Rabu, Oktober 9, 2024
ULASANPanggung Teater

Malam-Malam Monoplay dan Quo Vadis Kesepian

[Erhan Al Farizi]. Pada penyelenggaraan kali pertama ini, tema yang diusung adalah “Dramatika Kesendirian: Sebuah Perayaan Teater yang Kesepian”. Tema dipilih karena pada dasarnya kesendirian yang menimbulkan kesepian tidak hanya menjadi persoalan teater hari ini, tetapi juga menjadi persoalan masyarakat modern saat ini. Penyelenggara percaya bahwa teater yang sifatnya kontemporer akan merepresentasikan dan menawarkan pemecahan persoalan.

Pada acara perdana, Kedai Teater Triyagan langsung mewacanakan sisi solutif suatu kesenian dalam acara berjudul Malam-Malam Monoplay. Pertama kali mendengar wacana ini, saya sebetulnya sedikit pesimis. Apakah kesenian-kesenian kiwari masih ditujukan sebagai sarana solusi? Apakah kesenian-kesenian kiwari dapat dijadikan sebagai sarana solusi? Namun, saya harus yakin bahwa sebenar-benar seni adalah obat. Bukan serta-merta karena saya berperan sebagai moderator pada acara tersebut, melainkan karena pada hakikatnya kesenian memang ditujukan untuk tidak memperpanjang suatu masalah. Kesenian—seperti hal-hal yang manusia perjuangkan lainnya—tentu ditujukan untuk menyiasati betapa tidak sempurnanya manusia. Entah hal tersebut dapat berhasil atau tidak, yang jelas seni memang selayaknya memiliki tujuan solutif (setidaknya sebagai cita-cita). Maka, saya cukup senang menjadi moderator pada acara dengan tema “Dramatika Kesendirian” tersebut. Saya tertarik tentang bagaimana “kesendirian” dapat dilantangkan di tempat sunyi dan intim bernama Kedai Teater Triyagan.

Wacana “kesendirian” digarap Kedai Teater Triyagan menjadi bentuk monoplay. Wacana “kesendirian” menjadi semakin utuh karena wacana tersebut menubuh dalam bentuk permainan tunggal sang aktor. Selayang pandang, monoplay merupakan bentuk pertunjukan yang menyajikan satu aktor bermain dengan berbagai spektakelnya.

Spektakel panggung dalam pementasan Malam-Malam Monoplay sebetulnya menarik untuk diperbincangkan. Namun, tentu tulisan ini akan menjadi sangat panjang jika membahas spektakel panggung. Di sisi lain, saya lebih menggarisbawahi pernyataan Andy SW ketika diskusi, “Sebetulnya mereka sudah selesai dengan keaktoran, hal yang menarik terletak pada peninjauan lebih jauh tentang latar belakang mereka”. Walaupun sejatinya proses keaktoran tidak pernah selesai, tapi saya sepakat dengan peninjauan lebih jauh tentang latar belakang pertunjukan.

Pertunjukan hari pertama Malam-Malam Monoplay dilangsungkan pada Sabtu, 25 Mei 2024. Pertunjukan kali pertama dibuka dengan penampilan Jarot Heru Prih Wibowo (Sragen) dengan judul “Marrionette”. Pementasan ini menceritakan tentang nasib boneka tali yang terjebak oleh kendali marionettist. Boneka tersebut lalu berhasil merdeka dari tali yang selama ini mengendalikannya. Akan tetapi, persoalan lain muncul dalam bentuk kesepian boneka itu atas hidup yang dipilihnya. Ternyata ada hal lain yang tidak bisa ia taklukkan. Pementasan ditutup dengan dipasangkannya tali pada tubuh penonton. Penonton dapat menafsirkan bahwa hidup manusia ternyata ialah permainan interpersonal yang mewujud tali-temali: kadang menegang, kadang terputus, kadang menjadi kusut, dan sebagainya.

BACA JUGA:  Catatan Pasca Pertunjukan "Sarah Wulan" Teater Air SMA N 3 Tuban.

Pertunjukan kedua menjadi giliran penampilan Gigok Anurogo (Surakarta). Gigok menampilkan monoplay dengan judul “Kidung Panggung”. Pementasan ini menceritakan tentang sisi prihatin seorang aktor ketoprak dalam menjaga tobong yang telah membesarkannya. Pementasan ini menarasikan kesepian kesenian tradisi di tengah kehidupan terkini.  Terdapat perasaan asing pada kesenian tradisi terhadap berubahnya laju zaman. Seperti diketahui, kesenian tradisi adalah salah satu bidang yang terkena serempetan laju kencang modernisasi. Gigok Anurogo seakan menempatkan kesenian tradisi di tengah persimpangan sibuknya kapitalisme, utilitarianisme, konsumerisme, dan keapatisan negara dalam menggali identitasnya.

Sesuai pertunjukan pertama, terjadilah diskusi mengenai pertunjukan dan kesesuaiannya dengan tema acara. Hanindawan membuka pernyataan unik bahwa sebetulnya kesepian bisa menjadi beban sekaligus tanggung jawab manusia. Hal tersebut dikarenakan manusia merupakan makhluk sosial sekaligus makhluk individu. Dualitas peran dari kesepian ini juga bisa menjelma pisau bermata dua. Kesepian bisa menjelma sebagai kesialan; kesepian bisa menjelma sebagai keberuntungan. Jika menilik dari karya-karya seni, tentu mayoritas karya lahir dari rasa sepi dan keberjarakan seniman dari publik. Di ruang sepi inilah seniman memiliki otoritas atas karyanya.

Pertunjukan di malam kedua (26/05/24) dimulai dengan “Hahahahaa” karya Andy SW yang berasal dari Yogyakarta. Sang aktor secara parodik menyampaikan bahwa pertunjukan ini adalah bentuk semangat avant-garde. Hal tersebut tampak dalam bentuk panggung yang tidak lazim digunakan. Panggung pementasan “Hahahahaa” berwujud seluruh medan lapang di Kedai Teater Triyagan. Penonton lalu diajak menertawakan kebosanan lewat kegiatan rutinitas aktor. Di sana, aktor menyapu, menyiram bunga, juga menata sandal penonton. Secara fisik penonton memang dekat dengan aktor, tetapi terdapat dinding pemisah yang diolah secara komedik oleh aktor. Penonton yang tersebar di segala penjuru tersebut diposisikan sebagai keterasingan aktor. Sang aktor sering mempermainkan keberadaan penonton, tapi sesungguhnya ia tidak menganggap keberadaan penonton secara langsung. Kemudian, pertunjukan ditutup dengan berlalunya Andy SW. Sembari pergi, ia mantap berkata, “Bangsat memang, tema teater yang brengsek. Tutuplah pintunya, Brom, biar mereka hidup bersama teater.”

BACA JUGA:  Kelas Unggulan: Inovasi Pertunjukan Interaktif dari Sagiwon Teater dan Stand Up Indo Bojonegoro

Pertunjukan teater di Malam-Malam Monoplay ditutup oleh penampilan Hanindawan. Hanindawan menampilkan “Samar” yang merupakan tafsir lain atas “Kucak-kacik” karya Arifin C. Noer. Penampilan ini menceritakan tokoh Darim sebagai rakyat miskin yang diuji  dari berbagai sisi: ekonomi, moralitas, politik, bahkan kesetiaan istri. Pementasan ini sangat artikulatif menyuarakan ke-Indonesiaan sebagai negara ketiga. Negara ketiga atau negara berkembang sering mengalami dilema dan problem dari berbagai aspek. Hal tersebut diartikulasikan dalam pementasan ini lewat narasi pejabat yang bobrok, rakyat yang kurang terdidik, dan merosotnya moralitas untuk sekadar memenuhi isi perut.

Suara parau dari Indonesia dalam pementasan “Samar” juga dikonkretisasikan dalam bentuk artistik yang kuat. Artistik dalam pementasan ini berbentuk deretan amplop yang membentang di atas penonton. Menjelang akhir pertunjukan, penonton diajak mengambil amplop tersebut. Ternyata amplop tersebut berisi tentang berbagai berita buruk di Indonesia. Penonton lalu dipersilakan membaca isi berita tersebut secara bergantian. Hal ini aktual mengingat banyaknya kabar buruk dari pemangku kebijakan akhir-akhir ini. (Mohon maaf, kali ini izinkanlah saya subjektif!) akhir-akhir ini, setiap kali saya mendapati berita dari pemerintah, tingkat kebahagiaan saya turun secara signifikan.

Darim merupakan contoh tubuh kesepian di tengah kabar-kabar buruk dari negara. Darim kesepian di tengah semakin edannya zaman. Hal ini berkesesuaian dengan syair “Zaman Edan” dari Ranggawarsita:

Saiki jamane jaman edan. Yen ora edan ora keduman.

(Sekarang zaman edan. Kalau tidak edan tidak kebagian.)

Ya, Darim adalah orang yang memilih tidak edan. Dan Darim tentu saja adalah orang yang tidak keduman. Secara ironis Darim tidak mendapatkan tempat layak justru karena ia benar.

Setelah pementasan, dilangsungkanlah diskusi. Sebagai moderator, saya kembali membuka catatan kemarin agar diskusi lebih terprogres dibanding hari pertama. Perbedaan diskusi di malam kedua terletak pada aktifnya anak muda dalam dialog. Mereka menyampaikan tafsir, pertanyaan, dan tanggapan dengan jujur. Respons mereka di antaranya, “Bagaimana cara menikmati karya yang berbau sosial dan bagaimana merawat kepedulian sosial?”. Jawaban dari pertanyaan tersebut disampaikan Hanindawan yang menegaskan bahwa setiap insan harus terlibat dalam proses kenegaraan (sekecil apa pun itu). Setiap warga negara tentunya memiliki peran dalam proses kenegaraan, entah sebagai simpatisan, oposan, atau entah. Merawat keterlibatan adalah merawat kepedulian kepada negara.

BACA JUGA:  Merasakan Ombak Emosi dari Manah: Catatan atas Eksperimentasi Tari “Manah” — Bimo Wiwohatmo

Andy SW juga sepakat dengan motif keterlibatan. Tidak hanya keterlibatan dengan negara, dia juga menegaskan pentingnya keterlibatan dalam hubungan antar manusia. Keterlibatan menjadi salah satu cara menyikapi kesepian. Melalui keterlibatan, setiap individu menjalin tali koneksi dengan orang lain. Tali inilah yang menjadi sarana seseorang untuk tidak tercerabut dari kisah hidup orang lain. Agar manusia tidak dilupakan; agar manusia tidak kesepian.

Setelah acara selesai, saya pulang dengan bekal banyak pemahaman sekaligus pertanyaan. Pemahaman dan pertanyaan itu berseliweran menghantui saya di ruang sepi. Hantu-hantu itu kadang menakuti saya, menjahili saya, tapi anehnya mereka setia menemani saya. Bahkan, hantu-hantu itu kadang dapat membuat saya terbirit lari hingga kecepatan maksimal yang belum pernah saya bayangkan.

 Di ruang hening pascapementasan, sebuah pertanyaan juga masih menggentayangi kepala saya, “Apakah penyelenggara Malam-Malam Monoplay juga dibayangi hantu kesepian semacam ini?”. Entahlah, semoga hasrat berkarya selalu menggentayangi mereka. Semoga kesepian yang menggentayangi mereka (juga kita) adalah kesepian yang menumbuhkan.

Erhan Al Farizi

Erhan Al Farizi

Erhan Al Farizi lahir di Karanganyar pada tanggal 13 Maret 2001. Tinggal di sebuah kecamatan kecil di ujung utara Karanganyar, Kecamatan Kerjo. Buku puisi perdananya berjudul "Bagaimana Mengubah Rasa Sakit Menjadi Sense of Art: Sebuah ̶T̶u̶t̶o̶r̶i̶a̶l̶" (2023)