dengan tikus-tikus. Saya telah terjebak dan tidak bergerak maju dalam membaca pola.
Konvensi semacam ini telah lama ditinggal, tentu hal ini bukan baru-baru disadari, tetapi jauh sebelum saya masuk dunia seni pun sudah terpikirkan oleh banyak orang. hanya saja, kali ini saya ingin kembali mengingatnya.
Pemakaian objek sebagai simbol tentu sangat berhubungan. Tetapi, andai kata simbol pada pertunjukan ditutup-tutupi apakah sengaja dihadirkan sebagai sebuah misteri? Kita telah dipermainkan, kita telah dibungkam. Menurut saya, urusan cuci tangan dan pengandaan bukanlah tugas seorang seniman juga urusan silat lidah membela-bela karyanya yang dilihat dari sisi-sisi berbeda. Semakin sebuah karya seni dibiacarkan, ditulis, direspon dalam bentuk apa saja dari berbagai kemungkinan, semakin hiduplah karya itu.
Sebagai contoh lain, sebutlah sahabat saya seorang pelukis Ari Wur. Ia tidak bisa menjawab ketika saya bertanya, menceritakan apa gambar-gambar yang ia lukis? “Apa yang kamu lihat, itulah saya saya lukiskan,” begitu katanya. Dan contoh lain sahabat saya seorang musisi Nada Sumbang, enggan mengakui bahwa ia mencipta lagu, “pada waktu-waktu tertentu, saya senang mengulik sebuah kata demi kata menjadi syair yang enak saya nyanyikan. Pada waktu-waktu lain, orang banyak berkata saya telah mencipta, tetapi sesungguhnya, saya hanya merekam sebuah kejadian-kejadian dan menarasikannya dalam bentuk lagu.”***
- In Transit: Meminjam Rangkaian Peristiwa - 10 Oktober 2020
- Param Kotjak: Suara-Suara yang Mendarat, Suara-Suara yang Melesat - 3 Desember 2019
- MENGENANG MATA YANG PERNAH TENGGELAM DALAM DUNIA MAYA - 14 November 2019